Halaman

Tuesday, November 21, 2017

Siapa yang Salah ?

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Banyak orang dengan secara tidak sadar meyakini bahwa Tuhan membeda-bedakan setiap manusia atau bahkan menganggap berlaku tidak adil pada dirinya atau orang lain. Mereka berpendapat bahwa manusia diciptakan dengan kadar kemampuan dan dengan batasan yang beragam.
Atau setidaknya mereka sering mengeluh dan melemparkan kesalahan kepada Tuhan atas ketidakmampuan dirinya dalam menghadapi permasalahan. Seringkali kita mendengar, bahkan kita sendiri berkata, ‘Mungkin ini adalah batas kemampuan yang diberikan Tuhan pada saya’. Kalimat ini sering kali diucapkan oleh kita atas ketidakmampuan kita menghadapi permasalahan atau menyelesaikan masalah.
Kalimat seperti ini seolah pembenaran terhadap capaian kita dalam sebuah proses, kita tidak bisa melakukan lebih dari itu. Sedangkan terhadap orang lain yang lebih tinggi capaiannya dari kita, ‘Ya itu merupakan anugerah dari Tuhan untuknya’. Jika pola berfikir kita seperti itu, apakah kita tidak meragukan kuasa Tuhan? Apakah kita tidak meyakini Tuhan berlaku adil pada kita?
Saya di sini tidak dalam mempertanyakan dzat Tuhan, karena itu bukan wilayah fikiran manusia. Hanya saja saya meyakini bahwa Tuhan berlaku adil dalam hal apapun dan kepada siapapun. Tidak ada satu manusia pun yang diperlakukan berbeda dengan yang lainnya. Semua diberikan bekal yang sama untuk mengarungi kehidupan. 

Baca juga : Umat Akhir Zaman

Ibarat ‘bekal’, jasmani serta rohani adalah hal yang harus kita manfaatkan dalam hidup. Ibaratnya orang tua memberikan bekal pada seluruh anak untuk satu hari sejumlah Rp. 10.000, maka ia telah berlaku adil. Namun pada akhirnya ada anak yang menghabiskan bekalnya, ada juga yang disimpan sebagian ataupun ada anak yang justru mendapatkan keuntungan dari bekal tersebut dengan cara mengusahakannya. Kalau sudah begitu, siapa yang sesungguhnya berkuasa atas pemberian orang tua tersebut?
Apakah karena bekalnya merasa kurang kita lantas menyalahkan orang tua? Apakah karena bekalnya habis kita menyalahkan orang tua? Apakah karena bekal kita sebagian tersimpan dan bertambah lantas kita tidak berterimakasih pada orang tua?


Perilaku kita mementukan hasil akhir. Bagaimana kita mengatur potensi yang telah diberikan menjadi output yang kita perjuangkan itu tergantung kita. Seberapa besar kita mendorong dan menggali kemampuan kita adalah tanggungjawab kita sendiri.
Jika kita mau berfikir, kenapa banyak orang dengan keterbatasan dapat melampaui pencapaian kita? Apakah itu hanya semata-mata pemberian Tuhan? Saya kira, justru itu merupakan kesuksesan dirinya dalam mengatur potensi yang diberikan Tuhan.
Kalau sudah begitu, apakah kita tetap mau berpangku tangan dan terus menyalahkan Tuhan?

Baca juga artikel terkait Filsafat lainnya

1 comment: