Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Latar
Belakang Hijrahnya Nabi SAW ke Madinah
Hijrahnya
Nabi SAW dari kota Makkah ke Madinah dilatarbelakangi oleh kekejaman yang
dilakukan oleh kaum Quraisy Makkah terhadap Nabi dan pengikutnya. Setelah Nabi
melakukan dakwah terhadap keluarganya sendiri, Nabi mulai mendakwahkan Islam
secara terbuka kepada setiap orang. Nabi berdakwah ke segenap lapisan
masyarakat Makkah, baik itu
bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula ia menyeru penduduk Makkah, kemudian
penduduk negeri-negeri lain. Disamping itu, Nabi juga menyeru orang-orang yang
datang ke Makkah, dari berbagai
negeri untuk mengerjakan haji. Dengan kegigihan usaha beliau, sedikit demi
sedikit penganut agama Islam semakin bertambah. Mereka terutama terdiri dari
kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang yang tak punya.
Kegiatan
dakwah yang dilakukan oleh Nabi SAW ternyata mendapat tanggapan yang negatif
dari masyarakat Quraisy. Mereka tidak hanya menolak masuk Islam, malah berusaha
untuk menghalangi dakwah Nabi SAW. Semakin bertambah banyaknya pengikut Nabi
semakin besar pula tantangan yang dilancarkan oleh kaum Quraisy. Menurut Ahmad
Syalabi,[1]
ada lima faktor yang mendorong orang Quraisy menentang seruan Islam,
diantaranya adalah:
1. Mereka
tidak dapat membedakan antara keNabian dan kekuasaan.
Mereka
mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan
Bani Abdul Muthalib.
2. Nabi
Muhammad menyejrukan persamaan hak antara bangSAWan dan hamba sahaya.
3. Para
pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan
pembalasan di akhirat.
4. Taklid
kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat dan berakar pada bangsa Arab.
Dakwah
yang dilakukan oleh Nabi pada akhirnya sampai ke kota Madinah, melalui
orang-orang yang datang ke Makah untuk ber haji. Mereka adalah orang-orang dari
kaum Khazraj dan Aus, yang menjadi orang Madinnah pertama yang masuk Islam.
Kedua kaum tersebut masuk Islam dalam tiga gelombang,[2]
yaitu:
Pertama,
pada tahun kesepuluh keNabian, beberapa orang Khazraj berkata kepada Nabi: “Bangsa
kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus.
Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukan kembali
dengan perantaraan engkau dan ajaran–ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu,
kami akan berdakwah agar mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini”.
[3]
Kedua,
pada tahun kedua belas keNabian delegasi Yastrib ( Madinah), terdiri dari
sepuluh orang suku Khazraj dan dua orang suku Aus serta seorang wanita menemui
Nabi dan mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke
Yastrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja
diutus Nabi atas permintaan mereka. Ikrar ini disebut dengan perjanjian “Aqabah
Pertama”. Penamaan ikrar Aqabah dikarenakan pertemuan mereka dengan Nabi serta
pembacaan ikrar tersebut bertempat di Aqabah.[4]
Mereka berikrar kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Tuhan, tidak mencuri,
tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di
depannya atau di belakang. Jangan menolak berbuat kebaikan. Barang siapa
mematuhi semua itu ia mendapat pahala surga dan kalau ada yang mengecoh, maka
soalnya kembali kepada Tuhan. Tuhan berkuasa menyiksa, juga berkuasa mengampuni
sebaga dosa.
Pada
musim haji beriktunya, jemaah haji yang datang dari Yastrib berjumlah 73 orang.
Pertemuan tersebut diadakan di gunung Aqabah pada tengah malam di hari Tasyriq.
Atas nama penduduk Yastrib, mereka meminta pada Nabi agar berkenan pindah ke
Yastrib. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala ancaman. Nabi pun
menyetujui usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini disebut perjanjian “Aqabah
Kedua”. Sesudah mereka melakukan ikrar akan membela agama Islam serta Nabi nya,
maka Nabi memerintahkan untuk memilih 12 orang pemimpin sebagai penanggungjawab
terhadap masyarakat. Setelah mengadakan pemilihan, maka terpilihlah Sembilan
orang dari kaum Khazraj dan tiga dari kaum Aus.
Setelah
kaum musyrikun Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dan orang-orang
Yastrib itu, mereka kian gila melancarkan intimidasi termidasi kaum
muslimin. Hal ini membuat Nabi segera
memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yastrib. Dalam waktu dua bulan,
hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota
Mekah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Mekah bersama Nabi.
Keduanya membela dan menemani Nabi sampai ia pun berhijrah ke Yastrib karena
kaum Quraisy sudah merencanakan akan membunhnya.
Hijrahnya
Muslimin ke Yastrib
Kejamnya gangguan yang didapatkan oleh kaum Muslimin di Makah
memaksa Nabi memerintahkan mereka untuk hijrah ke Yastrib untuk melindungi jiwa
serta agama Islam. Dipilihnya Yastrib sebagai tujuan hijrah adalah adanya
perjanjian antara Nabi dengan kaum muslimin Yastrib yang tertuang dalam ikrar
Aqabah I dan Aqabah II. Selain itu, kaum muslimin Yastrib (Ansor) memang
meminta Nabi untuk berhijrah ke Yasrib dan menyebarkan Islam disana dan
membentuk kekuasaan politik. Selain keadaan sosial dan politik di Yastrib
cenderung aman, di sana juga tanahnya lebih subur dibandingkan dengan Makah. Di
Yastrib terdapat pertanian, kebun kurma, kebun anggur dan lainnya. Sehingga
penduduk Yastrib lebih makmur bila dibandingkan dengan penduduk Makah.
Untuk mengelabui kaum Quraisy, kaum muslimin melakukan hijrah
secara sendiri-sendiri atau dengan kelompok-kelompok kecil. Namun, strategi
tersebut tercium oleh kaum Quraisy. Mereka berusaha menahan orang muslim yang
hendak hijrah dengan melakukan penangkapan terhadap mereka. Kaum Quraisy
membujuk orang muslim untuk kembali ke agama nenek moyangnya, apabila tidak
mereka tidak segan-segan menyiksa kaum muslimin. Bahkan, kaum Quraisy menahan
istri-istri kaum muslimin yang akan berhijrah. Namun, usaha tersebut kembali
gagal dengan alasan, jika penahanan tetap dilanjutkan, khawatir timbulnya
peperangan antar kabilah di Makah. Sehingga proses hijrah dapat dilakukan
dengan aman.
Rute Hijrah Nabi Muhammad SAW |
Namun diantara kaum Quraisy masih ada yang berkeinginan untuk
membunuh Muhammad supaya agama Islam ikut musnah. Mereka berpendapat bahwa,
jika Muhammad masih hidup dan ikut hijrah ke Yastrib, mereka kuatir penduduk
Yastrib itu kelak akan menyerbu Makah, atau akan menutup jalur perjalanan
perdagangan mereka ke Syam atau akan membuat mereka mati kelaparan seperti yang
pernah mereka lakukan dulu terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya tatkala
mereka membuat perjanjian pemboikotan terhadap keluarga Muhammad, sehingga
memaksa mereka untuk tinggal di celah-celah gunung selama tiga puluh bulan.
Namun, apabila Muhammad masih tinggal di Makah dan berusaha akan
meninggalkan tempat itu, maka mereka masih terancam oleh adanya tindakan pihak
Yastrib dalam membela Nabi. Jadi tidak ada jalan keluar bagi kaum Quraisy
selain membunuh Muhammad. Dengan begitu mereka lepas dari segala bencana dan
kekacauan yang ditimbulkan oleh Muhammad. Tetapi kalau juga mereka membunuhnya,
tentu keluarga Hasyim dan keluarga Muttalib akan menuntut balas. Sehingga
perang saudara di Makah bias terjadi.
Untuk mengatasi permasalahan ini, kaum Quraisy mengadakan pertemuan
di Dar’n Nadwa. Mereka melakukan rapat untuk mencari jalan keluar dari
permasalahan yang ditimbulkan oleh Muhammad. Diantara mereka ada yang
mengusulkan untuk memasukan Muhammad dalam kurungan besi. Namun saran tersebut
tidak mendapatkan tanggapan. Yang lain mengusulkan untuk mengasingkan Muhammad
dari Makah. Usul itu pun tidak mendapat persetujuan karena mereka takut
Muhammad akan menyusul ke Yastrib. Akhirnya mereka memutuskan bahwa mereka akan
membunuh Muhammad. Pembunuhan itu dilakukan dengan cara mengambil utusan dari
setiap kabilah seorang pemuda yang tegap. Kemudian pemuda itu akan diberikan
senjata dengan sebilah pedang yang tajam, yang secara bersama-sama dan
sekaligus mereka akan membunuh Muhammad. Dengan cara ini Bani Abd Manaf dan Bani
Hasyim tidak dapat melakukan balas dendam terhadap mereka.
Pada hari yang sudah ditentukan, para pemuda utusan kabilah
tersebut mulai mengepung rumah Muhammad. Namun Nabi Muhammad sudah memprediksi
siasat yang akan dilakukan kaum Quraisy terhadapnya. Maka Nabi memerintahkan
kepada Ali bin Abi Thalib supaya memakai mantelnya dan tidur di ranjangnya.
Sehingga Nabi dapat melarikan diri ke rumah Abu Bakar dan pergi berdua ke gua
Thaur.
Nabi Muhammad dan Abu Bakar tinggal di gua Thaur selama tiga hari.
Sementara kaum Quraisy setelah melakukan salah penangkapan terhadap Ali bin Abi
Thalib, mereka melakukan pencarian terhadap Nabi dengan keras, bahkan mereka
mencarinya disiang dan malam. Dalam gua tersebut Nabi Muhammad tidak
henti-hentinya meminta pertolongan dan perlindungan dari Allah swt. Kemudian
pemuda-pemuda utusan kabilah tersebut sampai didekat gua. Mereka membawa pedang
serta tongkat sambil mencari jejak Muhammad. Diantara mereka ada yang mendekati
mulut gua, namun dia kembali lagi.
“Kenapa kau tidak menjenguk ke dalam gua?” Tanya kawan-kawannya.
Gua Tsur |
Ada sarang laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak
sebelum Muhammad lahir”. Jawabnya. “Saya melihat dua ekor burung dara hutan di
lubang gua itu. Jadi saya mengetahui tak ada orang disana”. Orang-orang Quraisy
makin yakin bahwa dalam gua itu tak ada manusia tatkala dilihatnya ada cabang
pohon yang terkuali di mulut gua. Tak ada jalan orang akan dapat masuk ke
dalamnya tanpa menghalau dahan-dahan itu. Sarang laba-laba, dua ekor burung
dara dan pohon. Inilah mukjizat yang diberikan Allah kepada utusannya untuk
melindungi Nabinya dari gangguan orang kafir Quraisy.
Setelah tiga hari didalam gua, datanglah orang yang disewa oleh Abu
Bakar untuk membawakan unta serta Asma’ putrid Abu Bakar yang membawakan
makanan. Kemudian mereka berangkat dengan Abdullah bin ‘Uraiqit dari bani Du’il
sebagai petunjuk jalan. Mereka mengambil jalan yang lain yang tidak biasa
dilewati orang untuk ke Yastrib. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kepungan
yang akan dilakukan oleh kaum Quraisy. Mereka mengambil jalan ke selatan
kemudian menuju Tihama didekat pantai Laut Merah lalu menuju ke utara.
Jalan-jalan yang dilalui oleh mereka bukanlah jalan yang mudah.
Keadaan alam yang mempersulit perjalanan mereka. Mereka melintasi batu-batu
karang dan lembah-lembah yang sangat curam. Dan sering pula mereka tidak
mendapatkan sesuatu yang akan menaungi diri mereka dari panasnya matahari,
tidak ada tempat bernaung untuk istirahat pada malam hari dan juga tidak ada
tempat berlindung dari ancaman binatang buas.
Mesjid Quba |
Dalam perjalanan, Nabi singgah terlebih dahulu di daerah bernama
Quba- dua farsakh jauhnya dari
Madinah. Empat hari Nabi tinggal disana, ditemani oleh Abu Bakar. Selama
tinggal disana, Nabi membangun sebuah Masjid yang diberi nama Quba. Setelah
itu, datanglah Ali bin Abi Thalib setelah menyelesaikan urusan di Makah. Ali
bin Abi Thalib berangkat dari Makah ke
Madinah dengan berjalan kaki. Malam hari ia berjalan, sementara siangnya
ia bersembunyi.
Sementara di Yastrib, penduduk Yastrib sudah menantikan kedatangan
Nabi mereka. Berita-berita mengenai hijrahnya Nabi yang akan menyusul rombongan
yang lain sudah menyebar di Yastrib. Penduduk kota ini sudah mengetahui, betapa
kedua orang ini mengalami kekerasan dari Quraisy yang terus menerus membuntuti.
Oleh karena itu semua kaum Muslimin tetap tinggal di tempat itu menantikan
kedatangan Nabi dengan hati penuh rindu ingin melihatnya, ingin mendengarkan
tutur katanya. Banyak diantara mereka yang belum pernah melihantnya, meskipun
sudah mendengar tentang keadaannya dan mengetahui pesona bahasa serta keteguhan
pendiriannya. Semua itu membuat merka rindu sekali ingin bertemu dan
melihatnya.
Akhirnya pada hari jum’at
Muhammad tiba di Madinah. Orang-orang yang terkemuka di di Medinah menawarkan
diri supaya ia tinggal pada rumah mereka dengan segala persediaan dan persiapan
yang ada. Tetapi Nabi meminta maaf kepada mereka. Kemudian Nabi menaiki untanya
kembali melalui jalan-jalan di Yastrib, di tengah-tengah kaum muslimin yang
ramai menyambutnya dan memberikan jalan sepanjang jalan yang dilewatinya.
Seluruh penduduk Yastrib dan Yahudi maupun orang-orang pagan menyaksikan adanya
hidup baru yang bersemarak dalam kota mereka itu, menyaksikan kehadiran seorang
pendatang baru, orang besar yang telah mempersatukan kaum Aus dan kaum Khazraj,
yang selama itu saling bermusuh-musuhan, saling berperang.
Supaya adil, Nabi
membiarkan unta itu tetap berjalan itu sehingga berjalan. Sesampainya ke sebuah
tempat penjemuran kurma kepunyaan dua orang anak yatim dari Bani Najjar, unta
itu berlutut (berhenti). Ketika itulah Nabi turun dari unta dan memilih tempat
itu sebagai tempat tinggal Nabi dan akan dibangun Masjid yang diberi nama
Masjid Nabawi.
Keadaan
Sosial Masyarakat Madinah
Secara geografis, Madinah
merupakan dataran yang dikelilingi oleh gunung-gunung dan perbukitan serta
beriklim gurun. Madinah merupakan pusat
permukiman masyarakat Arab yang telah ada sebelum agama Islam datang. Nama pemukiman
tersebut adalah Yastrib. Dalam pandangan bangsa Arab, Yastrib tidak mempunyai
kedudukan apa-apa. Ia tidak sepenting kedudukan kota Mekah yang di dalamnya
terdapat baitullah yang disakralkan oleh seluruh masyarakat Arab.
Dilihat dari komunitas sosialnya, penduduk Madinah sangat
heterogen.[5]
Secara keseluruhan, penduduk Madinah
terdiri dari sebelas kelompok. Delapan kelompok itu berasal dari bangsa Arab.
Adapun yang paling dominan diantara mereka ada dua suku yaitu suku Khazraj dan
suku Aus yang berasal dari Arab bagian selatan. Mereka adalah masyarakat yang
menguasai lahan pertanian di Madinah[6].
Selain delapan kelompok bangsa Arab tersebut terdapat juga tiga kelompok asing
yang tinggal di Madinah, mereka adalah
suku Nadir, Qainuqa, dan Khuraizah yang waktu itu diperkirakan jumlah lelaki
dewasa mereka lebih dari 2.000 orang. Mereka adalah orang-orang Yahudi yang
berhijrah ke Jazirah Arabia sejak abad pertama masehi. Mereka hijrah ke Madinah setelah berkahirnya peperangan antara
abngsa Yahudi dan bangsa Romawi di tahun 70 Masehi dengan hancurnya Palestina
dan pusat peribadatan Yahudi di Baitul Maqdis. Sehingga banyak bangsa Yahudi
terpencar ke seluruh pelosok dunia, termasuk sebagian besar mereka berhijrah ke
Jazirah Arab[7].
Mereka lebih menguasai dunia perdagangan karena mereka tinggal di pusat
pemukiman Yastrib. Selain berdagang, penduduk
Madinah juga ada yang melakukan pertanian. Hal tersebut dikarenakan
keadaan wilayah kota Madinah adalah
lembah yang subur.
Sesampainya Nabi di Madinah,
Nabi segera menegakan masyarakat Islam yang kokoh dan toleran, dan sebagai
langkah pertama kearah itu, Nabi membangun Masjid yang diberi nama Masjid
Nabawi. Tidak heran kalau Masjid merupakan asas utama dan terpenting bagi
pembentukan masyarakat Islam, karena masyarakat Islam tidak akan terbentuk
kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap aqidah, dan tatanan
Islam, hal ini bias ditumbuhkan melalui pembangunan dan penggunaan Masjid
sebagai tempat ibadah[8].
Dalam membangun Masjid tersebut Nabi juga ikut bekerja dengan tangannya
sendiri. Kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula
bersama-sama membangun. Selesai Masjid tersebut dibangun, disekitarnya dibangun
pula tempat tinggal Nabi.
Mesjid Nabawi |
Masjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas, keempat
temboknya dibuat dari batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun
kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuta, dengan salah satu bagian lagi
digunakan tempat orang-orang fakit miskin yang tidak punya tempat tinggal.
Tidak ada penerangan dalam Masjid tersebut pada malam hari.
Sebagai langkah selanjutnya, Rasulullah mempersaudarakan para
sahabatnya dari kaum Muhajirin (orang yang berhijrah) dan Anshar (masyarakat
Yastrib). Sebab masyarakat manapun, tidak akan berdiri tegak, kokoh tanpa
adanya kesatuan dan dukungan anggota masyarakatnya. Sedangkan dukungan dan
kesatuan tidak akan lahir tanpa adanya persaudaraan dan saling mencintai.
Mesjid Nabawi sekarang |
Dalam ajaran Islam, kesempurnaan seseorang selaku individu akan
memberikan dampak yang sangat besar pada berbagai aspek kehidupan sosial karena
individu merupakan anggota pokok dalam struktur masyarakat. Tidak ada dinding
pemisah antara kualitas kehidupan individu dan kualitas kelompok masyarakatnya.
Dan pada realitasnya Islam menempatkan keseimbangan diantara kemashlahatan
keduanya.[9]
Diantara yang dipersaudarakan adalah Abu bakar Ash Shiddiq dengan Kharijah bin
Zuhair, Umar bin Khattab dengan Utbah bin Malik, Abdurrahman bin Auf dengan
Sa’ad bin Rabi, Ammar bin Yasir dengan Hudzaifah bin Yaman, Abu Dzar dengan Al
Munzir bin Amr, Hamzah bin Abdul Muthalib dengan Zaid bin Haritsah, Bilal bin
Raba dengan Abu Ruwaihah Abdullah bin Abdurrahman al Khats’ami dan
sahabat-sahabat lainnya yang mencapai 90 orang[10].
Persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah diantara kaum muslimin
tersebut tidak hanya antara Muhajirin dan Anshar saja, tetapi lebih luas dari
itu, yakni dilakukan antara sesama orang-orang Muhajirin, dan sesama
orang-orang Anshar. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah dengan maksud merekatkan
hubngan antara kabilah-kabilah kaum Muhajirin dan lebih khusus merekatkan
hubungan suku Aus dan suku Khazraj yang sering berperang sebelum kedatangan
Rasulllah ke Madinah. Menurut Imam Abdur
Rahman al-Khats'ami dalam kitabnya Ar-Raudhul Unuf menyebutkan: "Maksud
dari persaudaraan ini adalah untuk menghilangkan kesepian lantaran meninggalkan
kampong halaman mereka, dan menghibur karena berpisah dengan keluarga,
disamping agar mereka saling membantu satu sama lain"[11].
Kaum Anshar memerima tali persaudaraan dari kaum Muahjirin yang
sejak semula sudah mereka sambut dengan penuh gembira. Sebabnya ialah, mereka telah
meninggalkan Mekah, dan bersama itu mereka tinggalkan pula segala yang mereka
miliki, harta benda dan semua kekayaan. Sebagian besar ketika mereka
memasuki Madinah sudah hamper tak ada
lagi yang akan dimakan disamping mereka bukan orang yang berada dan
berkecukupan selain Usman bin Affan. Sedangkan yang lain sedikit sekali yang
dapat membawa sesuatu yang berguna dari Mekah.
Persaudaraan antara Muhajirin dengan Anshor diabadikan oleh Allah
dalam Al Quran surat Al Hasyr ayat
9 :
Artinya "Dan orang-orang yang telah menempati kota
Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka
sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”.
[1]
Ahmad Syalabi, Mausu’at al tarikh al Islami wa al Hadharat al Islamiyyah
87-90.
[2]
Ahmad Syalabi, Mausu’at Al-Tarikh Al Islami Wa Al-Hadharat Al-Islamiyah, 104-5.
[3]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 25-26.
[4] ibid
hal 26
[5] Ajid
Tohir, Kehidupan Umat Islam Pada Masa Rasulullah, hlm 86
[6] Tanah kota Yastib sangat subur untuk bercocok tanam, itulah
sebabnya kebanyakan penduduknya menyandarkan hidupnya dari bercocok tanamn.
Hasil utamanya adalah buah kurma, anggur dan sayur mayor. Jika musim hujan
hasil kebun penduduk yastrib sangat melimpah sehingga digunakan sebagai alat
tukar menukar pengganti uang. Lihat Abu Hasan Ali Al Hasany An Nadwy, As-Sirah
An Nabawiyyah, Terj Bey Arifin, Surabaya: Bina Ilmu 1983 hlm 165.
[7] Ibid
hlm 151.
[8]
Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Rabbani
Press, 2001, hlm 171.
[9]
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Qur’an Al-Karim Bunyatuhu Al-Tasyri’iyyat Wa
Khashaisuhu Al Hadlariyyat, Dar Fikr Al-
Mu’ashir, Beirut , Libanon, 1993;162.
[10]
Lihat Ahzami Saimun Jazuli, Hijrah dalam Pandangan Al Quran, Jakarta: Gema
Insani Press. 2006. Hlm 262.
[11] Ahmad Shalaby, Masyarakat Islam, Jogjakarta: tanpa penerbit hlm
41-42.
nice info terimakasih untuk pengetahuannya
ReplyDeletekabar indonesia hari ini