Halaman

Saturday, December 24, 2011

Periode Awal Terbentuknya Kerajaan Galuh

Kisah Kendan dan Galuh diriwayatkan dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta, Jika saja dikaji lebih jauh dan teliti, Carita Parahyangan menjelaskan sejarah yang sebelumya gelap, seperti kisah Sanjaya, yang prasastinya ditemukan di Canggal. Carita Parahyangan memiliki uraian yang hampir sama dengan Naskah-naskah Wangsakerta, sehingga para ahli sejarah menganggap Naskah Wangsakerta berasal dari sumber yang sama, yakni Pararatwan Parahyangan. Namun karena rentang waktu penyusunannya dianggap terlalu jauh dari masanya, yakni pada abad ke 16, maka Carita Parahyangan dianggap data sekunder.
Sejarah ditatar sunda yang disampaikan secara lisan lebih hidup dan beragam. Sayangnya masyarakat tradisional masih banyak yang menganggap tabu untuk menceritakan sejarah karuhunnya dengan alasan “pamali” – “teu wasa”. Mungkin dahulu ditujukan agar tidak menyinggung perasaan yang kebetulan karuhunnya terceritakan negatif, atau semacam takut membuka aib atas cerita yang dianggapnya tidak lumrah. Dalam masa selanjutnya istilah tabu bukan lagi berasal dari "teu wasa", melainkan takut dicemoohkan sebagai “mamake payung butut”, masalah inilah yang ikut menghambat tutur tinular terhadap perjalanan dimasa lalu.
Peta Kerajaan Galuh dan Sunda
Gambar : Wikipedia
Kisah karuhun Galuh di dalam kesejarahannya yang pernah menjadi rahasia umum adalah Mandiminyak dan Tamperan. Cerita Mandiminyak dianggap tidak lazim karena berhubungan dengan Rabbabu, istri Sempakwaja, kakaknya, hingga melahirkan Bratasenawa. Demikian pula cerita Tamperan yang dianggap aib setelah berhubungan dengan Dewi Pangrenyep, istri Permana Dikusumah. Tetapi hukum dan realitas penyusunan sejarah modern memerlukan data formal. Mungkin alasan ini pula yang berakibat urang sunda tidak memiliki data sejarah, sehingga dianggapnya kurang bersejarah.
Kisah kerajaan Galuh dimulai ketika Manikmaya memperoleh wilayah Kendan (cikal bakal Galuh) berikut tentara dan penduduknya dari Tarumanagara, bahkan Tarumanagara melindungi Kendan dari gangguan Negara lain. Namun pada tahun 670 M, Wretikandayun menyatakan Galuh melepaskan diri dari Sunda, kerajaan penerus Tarumanagara.
Kondisi Tarumanagara sejak masa Raja Sudawarman (Raja ke-9) memang sudah kurang wibawanya dimata raja-raja daerah. Masalah ini terus berlanjut hingga para penggantinya. Setelah Linggawarman (Raja ke-12) meninggal dan tida memiliki putra Mahkota, pemerintahan diserahkan kepada menantunya, yakni Tarusbawa, raja Sundapura. Kerajaan bawahan Tarumanagara.
Pada tahun 670 M, berakhirlah kisah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh Jawa Bagian Barat, namun muncul dua kerajaan kembar. Disebelah barat Citarum menjadi kerajaan Sunda, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh.
Carita Parahyangan menjelaskan ranji Kendan dan Galuh. Sang Resiguru berputra Rajaputra, Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi rajaresi ia menamakan dirinya Rahyang ta di Medang Jati, yaitu Sang Layuwatang. Kemudian Sang Kandiawan berputra lima orang, yaitu Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katung maralah, Sang Sandanggreba dan Wretikandayun. Namun yang ditunjuk menggantikan Sang Kandiawan adalah Wretikandayun.
Sang Manikmaya pertama kali menjalankan kegiatan pemerintahannya didaerah Kendan, ia sekaligus bertindak menjadi Rajaresi. Sepeninggalnya ia digantikan oleh Sang Suralim, putranya yang memerintah di Kendan. Sang Suralim sebelumnya menjadi senapati di Tarumanagara, maka ia lebih dikenal sebagai Panglima perang yang tangguh. Dari sejarah Suralim tersebut, masalah kegiatan agama nampaknya tidak merupakan faktor yang sangat penting, sehingga merasa tidak perlu untuk memindahkan pusat pemerintahannya.
Dilihat dari masa periodenya, Yoseph (2005) membagi menjadi tiga periode, yakni Galuh dapat dibagi menjadi tiga jaman. Pertama Galuh jaman pemerintahan Sempakwaja – Purbasora. Kedua Galuh jaman pemerintahan Mandiminyak – Sena. Ketiga Galuh pada masa pemerintahan Rahiyang Kidul yang selalu terancam oleh kedua pemerintahan diatas.
Sang Suralim memiliki putra dan putri, yakni Kandiawan dan Kandiawati. Sang Kandiawan kemudian di jadikan penguasa di Medang Jati. Didalam Carita Parhyangan ia disebut juga Rahiyangan di Medang Jati, ia pun bergelar Rajaresi Dewaraja. Ketika menerima warisan tahta dari ayahnya ia tidak lantas pindah ke Kendan, melainkan tetap menjalan pemerintahannya di Medang Jati.
Menurut buku penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat (1983 – 1984), alasan Kandiawan menetap di Medang Jati sangat terkait dengan keagamaan. Di Kendan waktu itu sudah mulai banyak para penyembah Syiwa, sedangkan ia penyembah Wisnu.
Sang Kandiawan memiliki 5 orang putra, yakni Mangukuhan, Karungkalah, Katungmaralah, Sandangreba dan Wretikandayun. Suatu hal yang masih sulit dicari alasannya adalah mengapa Sang Kandiawan mewariskan tahtanya kepada Wretikandayun, putra bungsunya. Alasan ini menurut carita Parahyangan disebabkan berhasil menombak kebowulan, mungkin maksud penulis Carita Parahyangan menceritakan adanya sayembara diantara lima bersaudara tersebut. Namun mengingat penulis Carita Parahyangan sangat irit mengisahkan suatu masalah, maka ia ditulis demikian.
Hal yang paling mendekati terhadap masa ini adalah kemungkinan adanya alasan yang terkait dengan masalah keagamaan. Pemegang kekuasaan dalam tradisi kendan biasanya dipegang oleh seorang rajaresi. Dari kelima palaputra Sang Kandiawan yang memenuhi syarat sebagai raja resi hanyalah Wretikandayun.

Cecep Lukmanul Hakim

Sumber
Ekadjati. 2005. Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2. Bandung:Pustaka Jaya.
Tjetjep, SH dkk. 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat: Jilid 2 dan 3. Bandung: Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
Yoseph Iskandar. 2005. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten. 
Drs. Atja. 1968. Tjarita Parahjangan. Bandung: Jajasan Kebudayaan Nusalarang
   wikipedia.org/Babad_Banyumas
   akibalangantrang.blogspot.com/2008/09/asal-mula-galuh.html

Saturday, December 10, 2011

Silsilah Raja Kerajaan Galuh



Sumber
Tjetjep, SH dkk. 1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat: Jilid 2. Bandung: Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

Wednesday, November 23, 2011

Periode Awal Kerajaan Banten


Oleh Cecep Lukmanul Hakim


Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda. Sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda diataranya pelabuhan Chiamo, Xantra, yang juga disebut Caravam, Tangaram, Cheiguide, Pondang dan Bantam (Djajadiningrat, 1983:83). Pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Dan sebagai konsekuensi logisnya, Islam diyakini telah masuk dan berakulturasi dengan budaya setempat sebagaimana diceritakan dalam berita Tome Pires pada tahun 1513.
Pelabuhan Banten menjadi pelabuhan yang sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang baik pedagang lokal maupun internasional, hal ini dikarenakan jatuhnya pusat perdagangan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Para pedagang, terutama pedagang muslim mengalihkan jalur perdagangannya menjadi ke selatan, yaitu pelabuhan Banten. Posisi Banten yang berada di ujung pulau Jawa, menjadi pintu gerbang perdagangan ke India dan Timur Tengah.
Kesultanan Banten dibentuk oleh Sunan Gunung Jati yang melakukan syiar Islam ke daerah Pajajaran yaitu Banten. Kedatangan Sunan Gunung Jati ke Banten disambut baik oleh bupati Banten pada saat itu dan mengawinkan anaknya yaitu Ratu Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati (Djajadiningrat, 1983:161). Setelah menetap cukup lama di Banten, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon untuk meneruskan pemerintahan di Cirebon dan menyerahkan kekuasaannya di Banten kepada anaknya yaitu Hasanudin dan menjadi raja pertama Banten.
Menurut historiografi Banten, Hasanuddin dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten (Kartodirdjo 1993: 34). Hal ini dikarenakan Sunan Gunung Jati meninggal di Cirebon dan Hasanudin meninggal di Banten, sehingga tidak aneh jika tradisi menempatkan Hasanuddin sebagai yang nomor satu dalam daftar raja-raja Banten.
Tradisi-tradisi lainnya kita maklumi dengan lebih baik dengan jalan menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan. Demikianlah tradisi memandang Sunan Gunung Jati sebagai pendiri sebuah kerajaan besar yang meliputi seluruh Jawa Barat. Penandaan kesamaan Tagaril dengan Sunan Gunung Jati menyebabkan kita untuk menempatkan menetapnya Sunan Gunung Jati di Carebon, di mana ia dikuburkan setelah tahun 1546 (Djajadiningrat, 1983:172). Jika sekarang kita perbandingkan dengan ini apa yang kiranya dapat kita simpulkan dari berita-berita lokal tentang Demak dan Cirebon dan dalam Sajarah Banten, mengatakan dengan jelas bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang dari Pasai, dalam hubungan apa yang dikatakan Barros tentang asal Faletehan, maka haruslah kita sampai kepada kesimpulan, bahwa Faletehan, Tagaril dan Sunan Gunung Jati adalah nama-nama yang lain bagi seseorang yang itu-itu juga. Dalam sumber sejarah Banten namanya ialah Faletehan atau Tagaril (Kartodirdjo 1993: 32).    
Pada awalnya Kesultanan Banten hanya kerajaan vassal dari Kerajaan Demak sebagai ekspansi yang dilakukan oleh Demak ke seluruh Jawa. Usaha Demak dalam ekspansinya kearah barat berupa pemukiman perintis yang dipimpin oleh Nurullah tersebut diatas. Peristiwa ini terjadi kira-kira pada tahun 1525 dan dapat dianggap sebagai pendirian kerajaan Banten (Kartodirdjo 1993: 33). Sunan Gunung Jati mengambil alih Banten dari penguasa setempat dan mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakerta atau Surakarta. Banten diperintah oleh Gunung Jati sebagai vassal Demak, tapi keturunanya kelak bebas dari kekuasaan Demak (Ricklefs, 2008:72).
Kira-kira pada tahun 1568, di bawah Hasanudin Kerajaan Banten melepaskan ikatan dengan Demak dan menajdi kerajaan yang merdeka. Tahun 1568 adalah tahun dimana Kerajaan Demak mulai bergeser menajdi Kerajaan Pajang. Masa peralihan politik di Demak ini yang dijadikan peluang oleh Hasanudin untuk memerdekakan Banten dari Demak. Akibat kegagalan intervensi Jepara ialah bahwa Cirebon dan Banten dapat menegakan kedudukannya, bebas dari pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa Tengah. Pergolakan serta pergeseran kekuasaan di Jawa Tengah sendiri menjadi faktor penyebab, Demak dapat ditundukan oleh Pajang (1581) dan Pajang oleh Mataram (Kartodidjo 1993: 34).
Pada tahun 1568, di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Hasanuddin memerdekakan Banten. Itulah sebabnya oleh tradisi ia dianggap sebagai raja Islam yang pertama di Banten. Banten sejak semula memang merupakan vassal dari Demak. Hasanuddin mangkat kira-kira tahun 1570 dan diganti oleh anaknya, Maulana Yusuf. Setelah sembilan tahun memegang tampuk kekuasaan, tahun 1579, Yusuf menaklukan Pakuwan yang belum Islam yang waktu itu masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Sesudah kerajaan itu runtuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Mereka diperbolehkan tetap menyandang pangkat dan gelarnya.
Banten, daerah yang paling membuat ngiler penguasa Mataram, sulit diserbu. Kekuatan Mataram pelan-pelan melebar sampai kedaerah pegunungan di selatan Jakarta yang membentuk semacam daerah tak bertuan diantara kedua Negara itu (Vlekke, 2008: 146). Sudah sering Mataram mengancam akan menyerang Banten. Karena itu Banten mengadakan persiapan-persiapan besar untuk menangkis serangan itu. Malahan diceritakan pula pada sebuah buku harian perjalanan dari tahun 1598-1599, bahwa Mataram dengan sesuatu kekuatan besar telah menyerang Banten dari laut, tetapi tanpa hasil. Dalam dasawarsa pertama abad ke 17 kita lihat Banten senantiasa berjaga-jaga dengan penuh kecemasan demi kepentingan kemerdekaannya.

Sumber
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta: KITLV
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indoesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta: Gramedia
Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
Vlekke, Bernard H. M. 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG 

Tuesday, November 1, 2011

Taqlid dan Ijtihad (Keberagaman dalam Islam)

Oleh Cecep Lukmanul Hakim


Sebuah catatan untuk tulisan Nurcholis Majid (Rohimahullah) yang berjudul Taqlid dan Ijtihad (Masalah Kontinuitas dan Kreatifitas Dalam Memahami Pesan Agama) yang tersedia dalam alamat: http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Paramadina/Konteks/TaqlidN1.html

Dalam artikel tersebut, apabila kita lihat secara sepintas kita akan berpendapat bahwa artikel tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan masalah sosial. Tetapi apabila kita telaah lebih dalam, arti dan konsep serta kedudukan taqlid dan ijtihad dalam Islam, maka kita akan mengetahui besarnya peranan taqlid dan ijtihad dalam interaksi kita terhadap Islam yang mencakup interaksi kita terhadap sesama manusia dan lingkungan. Karena objek dari taqlid dan ijtihad adalah normativitas Islam atau mengutip istilah Ahmad Wahib universalisme islam dan historisitas islam. Maksud dari dimensi normativitas Islam adalah dimensi yang tidak akan tersentuh oleh akal manusia karena kenisbian akal manusia tersebut. Normativitas bersifat kekal atau abadi tidak dipengaruhi oleh dimensi spasial dan temporal. Normativitas Islam disini berarti semua hal yang berkaitan aqidah dan syariat yang sudah barang tentu memilki dalil qathi. Berbeda dengan historisitas Islam yang bersifat dinamis karena historisitas Islam bergantung pada dimensi spasial, temporal dan kondisi manusia. Jadi dapat saya simpulkan bahwa historisitas Islam itu adalah hasil interpretasi ulama terhadap hukum-hukum Islam yang tidak terdapat atau samar dalam sumber utama Islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadits atau yang sering kita dengar dengan istilah ijtihad.
            Semua hal hasil ijtihad tersebut yang bernama syara yang tidak mempunyai dalil-dalil qathi dan rentan dengan konfik internal dalam Islam. Semua dapat dimaklumi karena ulama yang melakukan ijtihad itu banyak dan saling berbeda dalam hasil ijtihadnya karena disesuaikan dengan spasial, temporal dan kondisi manusia. Tetapi alangkah baiknya kita melihat suatu hasil dari ijtihad dalam Islam bukanlah sebagai hukum Tuhan yang bersifat pembenaran secara mutlak yang dapat menimbulkan sifat yang arogan dan tidak mau menerima perbedaan dari pendapat lain. Imam Syafi’i pun yang derajatnya lebih tinggi dari kita tidak arogan malah bersifat tawadhu dengan berkata: ”barang siapa yang menemukan hadis yang lebih shohih dibanding hadis yang telah saya cantumkan dalam kitab saya, maka ambilah hadits tersebut dan tinggalkanlah hadis yang saya cantumkan”. Terlihat disana betapa besarnya tawadhu Imam Syafi’i meskipun beliau adalah salah satu Imam dari empat Imam dalam Ahlussunah wal jama’ah yang sudah barang tentu banyak mengarang kitab yang menjadi referensi ulama-ulama hingga sekarang.
            Namun dinamika masyarakat dalam keberagamaan sekarang berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya terjadi yang ditimbulkan dari sifat-sifat arogan atas pendapat orang perseorangan yang justru bukanlah sifat seorang muslim. Hubungan intern kaum Muslim di Indonesia seringkali terperosok kepada jurang perbedaan yang dihiperbola, diperbesar, di dramatisisr atau apalah namanya yang berangkat dari rasa arogan setiap orang ataupun golongan, yang sebenarnya masalah tersebut bukanlah masalah yang perlu diperdebatkan dan malahan lebih sedikit manfaatnya malahan besar madharatnya. Rasa arogan dibentuk oleh ketidak fahaman sebagian besar umat Islam terhadap Islam itu sendiri dan didorong oleh perilaku taqlid terhadap seorang guru. Ketika seseorang sudah berlaku taqlid kepada seorang guru dan telah menuju kearah yang fanatik terhadap apa yang dikatakan gurunya maka perpecahan akan timbul dalam umat Islam. Karena ketidak tahuannya terhadap Islam dan fanatiknya terhadap guru, maka dia melihat bahwa Islam itu adalah apa yang dikatakan gurunya dan tidak dapat melihat perbedaan sebagai suatu rahmatan lil alamin sebagaimana rosulullah mengatakan.
            Islam itu luas dan kaya, tidak dapat dipelajari dengan waktu yang singkat, bahkan umur kita pun tidak cukup untuk mengetahui bagaimana Islam secara keseluruhan karena berIslam bukanlah hanya menghapal Al-Quran, bukanlah hanya solat dan lainnya, Islam adalah pedoman bagaimana kita hidup di dunia sehingga mendapat ridha Allah SWT. Kita yang dianugrahi gelar sebagai umat akhir zaman tentu kurang mengetahui bagaimana Islam yang sebenarnya itu karena begitu banyak versi-versi atau sekte dalam Islam. Dengan pengetahuan yang kurang atau bahkan tidak ada kita hanya mengikuti apa yang dikatakan ulama dalam beribadah dan cenderung tidak tahu apakah Islam yang saya anut ini adalah Islam yang sebenarnya ?.
            Tidak hanya itu, kebingungan masyarakat juga timbul dikarenakan pengkotak-kotakan Islam. Hal ini timbul dari sifat arogansi yang ditambah dengan taqlid yang menimbulkan fanatisme berlebihan sekelompok masyarakat. Hal ini sangat berbahaya karena bisa memecah belah ukhuwah Islamiyah dan melemahkan perjuangan umat Islam. Organisasi masyarakat Islam yang tadinya tempat mempelajari Ilmu Islam, tempat memperdalam lautan Islam yang begitu luas sekarang tidak ubahnya seperti partai politik, saling menjatuhkan antar kelompok dan memperlebar jurang perbedaan antar kelompok. Berangkat dari perbedaan yang ada maka timbulah pengklaiman atas kebenaran Islam yang menjadi rebutan antar ormas yang menjadi masalah sensitif umat Islam sekarang. Berbagai ormas mengklaim bahwa mereka adalah penganut aswaja yang sebenarnya, begitu pun dengan ormas lainnya mengklaim bahwa justru mereka yang paling aswaja diantara yang lainnya, dari hal sekecil inilah timbul madharat yang paling besar yaitu hancurnya ukhuwah Islamiyah.          
            Hal seperti ini timbul dari kaum muslimin yang kebanyakan berislam secara taqlid, padahal kita dituntut untuk tolabul ilmi apalagi dalam ilmu agama, supaya mengerti bagaimana seharusnya berislam dan berproses menuju Islam yang sebenarnya. Janganlah hanya dengan perbedaan sunat dalam solat ukhuwah Islamiyah kita korbankan, karena Islam itu bukanlah yang kita ketahui saja masih banyak ilmu Islam yang tidak kita ketahui dan mungkin saja orang lain lebih tahu dari kita.
            Marilah kita mencari apa itu Islam yang sebenarnya dari pada membahas perbedaan-perbadaan kecil diantara kita. Janganlah kita dibatasi oleh kelompok, ormas, partai, ataupun apa saja dalam mendalami ilmu Islam. Islam itu berada diatas semua golongan, buka golongan diatas Islam. Lepaskanlah atribut golongan dan carilah kebenaran Islam dengan penggunaan Al-Quran, Sunnah yang shahih, Qiyas dan Ijtihad sebagai sumber kekayaan intelektual umat Islam.   
            Artikel diatas secara abstrak menjelaskan bahwa konsep dari taqlid terbagi dalam dua bagian. Pertama, taqlid kepada kepercayaan kita terhadap Allah sebagai Tuhan kita baik dalam dzatNya dan sifatNya. Kedua, taqlid kepada semua ilmu pengetahuan yang terus berkembang dari dulu hingga sekarang. Taqlid terhadap ilmu pengetahuan tidak bisa dihindari, karena itu adalah sebuah struktur dimana kita akan membutuhkan kekayaan intelektual dari otoritas pengetahuan dahulu untuk mengembangkan pengetahuan tersebut dengan tentu menimbulkan otoritas baru untuk masa depan. Itu sudah menjadi hal yang sistematis karena bagaimanapun juga kita tidak akan mengetahui suatu ilmu tanpa mempelajari literatur-literatur pada masa sebelum kita.
            Tetapi ada satu hal yang menurut saya urgen yang terlewat dalam artikel ini. Bahwa ada satu bagian dari taqlid tersebut, yaitu taqlid pada syariat agama yang memiliki dalil qathi, seperti solat, puasa dan lain-lain. Harus digaris bawahi bahwa taqlid itu adalah orang yang mengikuti hukum syariat tetapi tidak mengetahui sumber yang menjadi syariat tersebut. Saya kira hal ini sangat penting untuk kita ketahui sebagai umat islam dan kaum intelektual. Banyak dari kita tidak tahu apa dasar dari syariat yang kita lakukan, apabila ada yang bertanya, maka kita hanya bisa menjawab : “ustadz itu juga begitu solatnya”. Sebenarnya kita tidak boleh seperti itu karena selain taqlid itu dirasa kurang pantas bagi kita selaku kaum intelektual juga apabila kita mengetahui dasar dari apa yang kita lakukan maka kita akan meresapi setiap yang dilakukan oleh kita dan memilki pahala yang lebih baik sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran surat Albaqarah ayat 170. Hukum dari taqlid tersebut para ulama masih ikhtilaf, menurut para ulama dalam kitab Jauhar Tauhid tertulis pendapat para ulama yang mengharamkan taqlid kepada manusia kecuali bagi mereka yang tidak mampu untuk mencari dasar-dasar dari syariat yang mereka jalankan, seperti orang tua yang sudah tidak mampu. Pendapat ini harus menjadi titik acuan kita sebagai penyemangat dalam mencari dasar atau paling tidak menanyakan dasar hukum tersebut kepada orang yang lebih tahu dari syariat tersebut seperti yang yang tertera di Al-Quran surat An-Nahl ayat 43.
            Kemudian saya tidak setuju dengan konsep penulis tentang bolehnya taqlid dalam hal tauhid atau aqidah. Karena yang saya ketahui taqlid itu cakupannya hanya kepada syariat bukan terhadap tauhid atau aqidah. Seperti yang disebutkan diatas bahwa dalam islam terdapat normativitas islam yang dimensinya tidak akan terjangkau oleh kenisbian akal manusia. Menurut buku Imu Ushul Fiqih definisi dari taqlid adalah menerima pandapat orang lain padahal kamu tidak mengetahui sumber alasannya. Jadi taqlid tidak mencakup tauhid dan aqidah karena hal itu berkenaan dengan keyakinan kita terhadap Tuhan.
            Menurut saya gambaran dari artikel tersebut adanya legalitas terhadap taqlid untuk mengetahui dan mempelajari ilmu pengetahuan yang telah ada sebagai bentuk otoritas ilmu pengetahuan terhadap kehidupan sosial kita. Penulis di dalam artikel menggambarkan bahwa taqlid dan ijtihad itu adalah satu kesatuan yang utuh, sebab dalam tataran hukum islam ijtihad  itu adalah satu metode untuk menghasilkan hukum yang belum ada dalam nash Al-Quran dan Hadits. Jadi untuk jelasnya ilmu pengetahuan yang kita pelajari dengan cara kita taqlid terhadapnya itu adalah input sedangkan metodenya adalah dengan ijtihad yang menghasilkan sebuah pengetahuan.
            Berbicara masalah ijtihad, dalam islam ijtihad adalah suatu metode untuk menghasilkan suatu hukum yang belum termaktub dalam nash Al-Quran dan Hadis hasil interpretasi para ulama dari Al-Quran dan Hadits yang disesuaikan terhadap keadaan masyarakat atau yang lebih kita kenal dengan kondisionalisasi islam. Ijtihad ini sangant diperlukan karena sekarang kita melihat adanya kejumudan pemahaman masyarakat islam terhadap islam itu sendiri. Kebanyakan dari umat islam sekarang hanya menjadikan hasil ijtihad ulama-ulama dahulu sebagai otoritas yang tidak bisa diganggu gugat. Hal ini sebagai akibat dari taqlid mereka terhadap pendapat suatu ulama yang menimbulkan pembenaran yang absolut terhadap pendapat tersebut, sedangkan pendapat tersebut hanya inetrpretasi dari nash-nash. Hal inilah yang menyebabkan kejumudan pemahaman umat islam terhadap islam itu sendiri yang menyebebkan kemunduran islam sampai sekarang. Tetapi yang harus digaris bawahi disini adalah tidak semua orang bisa menjadi mujtahid atau yang melakukan ijtihad karena ada syarat-syarat penting yang harus dipenuhi yang diantaranya hafal dan faham Al-Quran, menguasai ilmu alat, menguasai ilmu usul fiqih dan paham terhadap ilmu hadits.    
            Kejumudan dalam pemahaman islam inilah yang menjadi titik pangkal dari kemunduran islam dan konflik internal islam. Seharusnya kita bisa lebih menghargai terhadap semua perbedaan dalam islam karena Islam mempunyai dimensi historisitas yang bergantung terhadap spasial dan temporal. Ajaran islam yang tidak mempunyai dasar dalil qathi sebaiknya tidak dijadikan satu otoritas yang nantinya akan mempunyai sifat mutlak sehingga menganggap kelompok merekanlah yang paling benar dan menganggap yang lainya murtad. Na’udzubillahimin dzalik.


Wallahua’lambisshawab 



Monday, October 10, 2011

Uga Wangsit Siliwangi

Terjemahan bebas Uga Wangsit Siliwangi.
Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang :
“Perjalanan kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”
Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!
Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!
Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang!
Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!
Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa diteemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan bahkan berlebihan kalau bicara.
Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.
Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.
Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!
Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.
Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.
Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.
Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah.  Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.
Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.
Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan. Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.
Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!
Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.
Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.
Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!

Sumber
nurahmad.wordpress.com/wasiat-nusantara/uga-wangsit-siliwangi/

Sunday, October 9, 2011

Perang Salib

Perang Salib III (bag IV)
Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Richard The Lionheart
Ternyata penaklukan Saladin atas kerajaan-kerajaan Latin terutama dikuasainya Yarusalem membangkitkan semangat ksatria-ksatria Eropa untuk membalas kekalahan tersebut. Frederick Barbarossa raja Jerman, Richard the Lion Heart raja Inggris dan Philip Agustus raja Prancis adalah ksatria-ksatria Eropa yang berangkat menuju Yarusalem dengan pasukannya untuk membebaskan kota suci itu untuk kedua kalinya. Frederick Barbarosa raja Jerman berangkat dengan pasukannya menuju Yarusalem pada bulan Mei 1189. Amstrong menjelaskan (2007:417) “Tentara itu merupakan kekuatan militer terbesar yang pernah berangkat meninggalkan Eropa: para saksi yang terkagum-kagum memperkirakan mereka terdiri atas 50.000 kavaleri dan 100.000 infanteri”. Ini adalah pasukan terbesar yang berangkat menuju Yarusalem pada waktu perang salib III atau mungkin terbesar dalam ketiga perang salib. Motif membebaskan Yarusalem dari orang-orang sarasin bukanlah motif utama yang menarik untuk Barbarosa. Amstrong menjelaskan (2007:417) “Frederick telah memerintahkan agar orang-orang Jerman menyucikan Charlemagne dan telah menugaskan seorang pendeta di Aachen untuk menulis sebuah versi baru dari The Legend of Charlemagne”. Barbarossa terobsesi dengan raja yang menjadi leluhurnya yaitu Charlemagne dari dinasti Carolingen yang telah memimpin Eropa setelah kejatuhan Romawi dengan wilayah kekuasaannya yang luas dan kejayaannya. Mungkin juga motif balas dendam salah satu motif Barbarossa seperti ksatria Franka lainnya karena dominasinya dikalahkan oleh muslim ketika abad ke 8 di Andalusia.
Hal ini menjadi sangat wajar karena Carolingen dengan rajanya Charlemagne adalah kerajaan besar yang meliputi Prancis, Belanda, Italia, Swiss, Austria, Jerman dan Luxemburg. Dinasti yang lahir dari orang-orang Franka ini juga melahirkan ksatria-ksatria yang berani dalam pertempuran dan ksatria yang berangkat ke Yarusalem dalam menyambut perintah suci Paus Urbanus II pada tahun 1095. Dan yang terpenting adalah bahwa Frederick Barbarosa adalah keturunan dari dinasti Carolingen yang besar itu. Dinasti Carolingen pada akhir kejayaannya membagi tiga wilayahnya karena adanya perebutan kekuasaan hingga diadakannya perjanjian Verdum pada tahun 843. Perjanjian ini membagi daerah Charlemagne bangsa Franka menjadi tiga :
·         Franka Barat yaitu wilayah Prancis sekarang
·         Franka tengah yaitu wilayah Belanda, Austria, Italia, Swiss dan Luxemburg
·         Franka timur yaitu wilayah Jerman
Dengan alasan-alasan inilah Barbarossa mengirimkan pasukan dengan jumlah yang sangat besar untuk membebaskan Yarusalem dari orang sarasin.
Frederick Barbarossa
            Keberangkatan pasukan Barbarossa ini disusul dengan pasukan Richard the Lion Heart pada tanggal 3 September 1189 meninggalkan Inggris dengan pasukannya menuju Yarusalem. Richard seorang raja dari Inggris, dia putra Henry raja Inggris sebelumnya. Dia memilki keterikatan dengan kerjaan Prancis karena dia adalah anak dari ratu Prancis yang bercerai dengan raja prancis yaitu Louis VII yaitu Elanor dari Aquitaine. Amstrong menjelaskan (2007:415) “…. Elanor Aquitaine (yang telah mencerikan Louis VII dan menikahi Henry setelah ia kembali dari Perang Salib Kedua)”. Perceraian ini adalah janji Elanor ketika Louis VII dalam perang salib II tidak memberikan bantuan kepada Raymund (pananya Elanor) dalam melakukan serangan terhadap tentara Nuruddin yang telah menguasai Alepo yang jaraknya dekat dengan Antiokia (wilayah Raymund). Richard adalah raja yang hormati oleh semua raja di Eropa meskipun wilayahnya kalah dari Prancis. Richard adalah raja yang memimpin pasukan salib dalam kelanjutannya mengepung Acre dan berperang dengan Saladin.
Philip Agustus
            Raja Prancis Philip Agustus berangkat menuju Yarusalem dengan pasukannya dari daerah Vezelay dan bersatu dengan pasukan Richard di pulau Sisilia kemudian berlayar ke Yarusalem. Tetapi Barbarossa memilih jalan darat untuk sampai ke Yarusalem. Hal ini untuk mengenang dan menghormati perjalanan Charlemagne, leluhurnya yang berjalan ke Yarusalem. Tetapi perjalanan ini menjadi bencana bagi Barbarossa karena dia tewas sebelum mencapai Yarusalem. Amstrong menjelaskan (2007:418)
“Pada tanggal 10 Juni 1190, pasukan tiba di sungai Calycadnus di dataran Seleucia. Dengan berbaju besi lengkap, Barbarossa melompat ke arus sungai yang menggila, entah untuk mendinginkan tubuhnya atau untuk memamerkan keberaniannya. Tetapi kejutan arus sungai mungkin terlalu kuat dan dinginnya air mungkin terlalu menusuk untuknya dan mungkin memang menderita serangan jantung, sehingga ia seketika itu juga tenggelam”.
Dengan kejadian itu pasukan Jerman terpecah, ada yang kembali ke negaranya dan ada yang meneruskan perjalanannya ke Yarusalem.
            Pasukan Richard dan Philip berangkat menuju Acre pada tahun 1191 dari Sisilia wilayah terdekat orang Kristen dengan Yarusalem. Acre adalah tempat yang cocok untuk menyerang Yarusalem bagi tentara salib karena disana terdapat sisa pasukan salib II yang masih bertahan meskipun terus diserang oleh Saladin. Mendengar pasukan salib yang dipimpin oleh Philip mengepung Acre, Saladin memerintahkan pengepungan kota Acre sebagai balasan terhadap kepungan Philip. Saladin juga mengetahui pentingnya Acre bagi pasukan salib sebagai pintu gerbang menyerang Yarusalem. Dalam perang ini kedudukan pasukan salib yang dipimpin oleh Philip mulai terjepit tetapi dengan kedatangan pasukan Richard, pasukan salib seolah menemukan kembali semangat berperangnya. Amstrong menjelaskan (2007:418) “Namun, kedatangannya pada tanggal 6 Juni amat menentukan bagi tentara Kristen yang sedang kelelahan luar biasa”. Keterlambatan ini dikibatkan karena Richard menyerang Siprus dahulu. Kedatangan Richard menambah jumlah pasukan yang besar dalam menghadapi tentara Islam dan menambah moral pasukan karena Richard adalah raja yang dikagumi di Eropa.
            Datangnya pasukan Richard ke Acre menambah jumlah pasukan salib menjadi lebih besar dan mulai bersiap mengatur strategi untuk meruntuhkan benteng Acre yang sedang dikuasai oleh Saladin. Pasukan Philip, Richard, Guy Lusignan yang telah dibebaskan oleh Saladin dan sisa tentara Barbarossa mulai mengepung benteng kota Acre dan berhasil menguasainya pada 12 Juli 1191. Keberhasilan ini tidak bisa lepas dari peran Richard, Richard menyajikan suatu perbedaan corak dan motif dari perang salib sebelumnya yang terkesan religius, tetapi kali ini Richard mengobarkan semangat tentara salaib dengan cara lain. Amstrong menjelaskan (2007:419) “Richard malah menawarkan kepingan emas bagi setiap orang dalam pasukan yang dapat mengambil sebongkah batu dari benteng kota yang sedang diruntuhkan oleh Tentara Salib”. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Paus Urbanus II dan Bernard yang berkhotbah untuk mengobarkan semangat jihad dan pahala yang didapatkan apabila berjihad melepaskan kota Yarusalem dari orang sarasin. Tetapi apa yang dilakukan Richard pada akhirnya mampu mengalahakan pasukan Saladin di Acre dan menawan penduduk muslim yang berada di dalam benteng dan membantainya karena Saladin tidak membayar denda yang diajukan Richard. Hitti (2008:831) menjelaskan “Ketika sampai akhir bulan uang tebusan itu tidak dibayar juga, Richard memerintahkan 2700 tawanan untuk dibunuh”. Setelah penaklukan Acre, Richard melanjutkan penaklukannya mendekati Yarusalem tetapi raja Prancis Philip kembali ke negaranya.
Akhir Kekuasan Pasukan Salib
            Setelah penaklukan Acre tidak ada lagi peperangan besar antara kedua belah pihak dan kedua belah pihak lebih mengedepankan jalur diplomasi. Hal ini mungkin adalah kesadaran bagi keduanya, Richard dan Saladin yang merasa sudah terlalu banyak korban yang jatuh dalam perebutan tanah suci yang niat sesungguhnya juga bukan untuk menguasai tetapi untuk menciptkan kedamaian dan keamanan bagi peziarah dari dua agama tersebut. Perdamaian itu akhirnya tercapai pada 2 November 1192. Hitti (2008:831) menjelaskan “Akhirnya, perdamaian ditetapkan diatas kertas pada 2 November 1192, dengan ketentuan bahwa daerah pantai menjadi milik bangsa Latin, sedangkan “daerah pedalaman” milik umat Islam”. Pada akhirnya kedua agama yang berselisih atas tanah Yarusalem bisa menghormati antar satu sama lain dan memberikan kedamaian terhadap tanah tersebut. Tidak bisa diingkari bahwa satu Islam dan Kristen memiliki hak yang sama atas Yarusalem tetapi bukan hak untuk kekuasaan yang malah menimbulkan peperangan namun hak untuk menjaga keamanan tanah tersebut.
        

Daftar Pustaka
Amstrong, Karen. (2007). Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk. Jakarta: Serambi.
Departemen Agama RI. (2004). Al-Quran dan Terjemahnya. Surabaya: Mekar Surabaya.
Hitti, Philip K. (2008). History Of The Arabs. Jakarta: Serambi
Kuncahyono, Trias. (2008). Jerusalem: Kesucian, konflik dan Pengadilan Akhir. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Lewis, Bernard (2009). Assassin: Kaum Pembunuh dari Alamut. Yogyakarta: Haura Pustaka.
Yatim, Badri (2008). Sejarah Perdaban Islam. Jakarta: Grafindo Persada.

Thursday, September 1, 2011

Silsilah Raja Kerajaan Tarumanagara

Ketika Pancasila Kehilangan Kesaktiannya

Oleh Cecep Lukmanul Hakim


Pancasila yang kita sebut sebagai ideologi Negara yang terdiri dari lima sila atau lima poin yang menjadi dasar bagaimana Negara dan rakyatnya bertindak kini mulai kehilangan posisinya. Banyak yang beranggapan bahwa Pancasila sekarang hanya menjadi lambang Negara yang bisu, tidak dapat berbicara, tidak bisa melawan segala perubahan dan tidak bisa memberikan solusi dengan timbulnya perubahan. Pancasila sudah kehilangan nilai-nilainya dan hanya dipandang sebagai pajangan pelengkap foto Presiden dan wakil Presiden saja. Bahkan ada juga segelintir orang yang tidak tahu sila-sila yang terdapat pada Pancasila.

Hal ini tentu sangat menyedihkan sekali, padahal kita tahu bahwa Pancasila adalah dasar Negara atau ideologi Negara yang kedudukannya sangat tinggi sehingga seluruh rakyat dan pemerintah harus bertindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Seharusnya Pancasila dijadikan tolak ukur bagi kita untuk bertindak dan menjadi panduan kita hidup bernegara. Sila-sila dalam Pancasila adalah intisari dari seluruh perbedaan yang terdapat di Negara ini, konsensus yang dijadikan dasar berpijak bagi seluruh rakyat Indonesia yang majemuk. Penggali Pancasila yaitu M. Yamin dan Sukarno sadar bahwa Negara ini Negara majemuk, memiliki keragaman mulai dari ras, agama dan suku, maka dengan kemajemukan tersebut haruslah dipersatukan dengan jalan membuat suatu dasar pijakan yang bisa mengakomodir seluruh perbedaan diantara rakyat. Niai-nilai luhur yang terkandung dalam tiap sila dalam Pancasila harusnya menjadi pegangan yang tidak boleh dilepaskan oleh kita.

Nilai-nilai Pancasila

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai kebenaran yang sama dianjurkan atau diajarkan oleh agama-agama. Memang, agama juga memiliki nilai-nilai kebenaran yang hakiki dan wajib menjadi pegangan seluruh manusia, akan tetapi dalam sebuah Negara majemuk tidaklah cukup dengan kebenaran dari salah satu agama karena hal tersebut akan menimbulkan gesekan-gesekan antar umat beragama yang kemudian berpotensi menjadi disintegrasi nasional. Maka dengan itu Pancasila memiliki sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa yang berarti mengakui kemajemukan agama yang terdapat di Indonesia. Selanjutnya, Pancasila juga mengajarkan bahwa kita harus memiliki sifat kemanusiaan yang harus kita lakukan dengan berbagai tindakan seperti tolong menolong dan berlaku adil terhadap orang lain. Orang yang menolong seseorang ketika membutuhkan suatu pertolongan dan para pedagang yang berlaku adil dalam melakukan perdagangan atau bahkan para pejabat yang mengetahui hak dan kewajibannya secara benar itu bisa dikatakan orang-orang yang berjiwa Pancasila terlepas dari agama apa yang mereka anut.

Kemajemukan yang menjadi pribadi Negara kita ini juga mendapat perhatian dari para penggali Pancasila. Perbedaan agama, suku dan ras yang terdapat di Indonesia tidak bisa dihilangkan dan oleh karenanya haruslah dicari titik temu diantara perbedaan tersebut sehingga gesekan-gesekan dalam masyarakat dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan. Untuk menjadi Negara yang besar, haruslah memiliki rakyat yang bersatu sebagai pendukung dan penyelenggara kehidupan berbangsa dan bernegara karena apabila rakyat pecah belah dan tidak mendukung Negara, maka Negara itu akan hancur. Disinilah dibutuhkannya persatuan diantara perbedaan yang sudah menjadi kodrat dan takdir Tuhan bagi Indonesia. Nilai-nilai Pancasila yang merupakan konsensus diantara kemajemukan Indonesia menghendaki hilangya golongan mayoritas yang mendominasi dan golongan minoritas yang didominasi atau golongan yang terjamin dan golongan yang menjamin. Persoalan mayoritas dan minoritas memang tidak bisa dihindari dengan keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk, namun perlu ditekankan disini bahwa kaum minoritas dan masyoritas memiliki hak dan kewajban yang sama dalam kehidupan sosial masyarakat dan bernegara. Tidak ada satu kelompok atau satu agama yang didiskreditkan dikarenakan perbedaan kelompok dan agama seperti kenyataan baru-baru ini. Konfik Poso yang diakibatkan sentimen agama dan konflik yang terjadi di Kalimantan yang disebabkan karena perselisihan suku pribumi Dayak dan suku pendatang Madura seharusnya tidak perlu terjadi jika masing-masing kelompok masyarakat mengetahui dan melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Dalam kehidupan ekonomi dan politik pun kita sudah keluar dari koridor yang telah digariskan oleh Pancasila. Memang menurut sebagaian orang Pancasila tidak bisa menjawab tantangan global yang sedang melanda dunia. Mereka berpendapat bahwa Pancasila itu hidup pada zaman Sukarno saja (orde lama) dan sekarang seolah-olah mati karena terseret oleh sejarah. Konsep-konsep Manipol Usdek (manifestasi Politik UUD 1945, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian) dan konsep Trisakti (Berdaulat dibidang Politik, Berdikari di Bidang Ekonomi dan Berkepribadian dalam Bidang Budaya) memang konsep yang ditelurkan oleh itu kontekstual karena Sukarno melihat keadaan Indonesia pada waktu itu memerlukan konsep-konsep tadi dalam rangka National and Caracter building. Pembangunan Negara dan pembentukan karakter kepribadian Negara memang dua hal yang sangat urgen pada waktu itu karena keadaan itu setidaknya akan menentukan Indonesia dimasa mendatang. Pergolakan politik yang terjadi pada waktu Orde lama menjadi suatu bukti bahwa Indonesia masih dalam tahap pencarian jati diri bangsa dengan pemakaian sistem Demokrasi Liberal (sistem parlementer) yang kemudian dilanjutkan dengan sistem Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 1959. Selain poltik, ekonomi kita pun sama tidak stabilnya dengan politik. Perkebunan-perkebunan masih dikuasai oleh pengusaha asing, industri minyak bumi juga masih dikuasai oleh perusahan asing seperti Shell, Stanvac dan Caltex, dalam bidang perbankan juga masih dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda, Inggris dan Cina. Dengan keadaan seperti itu maka nilai-nilai dalam Pancasila mulai ditelurkan kedalam konsep-konsep seperti diatas untuk mencapai kesejahteraan rakyat seperti yang digariskan oleh Pancasila.

Hemat saya, keadaan ekonomi dan politik sekarang kembali lagi kepada masa dimana kita dalam penjajahan Belanda. Sumberdaya alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia banyak yang dikuasai oleh pihak asing seperti PT Freeport yang seharusnya hasil bumi tersebut dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk hajat hidup orang banyak (rakyat) sesuai dengan UUD 1945. Selain itu kadaan ekonomi kita yang cenderung berarah kepada liberalisasi dan kapitalisasi baik modal dalam negeri dan modal asing menyebabkan ketimpangan-ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Sentralisasi pembangunan masih dilakukan sehingga ketimpangan pembangunan pun muncul dan menimbulkan konflik-konlfik di daerah seprti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Operasi Papua Merdeka (OPM).  Dalam politik pun demikian, harga diri Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat dimata dunia Internasional mulai menurun. Kekalahan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah Indonesia di perbatasan Indonesia-Malaysia (Sipadan-Ligitan) menjadi bukti betapa lemahnya Negara ini di hadapan dunia Internasional. Padahal para pejuang kemerdekaan dulu bertaruh nyawa untuk mencapai kemerdekaan dan mempersatukan seluruh wilayah Indonesia.  

Seharusnya, pemerintah anggota parlemen, dan para intelektual Indonesia bisa menempatkan Pancasila kepada tempat asalnya sebagai ideologi Negara. Selain itu, para pemimpin juga hendaknya bisa meramu Pancasila seperti halnya Sukarno sehingga menelurkan konsep-konsep yang kontekstual dan cocok bagi kepribadian Indonesia dalam hal politik maupun ekonomi saat ini. Tidak seharusnya kita meninggalkan Pancasila karena ada segelintir orang yang berpendapat Pancasila tidak bisa menghadapi tantangan global, yang harus diperhatikan kini adalah bagaimana Pancasila sekarang masih bisa berperan dan menjadi ideologi yang benar-benar ideologi di Indonesia.