Halaman

Saturday, January 19, 2013

Sejarah Sebagai Pengalaman Dan Sebagai Kegiatan Intelektual

Pernyataan Carl Becker bahwa everyman his own historian yang artinya adalah setiap orang (adalah) sejarawan untuk dirinya sendiri berangkat dari asumsi bahwa setiap manusia adalah penggerak sejarah. Manusia pada hakiaktnya yang membuat sejarah baik itu sebagai pelaku sejarah atau pun sebagai saksi sejarah.  Setiap orang “normal” mengenal sejarah dan karena itu ia adalah “sejarawan”, namun istilah sejarawan sebenarnya terbatas apabila ditinjau dari kacamata keilmuan merupakan salah satu bentuk dari profesi akademik.
Manusia sebagai penggerak sejarah baik itu sebagai pelaku atau saksi sejarah boleh menceritakan kejadian yang dialaminya dalam bentuk tulisan, Namun hasil dari tulisan tersebut belum bisa disebut sejarah, karena penulisan sejarah harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Sedangkan penulisan cerita ini hanya berpijak dari pengalaman, apa yang dirasakan, apa yang didengar dan apa yang dilihat oleh penulis. Bentuk dari penulisan ini bisa berupa catatan harian, memoir, boigrafi dan otobiografi.
Penulisan pengalaman bukan termasuk kategori ekspalansi sejarah secara ilmiah. Namun hal tersebut bisa dikategorikan kedalam penulisan sejarah tradisional atau oldhistory layaknya penulisan sejarah pada masa-masa dahulu yang berpusat pada kehidupan orang-orang besar (raja). Cerita tersebut berisi riwayat kehidupan seorang tokoh mulai dari masa kecil sampai wafat. Biasanya cerita tersebut berupa pandangan-pandangan tokoh terhadap peristiwa yang dialaminya selama hidup, dengan kebebasan ekspresi yang luas tanpa terhalang oleh batasan-batasan ilmiah. Dalam hal ini objekstifitas sejarah yang menjadi tujuan dari eksplanasi sejarah diabaikan. 

Baca juga : Kebenaran Sejarah

Penulis secara tulus menceritakan tanpa adanya penetrasi ilmiah maupun penetrasi politik bab per bab dari riwayat hidupnya sembari mensisipkan muatan-muatan, pesan-pesan atau bahkan ideologi yang dia anut. Biografi, otobiografi maupun memoir pada dasarnya merupakan “catatan harian” yang ditinggalkan oleh seorang tokoh untuk kemudian dijadikan “kenangan” oleh para penggemar, supaya mereka lebih mengetahui sisi pribadi dari tokoh tersebut.     
Namun pada kelanjutannya, catatan harian, memoir, biografi dan otobiografi ini bisa dijadikan sumber primer dalam penulisan suatu peristiwa. Penggunaan catatan harian, memoir, biografi dan otobiografi harus melalui tahapan kritik sumber. Penggunaannya pun sebagai sumber sejarah tidak sembarangan, tidak semua catatan harian, memoir, biografi dan otobiografi bisa digunakan. Tulisan-tulisan tertentu dalam hal ini tulisan atau keterangan dari orang yang memiliki kredibilitas dan kapabillitas yang dipilih sebagai sumber sejarah, sebagai contoh otobiografi Presiden Sukarno, Memoir M. Hatta, biografi Suharto, catatan harian Ahmad Wahib, biografi tokoh politik, tokoh agama dan negarawan.
Kekuatan dari biografi, otobiografi, memoir ataupun catatan harian terletak pada keontetikan peristiwa yang diceritakannya. Apa yang tersaji dalam catatan harian misalnya, adalah hasil dari pengamatan dan pandangan seseorang terhadap peristiwa yang dia ketahui. Sehingga apabila kita membacanya, layaknya kita sedang mendengarkan cerita dari penulisnya atau layaknya kita sedang melakukan sebuah tanya jawab. Peristiwa yang terjadi disekitar penulis menjadi bahan dari catatan harian, biografi, otobiografi atau memoir sehingga catatan tersebut bisa dikatakan otentik dan kedudukannya bisa disejajarkan dengan hasil wawancara pada sumber sejarah.

     
Berbeda dengan pendapat Paul Veyne yang mengemukakan bahwa menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini suatu cara yang utama untuk memahami sejarah. Pendapat ini berangkat dari asumsi bahwa historia rerum gestarum, bahwa sejarah adalah kisah masa lalu yang dijelaskan bukan res gestae, kejadian masa lalu itu sendiri secara utuh. Sejarawan tidak bisa menjelaskan secara lengkap bagaimana kronologis terjadinya perang Diponegoro secara lengkap dan utuh (res gestae) karena seorang sejarawan tidak dapat kembali ke masa lalu untuk menuliskan peristiwa tersebut.
Dalam menjelaskan masa lalu itu, sejarawan hanya berpijak pada rekaman sejarah baik itu arsip, catatan dan naskah yang berhubungan dengan peristiwa yang dijelaskan (historia rerum gestarum). Dari rekaman sejarah tersebut, sejarawan menacari data atau evidensi yang telah mengalami kritik sumber dan kemudian diolah menjadi fakta, kemudian sejarawan merekonstruksi peristiwa tersebut dengan menggunakan fakta-fakta yang telah didapatkan. Sejarawan dituntut kritis dan menggunakan analisis untuk menghasilkan sintesis dari seluruh penelitiannya dalam bentuk tulisan utuh yang disebut historiografi. Hasil dari rekonstruksi itu dianggap mewakili masa lalu yang disebut sejarah dan ini merupakan wujud masa lalu yang berbentuk tulisan.
Untuk menuliskan sejarah, sejarawan harus menggunakan metodologi yang meliputi: Heuristik (pencarian sumber), Kritik sumber (eksternal dan internal) dan Historiografi (penafsiran, penjelasan dan penyajian). Penggunaan metodologi sejarah adalah syarat mutlak yang harus dilakukan oleh setiap sejarawan. Penggunaan metodologi ini adalah tolak ukur bagaiamana tulisan yang dihasilkan sejarawan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sejarah bukanlah melulu sebagai kisah yang menceritakan masa lalu, namun sejarah juga merupakan suatu ilmu yang memiliki objek kajian, metodologi untuk memperoleh pengetahuan yang benar dan objektif serta konsep-konsep tersendiri.

Baca juga artikel lainnya terkait Sejarah

2 comments: