Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Bertanah air satu, tanah air
Indonesia
Berbahasa satu, bahasa Indonesia
Berbangsa satu, bangsa Indonesia
Kalimat-kalimat
di atas bukanlah penggalan sebuah puisi dari seorang pujangga terkenal, bukan
juga sebuah karya sastra dari sastrawan tersohor. Namun kalimat di atas
merupakan kata-kata yang yang disusun dengan sebuah tekad, tekad dari idealisme
yang menyala-nyala. Mereka hanyalah sekelompok anak muda dari berbagai wilayah
yang tersebar di Hindia Belanda, wilayah yang sangat luas, yang memiliki
berbagai suku, budaya, dan agama. Meski mereka terdiri dari berbagai latar
belakang, namun pada 28 Oktober 1928 mereka bersama-sama mengucapkan sebuah
sumpah tentang cita-cita akan terbentuknya sebuah negara yang terlepas dari
cengkraman Belanda.
Adalah
mereka anak-anak muda yang berasal dari berbagai pulau di Hindia Belanda, yang
‘merantau’ untuk mencari ilmu ke Jawa dengan gagah berani mengucapkan ikrar
tersebut. Mereka datang dari daerah untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang
yang lebih tinggi dikarenakan sarana pendidikan didaerahnya sangat terbatas. Pada
awalnya, mereka telah ‘disiapkan’ oleh pemerintah kolonial untuk mengisi
pos-pos pada berbagai bidang pekerjaan pemerintah. Mereka diproyeksikan akan
menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial di Hindia Belanda dan menjadi
antek-antek pemerintah kolonial. Selanjutnya mereka yang akan menjadi penjajah
bagi bangsanya sendiri, menjadi pengkhianat yang menindas saudaranya sendiri.
Memang
itulah tujuan dari dibukanya sarana pendidikan di Hindia Belanda yang merupakan
bagian dari Politik Etis yang dicetuskan oleh van Deventer dalam artikelnya
yang berjudul ‘Een Eereschuld’ (suatu utang kehormatan) pada majalah de Gids. Ia adalah seorang ahli hukum
yang pernah tinggal di Hindia Belanda selama 17 tahun pada 1880-1897.
Suatu utang kehormatan menjadi sebuah artikel yang ia tulis setelah ia
menyadari bagaimana massif eksploitasi bangsanya terhadap Hindia Belanda, tanpa
memperhatikan rakyat pribumi.
Meskipun
cita-cita van Deventer tercapai, namun hanya segelintir orang yang dapat
mencicipi nyamannya bangku sekolah. Tetap pendidikan tidak mampu merangkul
tangan-tangan rakyat miskin. Pendidikan hanya untuk orang-orang asing, terutama
untuk anak-anak pegawai Belanda. Kalaupun ada rakyat pribumi yang dapat
bersekolah, sudah bisa dipastikan bahwa ia keturunan ningrat, keluarga bupati,
anak dari pegawai pemerintah kolonial, atau paling tidak orang terkaya di
kampungnya. Akses pendidikan bagi rakyat miskin tertutup.
Meskipun
begitu, tersedianya sarana pendidikan di Hindia Belanda memberikan dampak yang
sangat positif. Rakyat pribumi, meskipun hanya sebagian kecil, mendapatkan pengetahuan
yang sama dengan orang asing. Mereka belajar ilmu bumi, hukum, kedokteran,
sastra dan sejarah, politik dan bahasa asing. Sehingga, awal abad ke 20,
terjadi perubahan sosial di Hindia Belanda dengan munculnya kaum cendekiawan
atau orang berpendidikan barat. Seperti halnya di Eropa pada abad ke 18 terjadi
perubahan sosial dengan munculnya kelas sosial baru yaitu borjuis. Kaum borjuis
merupakan bagian dari kelas sosial menengah, namun mereka berpendidikan tinggi,
dan kaum inilah yang menggelorakan revolusi di Prancis pada tahun 1789.
Ada
kata-kata bijak yang menyatakan bahwa ‘sejarah pasti berulang’. Maksud dari
kalimat tersebut bukan berarti sejarah secara utuh yang berulang, namun jiwa,
ruh dan semangat dari peristiwa sejarah yang akan berulang. Fenomena, jiwa dan
spirit revolusi di Eropa ternyata sampai juga di Hindia Belanda pada awal abad
ke 20 dengan saluran pendidikan barat. Para pelajar kini memahami arti dari
sebuah kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang diajarkan oleh revolusi
Prancis. Layaknya kaum borjuis
Prancis, mereka menuntut ketiga hal tersebut kepada pemerintah kolonial karena
mereka menyadari bahwa hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap rakyat.
Bibit-bibit nasionalisme tumbuh subur seiring banyaknya orang pribumi merasakan
pendidikan barat. Agaknya, politik etis yang dijalankan oleh pemerintah kolonial
menjadi boomerang bagi kelangsungan
dan kedudukan pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Pendidikan telah membuka
mata rakyat pribumi akan pentingya sebuah cita-cita, persaudaraan, perlawanan,
keadilan dan lebih jauh membentuk sebuah nation
atau bangsa. Penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial menjadi
pemicu munculnya ikatan-ikatan yang kuat diantara rakyat pribumi, meskipun
mereka tidak satu keturunan, tidak satu agama, juga tidak satu budaya. Namun,
keinginan akan hidup bersama tanpa adanya penindasan menjadi sangat penting,
dan hal inilah yang kita namakan nasionalisme.
Begitupun
dengan anak-anak muda yang berkumpul pada tanggal 28 Oktober, mereka terdiri
dari berbagai latar belakang, berbagai suku, berbagai agama, namun ada satu
persamaan dari mereka, yaitu mereka adalah orang-orang kaya. Mereka adalah anak
muda yang terjamin masa depannya, mereka yang telah dipersiapkan untuk menjadi
kepanjangan tangan pemerintah kolonial, mereka juga yang akan hidup nyaman
dimasa depannya. Mereka yang secara pribadi tidak merasakan pedihnya
penjajahan, mereka tidak merasakan bagaimana sakit hatinya dilecehkan,
dimaki-maki dan diperintah seenaknya oleh orang Belanda.
Meskipun
mereka tidak merasakan pedihnya penjajahan, namun mereka memiliki mata dan
telinga yang dapat melihat dan mendengar saudaranya yang memiliki warna kulit,
warna rambut serta bahasa yang sama dengan mereka diinjak harga dirinya, dimaki
serta diperintah layaknya seekor hewan dengan nama ‘Inlander goblok’.
Penindasan yang mereka lihat sehari-hari memupuk kesadaran akan bejatnya
perlakuan orang Belanda terhadap saudara mereka.
Pada
dasarnya, manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Hasrat membentuk komunitas sosial sebagai wadah untuk bersosialisasi,
bertukar pikiran dan penguat rasa persaudaraan merupakan kebutuhan primer bagi
manusia. Terbentuknya suatu komunitas selalu didasari atas sebuah kesamaan,
baik itu ekonomi, politik, agama maupun budaya. Keinginan untuk menguatkan
persaudaraan yang mendorong para ‘perantau’ di Jawa membentuk suatu komunitas.
Sehingga banyak perkumpulan pemuda muncul dengan membawa identitasnya
masing-masing.
Selagi
kaum tua sudah mulai bergerak pada tahun 1908, dengan berdirinya ‘Budi Utomo’,
kaum muda baru bergerak pada bulan Maret 1915 dengan berdirinya perkumpulan
pemuda pelajar yang diberi nama ‘Tri Koro Dharmo’ (Tiga Tujuan Mulia) yang pada
tahun 1918 dalam Kongresnya yang kedua dirubah menjadi Jong Java dengan tujuan
untuk meredam sentimen orang Sunda dan Madura terhadap nama perkumpulan
tersebut.
Jong Java bukan satu-satunya perkumpulan pemuda di Jawa, namun ada beberapa
perkumpulan lain yang menonjolkan identitas kedaerahannya seperti Jong Celebes,
Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa dan Jong Ambon. Pada awalnya, perkumpulan-perkumpulan tersebut
berjalan masing-masing, dengan dibatasi oleh etnosentrisme sebagai azas yang
dianut. Mereka menjauhkan diri dari berbagai hal yang berbau politik dalam
kegiatannya, namun mereka memiliki cita-cita politik, yaitu Indonesia Merdeka.
Gejala
menuju persatuan terlihat pada kongres Jong Java di Solo tahun 1926 yang
merubah tujuan perkumpulan menjadi ‘Memadukan rasa persatuan para anggota
dengan semua golongan bangsa Indonesia dan dengan bekerja sama dengan
perkumpulan-perkumpulan pemuda Indonesia lainnya ikut serta dalam menyebarkan
dan memperkuat faham Indonesia bersatu’. Namun, Jong Java tidak lantas
menjalankan tujuannya tersebut. Jong
Java merubah tujuan perkumpulan yang pada awalnya untuk mewujudkan persatuan
Jawa menjadi lebih luas, merangkul perkumpulan daerah lainnya yang dianggap
sebagai wakil dari daerah-daerah di Hindia Belanda untuk membentuk sebuah nation (bangsa).
Pada
waktu yang hampir bersamaan, mahasiswa ‘Rechtshogeschool’
(Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia membentuk sebuah perkumpulan pelajar. Azasnya
ialah berjuang untuk kemerdekaan bangsa yaitu Indonesia yang Merdeka.
Merekalah yang memprakarsai bersatunya perkumpulan-perkumpulan kedaerahan yang
ada di Jakarta dan Bandung untuk bersatu dan menyamakan tujuan perkumpulan
yaitu Indonesia Merdeka. Mereka juga yang memprakarsai Kongres Pemuda I pada 30
April – 2 Mei di Jakarta yang menghasilkan beberapa poin yang penting, dalam
kongres ini pula nama Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia dipilih sebagai
nama perkumpulan. Tujuan perkumpulan tidak lain untuk menamkan rasa kebangsaan
serta mempersatuakan perkumpulan kedaerahan. Namun, tujuan dari kongres ini tidak
dapat dicapai karena masih kuatnya rasa kedaerahan pada setiap perkumpulan.
Barulah
pada tanggal 27-28 Oktober 1928, PPPI dapat memprakarsai Kongres Pemuda ke II
sebagai penguatan serta tindak lanjut dari hasil Kongres I yaitu mempersatukan
seluruh perkumpulan pemuda yang bersifat kedaerahan untuk menyamakan tekad
berjuang mewujudkan Indonesia Merdeka. Namun tetap saja fusi yang
dicita-citakan belum terwujud sepenuhnya, karena persoalan fusi perkumpulan
harus berdasarkan keputusan setiap perkumpulan. Tetapi setidaknya Kongres pada
tanggal 27-28 Oktober ini menghasilkan sebuah ikrar yang merupakan tekad
anak-anak muda dari berbagai golongan dan latar belakang yang berbeda yang kita
kenal dewasa ini sebagai Sumpah Pemuda.
Sumpah
Pemuda merupakan bukti riil perjuangan anak-anak muda dalam partisipasinya
untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara. Mereka berikrar tanpa
mempersoalkan perbedaan ras, budaya, agama bahkan politik. Ikrar mereka hanya
didorong oleh kesadaran akan perlunya persatuan diatas semua perbedaan untuk
membentuk sebuah bangsa dan negara.