“Saya menyesal
mengambil jalan ini, coba kalau saya ambil jalan lain pasti tidak akan macet.”
Setiap manusia yang hidup jasad serta
fikirannya pasti sering mengucapkan kalimat-kalimat penyesalan seperti itu.
Menyesal berarti ungkapan ketidakpuasan atas sebuah keadaan, artikulasi dari
kekecewaan dari keadaan yang dihadapi.
Kecewa – bahagia adalah sikap dasar
manusia sebagai respon dari suatu keadaan atau pencapaian. Maka merasa kecewa
dan bahagia itu sangatlah wajar sebagai mahluk yang dianugerahi perasaan,
fikiran dan indera. Tidak ada yang salah ketika kita merasa bahagia menerima
uang dan kecewa ketika kekurangan uang.
Indera kita merespon sebuah keadaan yang
kemudian diterima oleh akal fikiran dan bermuara pada perasaan (hati). Bahagia
– kecewa yang menentukan adalah hati kita dengan kontrol dari fikiran. Keadaan
yang sesungguhnya membahagiakan bisa membuat kita kecewa, pun sebaliknya
keadaan mengecewakan bisa dibuat bahagia. Sebagai contoh, seorang tetangga yang
baru membeli mobil adalah sebuah keadaan yang membahagiakan, tetapi hati kita
bisa bahagia juga bisa kecewa, itu semua tergantung fikiran kita. Sebaliknya,
kita kecopetan tapi kita bisa tetap berbahagia.
Baca juga : Umat Akhir Zaman
Saya tidak akan membahas artikulasi
manusia atas perasaan bahagia. Saya mungkin juga anda sering terjebak ketika
sedang dalam keadaan sulit. Kesulitan biasanya menimbulkan pengaruh negatif
pada diri juga psikis. Kita sering kali tidak terkontrol ketika mengalami
kekecewaan, baik itu perasaan, ucapan dan tingkah laku.
Kalimat di atas adalah bentuk awal dan
terkecil dari kekecewaan, namun jika kita perhatikan apakah wajar kita berkata
seperti itu?. Kebanyakan orang pasti menganggap sangat wajar dan sangat memaklumi
dengan kalimat itu.
Memang benar kalimat tersebut merupakan
luapan kekecewa, tapi ketika kita memiliki perasaan seakan mengetahui hal yang
sesungguhnya kita tidak ketahui, maka itulah ketidakwajaran dalam kalimat
tersebut. Bingungkan?
Baca juga : Keberadaan Tanpa Kebermaknaan
Begini, kita kecewa karena jalan yang
kita lalui itu ternyata macet, kecewa karena itu adalah wajar. Namun ketika
kalimat berlanjut pada “coba kalau saya ambil jalan lain pasti tidak akan
macet”, itulah yang tidak wajar. Darimana kita tahu jalan lain tidak macet? Wong
kemacetan jalan yang kita lalui juga kita baru tahu ketika sedang melewatinya.
Bisa saja kita ambil jalan lain, tapi tetap macet, atau macetnya lebih parah,
siapa tahu kan?
Kalimat diatas pendek dan ringan untuk
diucapkan, tapi konsekuensi darinya sangatlah besar. Kalimat itu menggambarkan
kita kurang menerima atas putusan Tuhan, kurangnya kepasrahan pada Tuhan,
kurang tawakal. Lebih jauh, kalimat itu menggambarkan kesombongan kita terhadap
Tuhan, seolah olah kita mengetahui keadaan yang ghaib, yang tidak pernah kita
alami. Seakan kita memiliki kekuatan yang sama dengan Tuhan dengan menentukan
(sesungguhnya menebak) jalan lain akan lebih baik daripada jalan yang sedang
kita lalui.
Baca juga artikel Filsafat lainnya
selalu suka baca postingan di blog ini
ReplyDeletemaniak motogp