Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Lebih Baik di Atom daripada Tidak Merdeka 100%...!!!
Itulah pekik semangat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika periode (menurut George Kahin) sebagai internal dynamic in the revolution. Periode ini adalah periode dimana para pemimpin perjuangan memperdebatkan jalan perjuangan yang harus ditempuh untuk mempertahankan Indonesia. Titik pangkal perdebatan ini dimulai ketika perang Surabaya pada 10 November 1945 yang mengakibatkan jatuhnya korban yang sangat banyak dari rakyat Indonesia. Dua opsi yang menjadi perebatan yaitu perjuangan lewat perjuangan fisik atau perjuangan lewat diplomasi?. Para pemimpin Indonesia mulai memperdebatkan jalan terbaik untuk mempertahankan kedaulatan Republik. Perdebatan sengit diantara pemimpin yang mendukung jalan perang fisik dengan tokohya seperti Tan Malaka, M Yamin dan Jenderal Sudirman sedangkan pendukung jalan diplomasi dengan tokohnya yaitu Sukarno, Hatta dan Sjahrir.
Jika dilihat sekilas memang itulah slogan yang populer dalam periode itu. Tetapi jika kita melihat keadaan pada waktu itu, kita sebenarnya tidak cukup mampu untuk melawan Belanda dan Sekutu melalui jalan perang fisik. Ada 3 alasan mendasar mengapa Indonesia lemah apabila melanjutkan pertempuran fisik. Pertama, logistik persenjataan Indonesia kalah telak dengan persenjataan Belanda dan Sekutu. Ini menjadi kekhawatiran para pemimpin Indonesia karena berpotensi jatuhnya korban yang besar. Apabila begitu, siapa yang akan melanjutkan perjuangan Indonesia???. Yang kedua, Republik ini baru merdeka dan belum memiliki garis komando yang lengkap antara pusat dengan daerah. Yang ketiga, Indonesia adalah negara bekas jajahan Belanda yang kemudian dikuasai oleh Jepang, ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II otomatis seluruh negara yang dikuasai oleh Jepang (termasuk Indonesia) diserahkan kepada sekutu. Disinilah fungsi diplomasi sebagai salah satu jalan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, karena suatu negara tidak bisa mengklaim merdeka tanpa pengakuan dari dunia Internasional.
Sebenarnya peran diplomasi yang digagas oleh Sukarno dan Hatta yang kemudian dijabarkan oleh Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri pertama pada waktu itu sangatlah penting. Karena diplomasi itu adalah jalan satu-satunya bagi Indonesia yang baru merdeka untuk mendapatkan status de jure dari dunia Internasional. Hasan Wirajuda berkata, 'pada waktu itu Indonesia bukan hanya sedang menghadapi Belanda (penjajah) tapi Indonesia juga sedang menghadapi sistem internasional yang sulit ditembus'. Jalan satu-satunya adalah dengan cara berdiplomasi baik itu diplomasi dengan Belanda, Sekutu ataupun dengan dunia Internasional. Jadi jangan lupakan peran diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jika dilihat secara sekilas, dampak diplomasi yang dijalankan oleh Indonesia seperti Linggarjati, Renville dan Roem Royen sangat merugikan pihak Indonesia dengan menyusutnya wilayah Indonesia. Jika kita melihat lebih dalam tentang diplomasi kita akan melihat betapa besarnya peran diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta pada saat memproklamasikan Indonesia dianggap oleh Sekutu sebagai penjahat perang. Ada beberapa alasan mengapa Sukarno Hatta dianggap sebagai penjahat perang:
1. Sukarno dan Hatta adalah kolaborator pada saat Jepang berkuasa di Indonesia. Sukarno Hatta adalah dua tokoh yang bekerjasama dengan Jepang
2. Teks Proklamasi di buat di rumah pejabat Jepang
3. Undang-Undang Dasar 1945 dibuat oleh badan-badan bentukan Jepang BPUPKI dan PPKI
4. Republik Indonesia adalah negara yang tidak demokratis karena bentukan Jepang
Untuk menghilangkan tuduhan Sekutu dan dunia Internasional, maka Sukarno mengeluarkan strategi berupa :
1. Rapat raksasa di lapangan Ikada (lapangan Banteng)
2. Berubahnya bentuk pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer
3. Menunjukan eksistensi di dunia Internasional dengan mengadakan perundingan dengan Belanda dan Sekutu seperti perundingan Linggarjati, Renville, Roem Royen dan KMB.
4. Mengirimkan beberapa diplomat ke negara-negara tetangga.
Dampak dari diadakannya Rapat Raksasa di Ikada adalah penagkuan tentara Sekutu terhadap Sukarno sebagai pemimpin Indonesia yang dipatuhi oleh rakyatnya. Ketika rapat Ikada berlangsung dengan dijaga ketat oleh tenatar sekutu dan Jepang, Sukarno bisa menunjukan bahwa dia adalah pemimpin Republik Indonesia yang diakui dan dipatuhi oleh rakyatnya. Kemudian dengan adanya diplomasi Indonesia dengan Sekutu dan Belanda secara tidak langsung Sekutu dan Belanda mengakui eksistensi Republik Indonesia. Selain itu Sukarno dan Hatta tidak lagi menjadi penjahat perang karena mereka sudah diakui lewat pelaksanaan diplomasi sebagai pemimpin Republik Indonesia.
Langkah selanjutnya yang ditempuh Sukarno untuk melepaskan anggapan Indonesia adalah negara yang tidak demokratis dan bentukan Jepang adalah merubah bentuk pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer. Sukarno sengaja memilih Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri pada saat itu, karena Sutan Sjahrir tidak bekerja sama dengan Jepang pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia. Selain itu Sutan Sjahrir memiliki pandangan bahwa perjuangan tidaklah harus dengan jalan perang fisik, tetapi jalan diplomasi juga sangat penting.
Apabila Sukarno menginginkan perang fisik diutamakan, maka tentulah Sukarno akan memilih Tan Malaka untuk jadi Perdana Menteri pada saat itu. Tan Malaka adalah tokoh yang banyak dikagumi oleh rakyat Indonesia pada waktu itu karena beliau heroik dalam perjuangannya. Tetapi Sukarno pada saat itu bisa melaihat lebih dalam strategi perjuangan yang harus ditempuh oleh bangsa ini.
Sebenarnya, perjuangan fisik dengan perjuangan diplomasi bagaikan dua sisi dalam satu mata uang. kedua jalan ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena keduanya memiliki fungsi dan peran masing-masing dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Lebih Baik di Atom daripada Tidak Merdeka 100%...!!!
Itulah pekik semangat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika periode (menurut George Kahin) sebagai internal dynamic in the revolution. Periode ini adalah periode dimana para pemimpin perjuangan memperdebatkan jalan perjuangan yang harus ditempuh untuk mempertahankan Indonesia. Titik pangkal perdebatan ini dimulai ketika perang Surabaya pada 10 November 1945 yang mengakibatkan jatuhnya korban yang sangat banyak dari rakyat Indonesia. Dua opsi yang menjadi perebatan yaitu perjuangan lewat perjuangan fisik atau perjuangan lewat diplomasi?. Para pemimpin Indonesia mulai memperdebatkan jalan terbaik untuk mempertahankan kedaulatan Republik. Perdebatan sengit diantara pemimpin yang mendukung jalan perang fisik dengan tokohya seperti Tan Malaka, M Yamin dan Jenderal Sudirman sedangkan pendukung jalan diplomasi dengan tokohnya yaitu Sukarno, Hatta dan Sjahrir.
Jika dilihat sekilas memang itulah slogan yang populer dalam periode itu. Tetapi jika kita melihat keadaan pada waktu itu, kita sebenarnya tidak cukup mampu untuk melawan Belanda dan Sekutu melalui jalan perang fisik. Ada 3 alasan mendasar mengapa Indonesia lemah apabila melanjutkan pertempuran fisik. Pertama, logistik persenjataan Indonesia kalah telak dengan persenjataan Belanda dan Sekutu. Ini menjadi kekhawatiran para pemimpin Indonesia karena berpotensi jatuhnya korban yang besar. Apabila begitu, siapa yang akan melanjutkan perjuangan Indonesia???. Yang kedua, Republik ini baru merdeka dan belum memiliki garis komando yang lengkap antara pusat dengan daerah. Yang ketiga, Indonesia adalah negara bekas jajahan Belanda yang kemudian dikuasai oleh Jepang, ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II otomatis seluruh negara yang dikuasai oleh Jepang (termasuk Indonesia) diserahkan kepada sekutu. Disinilah fungsi diplomasi sebagai salah satu jalan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, karena suatu negara tidak bisa mengklaim merdeka tanpa pengakuan dari dunia Internasional.
Sebenarnya peran diplomasi yang digagas oleh Sukarno dan Hatta yang kemudian dijabarkan oleh Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri pertama pada waktu itu sangatlah penting. Karena diplomasi itu adalah jalan satu-satunya bagi Indonesia yang baru merdeka untuk mendapatkan status de jure dari dunia Internasional. Hasan Wirajuda berkata, 'pada waktu itu Indonesia bukan hanya sedang menghadapi Belanda (penjajah) tapi Indonesia juga sedang menghadapi sistem internasional yang sulit ditembus'. Jalan satu-satunya adalah dengan cara berdiplomasi baik itu diplomasi dengan Belanda, Sekutu ataupun dengan dunia Internasional. Jadi jangan lupakan peran diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Jika dilihat secara sekilas, dampak diplomasi yang dijalankan oleh Indonesia seperti Linggarjati, Renville dan Roem Royen sangat merugikan pihak Indonesia dengan menyusutnya wilayah Indonesia. Jika kita melihat lebih dalam tentang diplomasi kita akan melihat betapa besarnya peran diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta pada saat memproklamasikan Indonesia dianggap oleh Sekutu sebagai penjahat perang. Ada beberapa alasan mengapa Sukarno Hatta dianggap sebagai penjahat perang:
1. Sukarno dan Hatta adalah kolaborator pada saat Jepang berkuasa di Indonesia. Sukarno Hatta adalah dua tokoh yang bekerjasama dengan Jepang
2. Teks Proklamasi di buat di rumah pejabat Jepang
3. Undang-Undang Dasar 1945 dibuat oleh badan-badan bentukan Jepang BPUPKI dan PPKI
4. Republik Indonesia adalah negara yang tidak demokratis karena bentukan Jepang
Untuk menghilangkan tuduhan Sekutu dan dunia Internasional, maka Sukarno mengeluarkan strategi berupa :
1. Rapat raksasa di lapangan Ikada (lapangan Banteng)
2. Berubahnya bentuk pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer
3. Menunjukan eksistensi di dunia Internasional dengan mengadakan perundingan dengan Belanda dan Sekutu seperti perundingan Linggarjati, Renville, Roem Royen dan KMB.
4. Mengirimkan beberapa diplomat ke negara-negara tetangga.
Dampak dari diadakannya Rapat Raksasa di Ikada adalah penagkuan tentara Sekutu terhadap Sukarno sebagai pemimpin Indonesia yang dipatuhi oleh rakyatnya. Ketika rapat Ikada berlangsung dengan dijaga ketat oleh tenatar sekutu dan Jepang, Sukarno bisa menunjukan bahwa dia adalah pemimpin Republik Indonesia yang diakui dan dipatuhi oleh rakyatnya. Kemudian dengan adanya diplomasi Indonesia dengan Sekutu dan Belanda secara tidak langsung Sekutu dan Belanda mengakui eksistensi Republik Indonesia. Selain itu Sukarno dan Hatta tidak lagi menjadi penjahat perang karena mereka sudah diakui lewat pelaksanaan diplomasi sebagai pemimpin Republik Indonesia.
Langkah selanjutnya yang ditempuh Sukarno untuk melepaskan anggapan Indonesia adalah negara yang tidak demokratis dan bentukan Jepang adalah merubah bentuk pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer. Sukarno sengaja memilih Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri pada saat itu, karena Sutan Sjahrir tidak bekerja sama dengan Jepang pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia. Selain itu Sutan Sjahrir memiliki pandangan bahwa perjuangan tidaklah harus dengan jalan perang fisik, tetapi jalan diplomasi juga sangat penting.
Apabila Sukarno menginginkan perang fisik diutamakan, maka tentulah Sukarno akan memilih Tan Malaka untuk jadi Perdana Menteri pada saat itu. Tan Malaka adalah tokoh yang banyak dikagumi oleh rakyat Indonesia pada waktu itu karena beliau heroik dalam perjuangannya. Tetapi Sukarno pada saat itu bisa melaihat lebih dalam strategi perjuangan yang harus ditempuh oleh bangsa ini.
Sebenarnya, perjuangan fisik dengan perjuangan diplomasi bagaikan dua sisi dalam satu mata uang. kedua jalan ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena keduanya memiliki fungsi dan peran masing-masing dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
No comments:
Post a Comment