Halaman

Sunday, November 26, 2017

Terjebak

Oleh Cecep Lukmanul Hakim
“Saya menyesal mengambil jalan ini, coba kalau saya ambil jalan lain pasti tidak akan macet.”
Setiap manusia yang hidup jasad serta fikirannya pasti sering mengucapkan kalimat-kalimat penyesalan seperti itu. Menyesal berarti ungkapan ketidakpuasan atas sebuah keadaan, artikulasi dari kekecewaan dari keadaan yang dihadapi.
Kecewa – bahagia adalah sikap dasar manusia sebagai respon dari suatu keadaan atau pencapaian. Maka merasa kecewa dan bahagia itu sangatlah wajar sebagai mahluk yang dianugerahi perasaan, fikiran dan indera. Tidak ada yang salah ketika kita merasa bahagia menerima uang dan kecewa ketika kekurangan uang.
Indera kita merespon sebuah keadaan yang kemudian diterima oleh akal fikiran dan bermuara pada perasaan (hati). Bahagia – kecewa yang menentukan adalah hati kita dengan kontrol dari fikiran. Keadaan yang sesungguhnya membahagiakan bisa membuat kita kecewa, pun sebaliknya keadaan mengecewakan bisa dibuat bahagia. Sebagai contoh, seorang tetangga yang baru membeli mobil adalah sebuah keadaan yang membahagiakan, tetapi hati kita bisa bahagia juga bisa kecewa, itu semua tergantung fikiran kita. Sebaliknya, kita kecopetan tapi kita bisa tetap berbahagia.

Baca juga : Umat Akhir Zaman

Saya tidak akan membahas artikulasi manusia atas perasaan bahagia. Saya mungkin juga anda sering terjebak ketika sedang dalam keadaan sulit. Kesulitan biasanya menimbulkan pengaruh negatif pada diri juga psikis. Kita sering kali tidak terkontrol ketika mengalami kekecewaan, baik itu perasaan, ucapan dan tingkah laku.
Kalimat di atas adalah bentuk awal dan terkecil dari kekecewaan, namun jika kita perhatikan apakah wajar kita berkata seperti itu?. Kebanyakan orang pasti menganggap sangat wajar dan sangat memaklumi dengan kalimat itu.
Memang benar kalimat tersebut merupakan luapan kekecewa, tapi ketika kita memiliki perasaan seakan mengetahui hal yang sesungguhnya kita tidak ketahui, maka itulah ketidakwajaran dalam kalimat tersebut. Bingungkan?


Begini, kita kecewa karena jalan yang kita lalui itu ternyata macet, kecewa karena itu adalah wajar. Namun ketika kalimat berlanjut pada “coba kalau saya ambil jalan lain pasti tidak akan macet”, itulah yang tidak wajar. Darimana kita tahu jalan lain tidak macet? Wong kemacetan jalan yang kita lalui juga kita baru tahu ketika sedang melewatinya. Bisa saja kita ambil jalan lain, tapi tetap macet, atau macetnya lebih parah, siapa tahu kan?
Kalimat diatas pendek dan ringan untuk diucapkan, tapi konsekuensi darinya sangatlah besar. Kalimat itu menggambarkan kita kurang menerima atas putusan Tuhan, kurangnya kepasrahan pada Tuhan, kurang tawakal. Lebih jauh, kalimat itu menggambarkan kesombongan kita terhadap Tuhan, seolah olah kita mengetahui keadaan yang ghaib, yang tidak pernah kita alami. Seakan kita memiliki kekuatan yang sama dengan Tuhan dengan menentukan (sesungguhnya menebak) jalan lain akan lebih baik daripada jalan yang sedang kita lalui. 

Baca juga artikel Filsafat lainnya

1 comment: