Pernyataan Carl Becker bahwa everyman his own historian yang artinya adalah setiap orang
(adalah) sejarawan untuk dirinya sendiri berangkat dari asumsi bahwa setiap
manusia adalah penggerak sejarah. Manusia pada hakiaktnya yang membuat sejarah
baik itu sebagai pelaku sejarah atau pun sebagai saksi sejarah. Setiap orang “normal” mengenal sejarah dan
karena itu ia adalah
“sejarawan”, namun istilah sejarawan sebenarnya terbatas apabila
ditinjau dari kacamata keilmuan merupakan
salah satu bentuk dari profesi akademik.
Manusia sebagai penggerak sejarah baik itu sebagai
pelaku atau saksi sejarah boleh menceritakan kejadian yang dialaminya dalam
bentuk tulisan, Namun hasil dari tulisan tersebut belum bisa disebut sejarah,
karena penulisan sejarah harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Sedangkan
penulisan cerita ini hanya berpijak dari pengalaman, apa yang dirasakan,
apa yang didengar dan apa yang dilihat oleh penulis. Bentuk dari penulisan ini bisa berupa catatan harian, memoir,
boigrafi dan otobiografi.
Penulisan
pengalaman bukan termasuk kategori ekspalansi sejarah secara ilmiah. Namun hal
tersebut bisa dikategorikan kedalam penulisan sejarah tradisional atau oldhistory layaknya penulisan sejarah
pada masa-masa dahulu yang berpusat pada kehidupan orang-orang besar (raja). Cerita
tersebut berisi riwayat kehidupan seorang tokoh mulai dari masa kecil sampai
wafat. Biasanya cerita tersebut berupa pandangan-pandangan tokoh terhadap
peristiwa yang dialaminya selama hidup, dengan kebebasan ekspresi yang luas
tanpa terhalang oleh batasan-batasan ilmiah. Dalam hal ini objekstifitas
sejarah yang menjadi tujuan dari eksplanasi sejarah diabaikan.
Baca juga : Kebenaran Sejarah
Penulis
secara tulus menceritakan tanpa adanya penetrasi ilmiah maupun penetrasi
politik bab per bab dari riwayat hidupnya sembari mensisipkan muatan-muatan,
pesan-pesan atau bahkan ideologi yang dia anut. Biografi, otobiografi maupun
memoir pada dasarnya merupakan “catatan harian” yang ditinggalkan oleh seorang
tokoh untuk kemudian dijadikan “kenangan” oleh para penggemar, supaya mereka
lebih mengetahui sisi pribadi dari tokoh tersebut.
Namun pada kelanjutannya, catatan harian, memoir,
biografi dan otobiografi ini bisa dijadikan sumber primer dalam penulisan suatu
peristiwa. Penggunaan catatan harian, memoir, biografi dan otobiografi harus
melalui tahapan kritik sumber. Penggunaannya pun sebagai sumber sejarah tidak
sembarangan, tidak semua catatan harian, memoir, biografi dan otobiografi bisa
digunakan. Tulisan-tulisan tertentu dalam hal ini tulisan atau keterangan dari
orang yang memiliki kredibilitas dan kapabillitas yang dipilih sebagai sumber sejarah, sebagai contoh otobiografi Presiden Sukarno, Memoir M. Hatta,
biografi Suharto, catatan harian Ahmad Wahib, biografi tokoh politik, tokoh agama dan negarawan.
Kekuatan
dari biografi, otobiografi, memoir ataupun catatan harian terletak pada
keontetikan peristiwa yang diceritakannya. Apa yang tersaji dalam catatan
harian misalnya, adalah hasil dari pengamatan dan pandangan seseorang terhadap
peristiwa yang dia ketahui. Sehingga apabila kita membacanya, layaknya kita
sedang mendengarkan cerita dari penulisnya atau layaknya kita sedang melakukan
sebuah tanya jawab. Peristiwa yang terjadi disekitar penulis menjadi bahan dari
catatan harian, biografi, otobiografi atau memoir sehingga catatan tersebut
bisa dikatakan otentik dan kedudukannya bisa disejajarkan dengan hasil
wawancara pada sumber sejarah.
Baca juga : Setiap Manusia adalah Sejarawan
Berbeda dengan pendapat Paul Veyne yang mengemukakan
bahwa menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini suatu cara
yang utama untuk memahami sejarah. Pendapat ini berangkat dari asumsi bahwa historia rerum gestarum, bahwa sejarah
adalah kisah masa lalu yang dijelaskan bukan res gestae, kejadian masa lalu itu sendiri secara utuh. Sejarawan
tidak bisa menjelaskan secara lengkap bagaimana kronologis terjadinya perang
Diponegoro secara lengkap dan utuh (res
gestae) karena seorang sejarawan
tidak dapat kembali ke masa lalu untuk menuliskan peristiwa tersebut.
Dalam menjelaskan masa lalu itu, sejarawan hanya
berpijak pada rekaman sejarah baik itu arsip, catatan dan naskah yang
berhubungan dengan peristiwa yang dijelaskan (historia rerum gestarum). Dari rekaman sejarah tersebut, sejarawan
menacari data atau evidensi yang telah mengalami kritik sumber dan kemudian
diolah menjadi fakta, kemudian sejarawan merekonstruksi peristiwa tersebut
dengan menggunakan fakta-fakta yang telah didapatkan. Sejarawan dituntut kritis
dan menggunakan analisis untuk menghasilkan sintesis dari seluruh penelitiannya
dalam bentuk tulisan utuh yang disebut historiografi. Hasil dari rekonstruksi
itu dianggap mewakili masa lalu yang disebut sejarah dan ini merupakan wujud
masa lalu yang berbentuk tulisan.
Untuk menuliskan sejarah, sejarawan harus menggunakan
metodologi yang meliputi: Heuristik (pencarian sumber), Kritik sumber
(eksternal dan internal) dan Historiografi (penafsiran, penjelasan dan
penyajian). Penggunaan metodologi sejarah adalah syarat mutlak
yang harus dilakukan oleh setiap sejarawan. Penggunaan metodologi ini adalah
tolak ukur bagaiamana tulisan yang dihasilkan sejarawan bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sejarah bukanlah melulu sebagai kisah yang
menceritakan masa lalu, namun sejarah juga merupakan suatu ilmu yang memiliki
objek kajian, metodologi untuk memperoleh pengetahuan yang benar dan objektif
serta konsep-konsep tersendiri.
Baca juga artikel lainnya terkait Sejarah
Terimakasih telah membantu,semoga bermanfaat
ReplyDeleteinformasinya sanagt menambah wawasan
ReplyDeletesindonews international