Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Sebagai Civitas
Akademika ataupun peminat sejarah, tentu kita mengenal Carl Becker dan Paul
Veyne sebagai dua orang ahli dalam sejarah. Salah satu kutipan atau slogan yang
terkenal dari Carl Becker adalah everyman his own historian. Nah, apa itu everyman his own historian ? dan apa hubungannya dengan Paul Veyne ?. Silahkan
simak uraian di bawah ini.
Carl Becker |
Pernyataan Carl
Becker bahwa everyman his own historian
yang artinya adalah setiap orang (adalah) sejarawan untuk dirinya sendiri
berangkat dari asumsi bahwa setiap manusia adalah penggerak sejarah. Manusia
pada hakiaktnya yang membuat sejarah baik itu sebagai pelaku sejarah atau pun
sebagai saksi sejarah. Setiap orang
“normal” mengenal sejarah dan karena itu adalah “sejarawan”, namun sejarawan
sebenarnya terbatas karena merupakan salah satu bentuk dari profesi akademik.
Manusia sebagai penggerak sejarah baik itu sebagai
pelaku atau saksi sejarah boleh menceritakan kejadian yang dialaminya dalam
bentuk tulisan, namun hasil dari tulisan tersebut belum bisa disebut sejarah,
karena penulisan sejarah harus melalui tahapan-tahapan tertentu. Sedangkan
penulisan cerita ini hanya berpijak dari pengalaman, apa yang dirasakan oleh
penulis. Bentuk dari penulisan ini bisa berupa catatan harian, memoir, boigrafi
dan otobiografi.
Baca juga : Kebenaran Sejarah
Namun pada kelanjutannya, catatan harian, memoir,
biografi dan otobiografi ini bisa dijadikan sumber primer dalam penulisan suatu
peristiwa. Penggunaan catatan harian, memoir, biografi dan otobiografi harus
melalui tahapan kritik sumber. Penggunaannya pun sebagai sumber sejarah tidak
sembarangan, tidak semua catatan harian, memoir, biografi dan otobiografi bisa
digunakan. Tulisan-tulisan tertentu dalam hal ini tulisan atau keterangan dari
orang yang memiliki pengaruh lah yang dipilih sebagai sumber sejarah dalam hal
ini otobiografi Presiden Sukarno, Memoir M. Hatta, biografi Suharto, biografi
tokoh politik, tokoh agama dan negarawan.
Berbeda dengan pendapat Paul Veyne yang mengemukakan
bahwa menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini suatu cara
yang utama untuk memahami sejarah. Pendapat ini berangkat dari asumsi bahwa historia rerum gestarum, bahwa sejarah
adalah kisah masa lalu yang dijelaskan bukan res gestae, kejadian masa lalu itu sendiri secara utuh. Sejarawan
tidak bisa menjelaskan secara lengkap bagaimana kronologis terjadinya perang
Diponegoro secara lengkap dan utuh (res
gestae) karena seorang sejarawan
tidak dapat kembali ke masa lalu untuk menuliskan peristiwa tersebut. Dalam
menjelaskan masa lalu itu, sejarawan hanya berpijak pada rekaman sejarah baik
itu arsip, catatan dan naskah yang berhubungan dengan peristiwa yang dijelaskan
(historia rerum gestarum). Dari
rekaman sejarah tersebut, sejarawan menacari data atau evidensi yang telah
mengalami kritik sumber dan kemudian diolah menjadi fakta, kemudian sejarawan
merekonstruksi peristiwa tersebut dengan menggunakan fakta-fakta yang telah
didapatkan. Sejarawan dituntut kritis dan menggunakan analisis untuk
menghasilkan sintesis dari seluruh penelitiannya dalam bentuk tulisan utuh yang
disebut historiografi. Hasil dari rekonstruksi itu dianggap mewakili masa lalu
yang disebut sejarah dan ini merupakan wujud masa lalu yang berbentuk tulisan.
Penggunaan metodologi sejarah adalah syarat mutlak
yang harus dilakukan oleh setiap sejarawan. Penggunaan metodologi ini adalah
tolak ukur bagaiamana tulisan yang dihasilkan sejarawan bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sejarah bukanlah melulu sebagai kisah yang
menceritakan masa lalu, namun sejarah juga merupakan suatu ilmu yang memiliki
objek kajian, metodologi untuk memperoleh pengetahuan yang benar dan objektif
serta konsep-konsep tersendiri.
Baca juga artikel lainnya terkait Sejarah
Terimakasih mba ratnaa. Terimakasih sudah berkunjung.
ReplyDeletekeren banget nice blog suka banget baca disini
ReplyDeletesindo new