Halaman

Saturday, December 1, 2012

Nabi Muhammad SAW : Periode Madinah (Bagian I)

Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Latar Belakang Hijrahnya Nabi SAW ke  Madinah
Hijrahnya Nabi SAW dari kota Makkah ke Madinah dilatarbelakangi oleh kekejaman yang dilakukan oleh kaum Quraisy Makkah terhadap Nabi dan pengikutnya. Setelah Nabi melakukan dakwah terhadap keluarganya sendiri, Nabi mulai mendakwahkan Islam secara terbuka kepada setiap orang. Nabi berdakwah ke segenap lapisan masyarakat Makkah, baik itu bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula ia menyeru penduduk Makkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Disamping itu, Nabi juga menyeru orang-orang yang datang ke Makkah, dari berbagai negeri untuk mengerjakan haji. Dengan kegigihan usaha beliau, sedikit demi sedikit penganut agama Islam semakin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang yang tak punya.

Sunday, October 28, 2012

Nasionalisme Pemuda

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Bertanah air satu, tanah air Indonesia
Berbahasa satu, bahasa Indonesia
Berbangsa satu, bangsa Indonesia

Kalimat-kalimat di atas bukanlah penggalan sebuah puisi dari seorang pujangga terkenal, bukan juga sebuah karya sastra dari sastrawan tersohor. Namun kalimat di atas merupakan kata-kata yang yang disusun dengan sebuah tekad, tekad dari idealisme yang menyala-nyala. Mereka hanyalah sekelompok anak muda dari berbagai wilayah yang tersebar di Hindia Belanda, wilayah yang sangat luas, yang memiliki berbagai suku, budaya, dan agama. Meski mereka terdiri dari berbagai latar belakang, namun pada 28 Oktober 1928 mereka bersama-sama mengucapkan sebuah sumpah tentang cita-cita akan terbentuknya sebuah negara yang terlepas dari cengkraman Belanda.
Adalah mereka anak-anak muda yang berasal dari berbagai pulau di Hindia Belanda, yang ‘merantau’ untuk mencari ilmu ke Jawa dengan gagah berani mengucapkan ikrar tersebut. Mereka datang dari daerah untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dikarenakan sarana pendidikan didaerahnya sangat terbatas. Pada awalnya, mereka telah ‘disiapkan’ oleh pemerintah kolonial untuk mengisi pos-pos pada berbagai bidang pekerjaan pemerintah. Mereka diproyeksikan akan menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial di Hindia Belanda dan menjadi antek-antek pemerintah kolonial. Selanjutnya mereka yang akan menjadi penjajah bagi bangsanya sendiri, menjadi pengkhianat yang menindas saudaranya sendiri.
Memang itulah tujuan dari dibukanya sarana pendidikan di Hindia Belanda yang merupakan bagian dari Politik Etis yang dicetuskan oleh van Deventer dalam artikelnya yang berjudul ‘Een Eereschuld’ (suatu utang kehormatan) pada majalah de Gids. Ia adalah seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Hindia Belanda selama 17 tahun pada 1880-1897[1]. Suatu utang kehormatan menjadi sebuah artikel yang ia tulis setelah ia menyadari bagaimana massif eksploitasi bangsanya terhadap Hindia Belanda, tanpa memperhatikan rakyat pribumi.
Meskipun cita-cita van Deventer tercapai, namun hanya segelintir orang yang dapat mencicipi nyamannya bangku sekolah. Tetap pendidikan tidak mampu merangkul tangan-tangan rakyat miskin. Pendidikan hanya untuk orang-orang asing, terutama untuk anak-anak pegawai Belanda. Kalaupun ada rakyat pribumi yang dapat bersekolah, sudah bisa dipastikan bahwa ia keturunan ningrat, keluarga bupati, anak dari pegawai pemerintah kolonial, atau paling tidak orang terkaya di kampungnya. Akses pendidikan bagi rakyat miskin tertutup.
Meskipun begitu, tersedianya sarana pendidikan di Hindia Belanda memberikan dampak yang sangat positif. Rakyat pribumi, meskipun hanya sebagian kecil, mendapatkan pengetahuan yang sama dengan orang asing. Mereka belajar ilmu bumi, hukum, kedokteran, sastra dan sejarah, politik dan bahasa asing. Sehingga, awal abad ke 20, terjadi perubahan sosial di Hindia Belanda dengan munculnya kaum cendekiawan atau orang berpendidikan barat. Seperti halnya di Eropa pada abad ke 18 terjadi perubahan sosial dengan munculnya kelas sosial baru yaitu borjuis. Kaum borjuis merupakan bagian dari kelas sosial menengah, namun mereka berpendidikan tinggi, dan kaum inilah yang menggelorakan revolusi di Prancis pada tahun 1789.
Ada kata-kata bijak yang menyatakan bahwa ‘sejarah pasti berulang’. Maksud dari kalimat tersebut bukan berarti sejarah secara utuh yang berulang, namun jiwa, ruh dan semangat dari peristiwa sejarah yang akan berulang. Fenomena, jiwa dan spirit revolusi di Eropa ternyata sampai juga di Hindia Belanda pada awal abad ke 20 dengan saluran pendidikan barat. Para pelajar kini memahami arti dari sebuah kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang diajarkan oleh revolusi Prancis. Layaknya kaum borjuis Prancis, mereka menuntut ketiga hal tersebut kepada pemerintah kolonial karena mereka menyadari bahwa hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap rakyat. Bibit-bibit nasionalisme tumbuh subur seiring banyaknya orang pribumi merasakan pendidikan barat. Agaknya, politik etis yang dijalankan oleh pemerintah kolonial menjadi boomerang bagi kelangsungan dan kedudukan pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Pendidikan telah membuka mata rakyat pribumi akan pentingya sebuah cita-cita, persaudaraan, perlawanan, keadilan dan lebih jauh membentuk sebuah nation atau bangsa. Penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial menjadi pemicu munculnya ikatan-ikatan yang kuat diantara rakyat pribumi, meskipun mereka tidak satu keturunan, tidak satu agama, juga tidak satu budaya. Namun, keinginan akan hidup bersama tanpa adanya penindasan menjadi sangat penting, dan hal inilah yang kita namakan nasionalisme[2].     
Begitupun dengan anak-anak muda yang berkumpul pada tanggal 28 Oktober, mereka terdiri dari berbagai latar belakang, berbagai suku, berbagai agama, namun ada satu persamaan dari mereka, yaitu mereka adalah orang-orang kaya. Mereka adalah anak muda yang terjamin masa depannya, mereka yang telah dipersiapkan untuk menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial, mereka juga yang akan hidup nyaman dimasa depannya. Mereka yang secara pribadi tidak merasakan pedihnya penjajahan, mereka tidak merasakan bagaimana sakit hatinya dilecehkan, dimaki-maki dan diperintah seenaknya oleh orang Belanda.
Meskipun mereka tidak merasakan pedihnya penjajahan, namun mereka memiliki mata dan telinga yang dapat melihat dan mendengar saudaranya yang memiliki warna kulit, warna rambut serta bahasa yang sama dengan mereka diinjak harga dirinya, dimaki serta diperintah layaknya seekor hewan dengan nama ‘Inlander goblok’. Penindasan yang mereka lihat sehari-hari memupuk kesadaran akan bejatnya perlakuan orang Belanda terhadap saudara mereka.  
Pada dasarnya, manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hasrat membentuk komunitas sosial sebagai wadah untuk bersosialisasi, bertukar pikiran dan penguat rasa persaudaraan merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Terbentuknya suatu komunitas selalu didasari atas sebuah kesamaan, baik itu ekonomi, politik, agama maupun budaya. Keinginan untuk menguatkan persaudaraan yang mendorong para ‘perantau’ di Jawa membentuk suatu komunitas. Sehingga banyak perkumpulan pemuda muncul dengan membawa identitasnya masing-masing.
Selagi kaum tua sudah mulai bergerak pada tahun 1908, dengan berdirinya ‘Budi Utomo’, kaum muda baru bergerak pada bulan Maret 1915 dengan berdirinya perkumpulan pemuda pelajar yang diberi nama ‘Tri Koro Dharmo’ (Tiga Tujuan Mulia) yang pada tahun 1918 dalam Kongresnya yang kedua dirubah menjadi Jong Java dengan tujuan untuk meredam sentimen orang Sunda dan Madura terhadap nama perkumpulan tersebut[3]. Jong Java bukan satu-satunya perkumpulan pemuda di Jawa, namun ada beberapa perkumpulan lain yang menonjolkan identitas kedaerahannya seperti Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa dan Jong Ambon.  Pada awalnya, perkumpulan-perkumpulan tersebut berjalan masing-masing, dengan dibatasi oleh etnosentrisme sebagai azas yang dianut. Mereka menjauhkan diri dari berbagai hal yang berbau politik dalam kegiatannya, namun mereka memiliki cita-cita politik, yaitu Indonesia Merdeka.
Gejala menuju persatuan terlihat pada kongres Jong Java di Solo tahun 1926 yang merubah tujuan perkumpulan menjadi ‘Memadukan rasa persatuan para anggota dengan semua golongan bangsa Indonesia dan dengan bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan pemuda Indonesia lainnya ikut serta dalam menyebarkan dan memperkuat faham Indonesia bersatu’. Namun, Jong Java tidak lantas menjalankan tujuannya tersebut[4]. Jong Java merubah tujuan perkumpulan yang pada awalnya untuk mewujudkan persatuan Jawa menjadi lebih luas, merangkul perkumpulan daerah lainnya yang dianggap sebagai wakil dari daerah-daerah di Hindia Belanda untuk membentuk sebuah nation (bangsa).
Pada waktu yang hampir bersamaan, mahasiswa ‘Rechtshogeschool’ (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia membentuk sebuah perkumpulan pelajar. Azasnya ialah berjuang untuk kemerdekaan bangsa yaitu Indonesia yang Merdeka[5]. Merekalah yang memprakarsai bersatunya perkumpulan-perkumpulan kedaerahan yang ada di Jakarta dan Bandung untuk bersatu dan menyamakan tujuan perkumpulan yaitu Indonesia Merdeka. Mereka juga yang memprakarsai Kongres Pemuda I pada 30 April – 2 Mei di Jakarta yang menghasilkan beberapa poin yang penting, dalam kongres ini pula nama Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia dipilih sebagai nama perkumpulan. Tujuan perkumpulan tidak lain untuk menamkan rasa kebangsaan serta mempersatuakan perkumpulan kedaerahan. Namun, tujuan dari kongres ini tidak dapat dicapai karena masih kuatnya rasa kedaerahan pada setiap perkumpulan[6].
Barulah pada tanggal 27-28 Oktober 1928, PPPI dapat memprakarsai Kongres Pemuda ke II sebagai penguatan serta tindak lanjut dari hasil Kongres I yaitu mempersatukan seluruh perkumpulan pemuda yang bersifat kedaerahan untuk menyamakan tekad berjuang mewujudkan Indonesia Merdeka. Namun tetap saja fusi yang dicita-citakan belum terwujud sepenuhnya, karena persoalan fusi perkumpulan harus berdasarkan keputusan setiap perkumpulan. Tetapi setidaknya Kongres pada tanggal 27-28 Oktober ini menghasilkan sebuah ikrar yang merupakan tekad anak-anak muda dari berbagai golongan dan latar belakang yang berbeda yang kita kenal dewasa ini sebagai Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda merupakan bukti riil perjuangan anak-anak muda dalam partisipasinya untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara. Mereka berikrar tanpa mempersoalkan perbedaan ras, budaya, agama bahkan politik. Ikrar mereka hanya didorong oleh kesadaran akan perlunya persatuan diatas semua perbedaan untuk membentuk sebuah bangsa dan negara.




[1] M. C Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008, Hal 328.
[2] Hans Kohn, Nasionalisme, Arti dan Sejarahnya, 1955, hal 12.
[3] L. M. Sitorus, Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia, 1988, hal 35.
[4] Ibid hal 36
[5] Ibid hal 36
[6] M. D. Poespenegoro dan N. Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, 2008, hal 429

Monday, September 24, 2012

Undang-Undang Agraria 1870

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Pendahuluan
Berbicara mengenai sejarah Indonesia, masa kolonialisme merupakan salah satu periode terpenting dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Masa kolonialisme menjadi titik balik perjalanan bangsa ini, perubahan dari bangsa tradisional dan bergerak menuju bangsa yang modern. Meskipun dalam prosesnya bangsa ini harus mengorbankan tanah, tenaga bahkan darah. Sehingga periode ini merupakan sejarah yang amat kelam dan penuh emosi bagi bangsa kita.

Monday, April 2, 2012

“Politik Segitiga” Orde Lama

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Konflik TNI AD-PKI dan Anti Klimaks Pemerintahan Soekarno
Pada dekade tahun 60-an, peta politik Indonesia sudah meruncing dan menimbulkan tiga kekuatan politik, Soekarno, PKI dan tentara AD. Antara PKI dengan tentara AD timbul persaingan politik. Persaingan antara PKI dengan AD memuncak pada tanggal 30 September 1965 dengan diculiknya tujuh perwira AD oleh anggota PKI dari resimen Cakrabirawa di bawah komando Letnan Kolonel Untung. Ketujuh perwira tinggi AD ini dibawa ke daerah Lobang Buaya dan ditemukan tewas semuannya. PKI juga menyusup ke tubuh ABRI dengan menghasut perwira-perwira rendah ABRI yang tidak puas dengan atasannya.
Kepentingan Soekarno terhadap PKI dan TNI sangat besar. PKI sebagai Partai Komunis memberikan suara terhadap Soekarno ketika Soekarno mengeluarkan kebijakan dengan landasan sosialis. Dukungan penuh selalu diberikan oleh PKI kepada Soekarno dikarenakan kesamaan pandangan politik kiri. Namun Soekarno juga tidak bisa melepaskan peranan TNI terutama AD. TNI adalah militer yang memiliki kekuasaan untuk mengamankan Negara. Maka Soekarno berusaha untuk tetap menyeimbangkan politik terhadap TNI-PKI agar salah satu dari mereka tidak berperang secara terbuka. Karena jika salah satu dari mereka menjadi “pemenang” maka kekuasaan Soekarno akan hancur. Jika TNI menang dan PKI kalah, maka pendukung dari kebijakan Soekarno akan habis diberangus. Sebaliknya jika PKI menang dan TNI kalah, maka Soekarno akan kewalahan dengan ambisi  PKI dengan revolusi nya untuk mencapai tatanan masyarakat sosialis (Negara Komunis) dan tetap saja posisi Soekarno akan hilang. 
  Permusuhan anatara PKI dan AD sudah dimulai sejak lama, peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948 adalah salah satu contoh. PKI yang secara massif terus mendekati Presiden Soekarno dengan persamaan ideologinya yaitu Sosialis. Manuver-manuver dilakukan oleh PKI demi kelancaran politknya. Penyusupan kedalam tubuh TNI dilakukan oleh Sjam Kamaruzaman. Kemudian PKI juga membentuk sayap-sayap ormas seperti Lekra (bidang kebudayaan), Partai Buruh Indonesia, SOBSI, Partai Sosialis, PESINDO, BTI dan Lasykar Rakyat.
Permusuhan ini meruncing ketika Perdana Menteri Cina Chou En Lai datang ke Indonesia dan menyerahkan sumbangan senjata ke Indonesia. PKI menghendaki senjata tersebut diserahkan kepada buruh tani dan membentuk Angkatan Kelima selain dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Darat dan Angkatan Kepolisian. Namun, pihak tentara AD yang sudah faham dengan strategi yang dilancarkan oleh PKI menolak dengan keras pembentukan Angkatan Kelima tersebut dengan alasan sulitnya jalur koordinasi.
Pembentukan Angkatan Kelima ini menurut PKI sangat diperlukan untuk mempersejatai relawan-relawan yang akan dikirim untuk mengganjang Malaysia. Pada 17 Maret 1961 Soekarno mengumumkan konfrontasi dengan Malaysia. Menurut Soekarno, Malaysia itu adalah proyek Nekolm dari Inggris.
Selain itu, faktor yang selanjutnya adalah ditemukannya dokumen Gilcrist oleh simpatisan PKI. Dokumen ini ditemukan ketika simpatisan PKI membakar gedung keduataan Inggris dalam rangka demonstrasi. Menurut dokumen itu, tentara AD membentuk Dewan Jenderal yang akan melakukan coup d’etat atas kekuasaan Soekarno pada hari ulang tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI dengan alibi ingin menyelamatkan Negara dari rencana kudeta militer, maka PKI mendahului gerakan mereka dengan menculik tujuh perwira tinggi AD pada tanggal 30 September 1965.
Penculikan perwira AD oleh PKI menimbulkan instabilitas politik dan ekonomi di Indonesia. Pada tanggal 2 Oktober 1965 Mayjen Soeharto diserahi tugas oleh Soekarno untuk mengambil alih komando tentara. Kekuasaan ini dilembagakan dengan pembentukan Kopkamtib (Komando Oprasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Tujuannya adalah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban pasca penculikan perwira AD.
Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Mayjen Soeharto yang disebut dengan SUPERSEMAR untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan untuk mengembalikan kestabilan politik. Namun dengan berbekal Surat Perintah yang berisi kewenangan Soeharto melakukan tindakan apa saja demi kestabilan Negara, tindakan yang pertama Soeharto adalah membubarkan PKI. Pembubaran PKI berarti pelemahan terhadap Soekarno, karena dukungan terbesar dari Soekarno adalah PKI.
Peristiwa G30S dan proses penanganannya yang dilakukan oleh TNI-AD telah terbangun persepsi dalam masyarakat bahwa terjadi dualisme kepemimpinan yakni, Mayjen Soeharto yang pada waktu itu sebagai Panglima Kostrad yang mencanangkan tema melaksanakan Pancasila dan dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen seperti berada di atas angin karena momentum dan sepertinya mengambil alih dalam melakukan pembantaian terhadap PKI, karena PKI yang dituduh merongrong Pancasila harus dilawan. Namun disisi lain Presiden Soekarno sebagai pemimpin negara yang seharusnya diminta pendapat tidak dilibatkan.
Ditambah dengan munculnya sosok Soeharto sebagai penyelamat bangsa dari kehancuran oleh PKI. Rakyat larut dalam euforia kemenangan dari PKI dan melupakan Presiden Soekarno. Dukungan muncul dari seluruh rakyat kepada Soeharto untuk membubarkan PKI dengan gerakan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Dari situlah kekuasaan Soekarno menurun dan rakyat lebih patuh kepada kekuasaan Soeharto. Selain itu, rakyat sudah muak dengan konsepsi-konsepsi yang terus dikeluarkan oleh Soekarno seperti Nasakom, Manipol Usdek, Berdikari dan lainnya. Namun di sisi lain kemerosotan ekonomi yang mengalami inflasi 600% menyengsarakan rakyat tanpa ada perbaikan dari pemerintah Soekarno.  
Pada tahun 1967, MPRS yang diketuai oleh A.H. Nasution mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno selama menjabat Presiden. Pada pertanggungjawaban, laporan yang diberikan oleh Soekarno yang dirangkum dalam Nawaksara akhirnya ditolak oleh Sidang Istimewa MPRS 1967. Dengan ditolaknya laporan itu maka kekuasaan Soekarno sebagai Presiden berakhir dengan dikeluarkannya Tap MPR(S) Nomor XXXIII Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan dari Presiden Soekarno.
Peristiwa G30S ikut melemahkan posisi Soekarno sebagai Presiden dengan dilanjutkan oleh kecerdasan Soeharto menghambil tindakan yang dianggap perlu dari SUPERSEMAR sehaingga menjadi seorang pahlawan kala itu karena telah membubarkan PKI. Dengan penolakan SI MPRS tahun 1967, maka secara resmi Presiden Soekarno tidak menjabat lagi sebagai kepala Negara.

Monday, March 26, 2012

NII dan Kampus

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Ada banyak organisasi Islam yang hidup di Indonesia, dari yang bercorak konservatif, moderat hingga radikal. Munculnya fenomena ini tidak terlepas dari partisipasi demokrasi yang dianut oleh negara kita. Pasca reformasi tahun 1998, munculnya ormas-ormas ini bak jamur di musim hujan, seperti fenomena awal kemerdekaan negara ini. Disisi satu sisi ini adalah efek positif yang dihasilkan oleh sistem demokrasi dengan membebaskan seluruh warganya untuk berserikat dan berkumpul sesuai dengan Undang-Undang dasar 1945 pasal 28. Namun, efek negatif pun lebih besar dengan kebebasan yang cenerung kebablasan ini sehingga organisasi-organisasi underground mulai bisa bergerak dengan leluasa tanpa takut akan diberangus lagi oleh pihak yang berwajib.
Salah satu organisasi yang baru-baru ini hangat diperbincangkan oleh media dan menjadi headline dalam media-media nasional selama berbulan-bulan adalah Negara Islam Indonesia yang dikenal dengan NII. Secara historis, nama NII tidak bisa dilepaskan dengan salah satu nama pada periode revolusi fisik di Jawa Barat yaitu S. M Kartosuwirjo (1905-62). Berlatar belakang sakit hati karena laskar-laskar didikannya tidak dimasukan dalam komposisi tentara Indonesia dan memanfaatkan moment perjanjian Renville yang memaksa wilayah RI diperkecil, hanya tinggal Yogyakarta saja. Keadaan ini digunakan untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Cisayong, Tasikmalaya pada bulan Mei 1948 dengan menjunjung syariat Islam sebagai dasar negara.
Setelah diberangus tahun 50-an oleh pemerintahan Sukarno dengan bantuan Divisi Siliwangi yang menggunakan strategi pagar betis, kini organisasi ini booming kembali, namun dengan corak yang sangat berbeda dari pendahulunya. Kini organisasi ini begerak secara diam-diam atau underground termasuk dalam recruitment anggota.
Dewasa ini, strategi recruitment organisasi NII biasanya terpusat di kampus, yang kita tahu beratmosfir demokratis dalam segala hal. Pemilihan kampus sebagai fokus hegemoni dan kaderisasi organisasi sangat masuk akal karena dari kampuslah kemudian akan lahir kader-kaer yang militan. Kampus dijadikan basis kekuatan masa dan diproyeksikan menjadi kader-kader militan NII yang intelektual.
Atmosfir kampus yang demokratis dan lingkungan pendidikan membebaskan mereka untuk melakukan perekrutan tanpa takut akan diendus oleh pihak berwajib ataupaun masyarakat sekitar. Mereka menyadari peluang dari pola masyarakat perkotaan yang cenderung individualisitis yang acuh tak acuh bisa dijadikan “tanah untuk digarap” oleh mereka. Apalagi kenyataan bahwa kebanyakan mahasiswa-mahasiswa itu tinggal nge-kost, jauh dari rumah menjadikan mereka leluasa mencuci otak mahasiswa dan mencetak kader militan yang lebih banyak.
Bebasnya kehidupan mahasiswa rantau, benar-benar dimanfaatkan oleh mereka untuk merekrut kader militan yang bisa melebarkan ideologi dan menggenjot finansial  organisasi. Tidak adanya kontrol orang tua mereka, ditambah dengan kenyataan bahwa pola lingkungan yang individualistis menjadikan mahasiswa rentan terpengaruh. Sasaran mereka adalah mahasiswa baru yang cenderung belum memiliki teman dan masih mencari jati diri dan pendangan hidup. Keadaan labil seperti ini memudahkan mereka untuk mencekoki mahasiswa tersebut dengan faham-faham mereka.
Strategi recruitmen mereka adalah menjemput bola dengan artian mendatangi mahasiswa yang dianggap bisa direkrut oleh mereka. Biasanya mereka mencari kesamaan dengan calon kader mereka seperti satu jurusan dan menggunakannya sebagai jalan untuk mendekati calon kader. Awalnya mereka memberikan bantuan dalam hal perkuliahan seperti membantu mengerjakan tugas dan meminjamkan buku-buku untuk bahan kuliah.
Biasanya, pendekatan yang mereka lakukan pada awalnya bersifat pendekatan personal, dengan cara memberikan bantuan terhadap mahasiswa baru yang kebanyakan belum tahu keadaan kampus. Mereka menggunakan kelemahan mahasiswa baru untuk melakukan pendekatan dengan jalan membantu mencarikan kostan, membantu menunjukan keadaan sekitar kampus, membantu menyediakan perlengkapan kuliah dan lainnya. Berawal dari itu kemudian mereka lebih intens mendatangi kostan mahasiswa dengan dalih untuk bermain ataupun membantu mengerjakan tugas kuliah.
Setelah cukup dekat dan akrab, biasanya mereka mengajak untuk berdiskusi agama. Diskusi agama hanyalah kedok yang dipakai mereka untuk mencuci otak calon kader. Diskusi agama ini dijadikan mereka sebagai alat doktrin terhadap calon kader. Dalam diskusi tersebut, mereka memasukan faham-faham mereka dengan menyitir ayat al-Quran sebagai dasar dari pendapat mereka. Mereka menghubungkan fenomena seperti bencana alam, sebagai akibat dari kebobrokan sistem negara ini. Mereka berusaha untuk memaksakan pendapat mereka supaya bisa diterima oleh logika agama mahasiswa tersebut. Pada akhirnya mereka mengajak untuk mengucapkan syahadat kembali dengan dalih untuk berhijrah dari golongan kiri menuju golongan  kanan. Golongan kiri yang mereka sebut adalah golongan diluar mereka yang kafir dan golongan kanan adalah mereka yang benar dan akan masuk surga.
Namun, tidak semua mahasiswa dapat direkrut oleh mereka, hanya mahasiswa yang cenderung “kupu-kupu” (kuliah pulang) yang notabene terpengaruh, berbeda dengan mahasiswa yang aktif berorganisasi dan sering berdiskusi yang cenderung jarang terpengaruh oleh mereka. Selain itu, pendidikan Islam juga berpengaruh dalam menghentikan laju perkembangan organisasi ini. Diskusi-diskusi terutama diskusi agama harus lebih di bangkitkan  kembali dalam kalangan mahasiswa supaya bisa menumbuhkan sikap kritis terhadap doktrin-doktrin menyimpang.
Kenyataan itu sangat masuk akal, karena mahasiswa yang sering berkumpul baik itu hanya nongkrong maupun berorganisasi lebih memiliki pikiran yang terbuka. Biasanya mereka tidak langsung menerima informasi baru dan lebih kritis atau malah cenderung skeptis. Ini yang menjadi kesulitan NII dalam merekrut mahasiswa, sehingga mereka lebih memfokuskan terhadap mahasiswa yang cenderung individual. 
Wallahua'lam bisshowab

Friday, March 2, 2012

Islam Kaffah ??

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Jargon Islam Kaffah sering kali kita temukan disekitar kita baik dibuletin, surat kabar, majalah dan lainnya baik itu di kota maupun di desa dan terutama sekali di wilayah kampus. Jargon ini berasal dari kutipan salah satu ayat Al-Quran dalam surat Al-Baqarqah: 208 yang berbunyi “Udkhulu fis silmi Kaffah” yang memiliki arti “Masuklah kamu semua ke dalam agama Islam secara keseluruhan”. Jargon “Islam kaffah” yang menjadi alat hegemoni salah satu kelompok Islam secara sekilas sangat baik, dengan mengajak seluruh umat Islam untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), tidak setengah-setengah.
Namun sebagai seorang akademisi, selayaknya kita harus berfikir kritis dan analitis dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap pernyataan jargon mereka. Kita harus memiliki filter yang tentu saja pengetahuan kita terhadap sebuah berita yang kita terima, jangan lantas kita percaya begitu saja tanpa mempersoalkan isi dari berita tersebut. Pola berfikir kritis analitis harus kita bangun sebagai masyarakat akademis, hendaklah kita meyakini karena kita tahu, bukan malah tahu karena kita meyakini terkait kondisionalitas dalam Islam bukan masalah normativitasnya.
Kita kembali lagi dalam Islam kaffah, KH. Muchith Muzadi menegaskan bahwa umat Islam tidak bisa menjadi kaffah, karena hanya nabi Muhammad Saw yang kaffah. Kaffah yang berarti keseluruhan hanya bisa dilakukan oleh pembawa Islam itu sendiri sebagai penyebar ajaran Islam. Islam sebagai sebuah agama tidak melulu mengajarakan ibadah yang berarti ritual, namun Islam juga mengajarkan ibadah sosial sehingga dalam Islam kita kenal hablumminallah dan hablumminannas (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia). Jika konteks kaffah yang mereka maksudkan sesuai dengan terjemahan ayat diatas, maka timbul pertanyaan, bisakah seorang manusia melakukan hal tersebut? Tanpa melakukan dosa terhadap tuhan dan terhadap manusia?sedang kita tahu ada hadis yang menyatakan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang kepada manusia sebelum yang bersangkutan memaafkannya. Sungguh berat.....
Substansi dari Islam kaffah yang mereka yakini adalah memurnikan agama Islam dari prilaku-prilaku yang menyimpang yang disebabkan oleh adat istiadat masyarakat. Islam kaffah juga diartikan sebagai sifat agama yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dari dahulu hingga sekarang, sehingga seluruh permasalahan umat bisa diselesaikan dengan merujuk kamus Islam dalam pengertian Islam secara tekstual. Mereka adalah gelombang kesekian dari gerakan wahabisme yang ingin memurnikan kembali ajaran  Islam. Lalu bagaimana bentuk murni dari ajaran Islam?. Dengan berbagai tafsiran al-Quran dari para sahabat, tabi’in dan ulama yang kadang-kadang berbeda, juga tata cara ibadah yang seringkali berbeda. Atau apakah Islam harus bersifat eksklusif? Dengan tidak menyentuh aspek sosiologis dalam masyarakat, sedangkan tiap masyarakat akan melahirkan sebuah budaya. Kita kenal dalam ushul fiqh sebuah kalimat yang berbunyi “Al adah muhakkamah” yang berarti tradisi (adat) bisa menjadi hukum. Betapa Islam sangat menghargai sebuah adat dalam masyarakat, tinggal kita sebagai penganutnya harus berlaku akomodatif, selektif dan proposional dalam memilih adat.
Kita jangan terjabak dalam pola pikir bahwa Arab itu Islam dan Islam itu Arab yang nantinya berujung dalam Arabisasi bukannya Islamisasi. Jelas sekali perbedaannya antara kedua konsep terebut, Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin berlaku untuk seluruh alam bukan hanya berlaku bagi bangsa arab saja. Maka Islam juga mengakomodir seluruh hasil pola pikir masyarakat dan lebih jauhnya mengakomodir hasil budaya masyarakat secara keseluruhan. Tanah arab yang menjadi tempat kelahiran Islam memang menjadi dasar diterapkannya hukum Islam, namun jika menyimpulkan bahwa Islam itu adalah Arab maka kita telah mengingkari Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Mereka mempersoalkan budaya dzikir bersama, salaman setelah salat dan qasidahan yang justru tidak kita temukan madharatnya hanya karena tidak tercantum dalam hadits. Mereka lupa bahwa keberadaan pesantren tidak dikenal di tanah arab, justru pesantren adalah hasil kebudayaan yang berasal dari budaya Hindu, dalam sistem pengajaran Hindu dikenal padepokan sebagai tempat belajar mengajar. Pesantren yang asal katanya santri berasal dari kata cantrik yang berarti seorang murid (agama Hindu) yang selalu melayani gurunya.
Mereka melakukan justifikasi teologis terhadap kelompok Islam yang berbeda dengan mereka sebagai sinkretis, tidak otentik atau yang lebih ekstrem sebagai kafir. Stigma seperti itu diawali oleh doktrin Islam kaffah yang berubah menjadi sebuah ideologi dan diartikulasikan kedalam sebuah gerakan sebagai pemurnian terhadap Islam. Mereka melarang adanya paham-paham luar yang masuk ke dalam Islam, justru dengan begitu mereka telah merubah Islam menjadi eksklusif dan kaku. Yang seharusnya Islam bisa lebih mesra berdampingan dengan adat sebagai identitas masyarakat dan jalan untuk memajukan Islam.
Wallahu’alam bisshawab



Sunday, February 26, 2012

Kebenaran Sejarah

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Apakah ada kebenaran dalam sejarah ? apakah yang diuraikan dalam buku ini adalah benar-benar peristiwa yang terjadi ?, pertanyaan mendasar seperti ini seringkali timbul ketika kita membaca sebuah uraian sejarah tentang sebuah peristiwa. Namun kita seringkali mengabaikan arti dari ‘kebenaran’ dalam sebuah sejarah atau cenderung menganggap ‘kebenaran sejarah’ itu adalah apa yang diuraikan dalam uraian sejarah yang kita baca. Ketika anggapan kita sebagai pembaca seperti itu, maka keadaan tersebut akan menimbulkan suatu pandangan subjektif terhadap suatu peristiwa dan lebih parah lagi akan menimbulkan fanatisme terhadap suatu ‘kebenaran’ dari satu atau sekelompok sejarawan. Hal seperti ini menyebabkan pandangan keliru khalayak terhadap peristiwa tanpa melihat sudut pandang lain sebagai pembanding. Selain itu, paradigma seperti ini memberikan ruang untuk ‘memalsukan’ sejarah dengan mempergunakan sejarah sebagai alat propaganda dalam peneybaran ideologi maupun dalam usaha menjatuhkan lawan politik.
Kekhawatiran itu wajar, karena itu adalah kenyataan dan sudah terbukti dalam historiografi (penulisan sejarah) Indonesia. Jika pembaca lebih teliti dan lebih faham dalam membaca sebuah tulisan sejarah maka akan terlihat jalur kemana kita sebagai pembaca akan dibawa oleh penulis. Jika kita terbang ke masa orde lama, ketika character and national building sedang di gembor-gemborkan oleh Soekarno dengan massif, kita bisa melihat karakteristik dalam historiografi Indonesia pada waktu itu yang menekankan nasionalisme. Mulai dari Boedi Oetomo yang dijadikan tonggak lahirnya kebangkitan nasional yang masih dipertanyakan, sampai pada penganugrahan ‘gelar’ pemberontak terhadap Aru Palaka karena telah melawan dari raja Hasanudin dari kerajaan Gowa Tallo yang padahal dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat Bugis.


Melompat pada masa rezim Soeharto, ketika sejarah diseragamkan. Pada masa Orde Baru penulisan sejarah harus mendapatkan ‘restu’ dari Soeharto supaya tidak menimbulkan instabilitas politik dan ekonomi. Para sejarawan yang memiliki pandangan yang berbeda ‘diamankan’ dan hasil dari karyanya ‘dirapikan’. Selain itu tekanan-tekanan terus diberikan terhadap lawan politiknya melalui penulisan sejarah yang ‘menyimpang’. Contoh yang lumrah adalah politik Orde Baru yang mendeskriditkan eks anggota PKI, bukan hanya eks anggota PKI namun sampai keturunannya diberi label ‘anak komunis’ sehingga seolah-olah menjadi dosa turunan.
Tetapi keadaan sekarang cenderung berbeda dengan masa lalu, kita setelah reformasi dibebaskan dalam berkarya dan mengeluarkan pendapat. Kita mengharapkan tuah reformasi untuk medapatkan sejarah yang kritis, yang objektif tanpa ada sebuah fakta yang ditutup-tutupi atau bahkan dihilangkan. Sekarang sudah terbukti, para sejarawan yang dahulu bungkam atau dipaksa bungkam berlomba-lomba menyajikan suatu kebenaran tentang masa lalu, seperti jamur yang tumbuh di musim hujan. Terlepas dari keragaman sejarah tersebut, semuanya adalah khazanah yang pantas untuk dibaca dalam berusaha menemukan kembali kebenaran sebuah peristiwa.

               Baca juga : Setiap Manusia adalah Sejarawan
   
Sebenarnya sebelum melangkah lebih jauh kita harus membedakan antara benar dalam arti yang sesungguhnya (mutlak) dengan benar dalam pandangan sejarah atau kebenaran sejarah. Benar dalam arti mutlak berarti suatu pendapat yang telah disepakati oleh seluruh orang dalam masyarakat dan kebenaran dogma sebuah agama. Sedangkan kebenaran di dalam sejarah adalah menyangkut objektifitas seorang sejarawan yang menuliskan kembali peristiwa sejarah. Menurut Frederick bilamana objektif diartikan hanya dengan maksud yang sama seperti ‘benar’ dalam arti yang mutak, maka kita terpaksa menyimpulkan bahwa objektivitas itu tidak pernah dapat dicapai (Frederick 1988: 10).
Historia rerum gestarum, bahwa sejarah adalah kisah masa lalu yang dijelaskan, bukan res gestae, kejadian masa lalu itu sendiri secara utuh. Sejarawan tidak bisa menjelaskan secara lengkap bagaimana kronologis terjadinya perang Diponegoro secara lengkap dan utuh (res gestae) karena seorang sejarawan tidak dapat kembali ke masa lalu untuk menuliskan peristiwa tersebut. Dalam menjelaskan masa lalu itu, sejarawan hanya berpijak pada rekaman sejarah baik itu arsip, catatan dan naskah yang berhubungan dengan peristiwa yang dijelaskan (historia rerum gestarum). Dari rekaman sejarah tersebut, sejarawan mencari data atau evidensi yang telah mengalami kritik sumber dan kemudian diolah menjadi fakta, selanjutnya sejarawan merekonstruksi peristiwa tersebut dengan menggunakan fakta-fakta yang telah didapatkan. Sejarawan dituntut kritis dan menggunakan analisis untuk menghasilkan sintesis dari seluruh penelitiannya dalam bentuk tulisan utuh yang disebut historiografi. Hasil rekonstruksi itu disebut sejarah dan dianggap mewakili masa lalu dan sejarah merupakan wujud masa lalu yang berbentuk tulisan.
Kaitan Metodologi dengan Objektifitas Sejarah
Keobjektifan sejarah bisa kita lihat dari penggunaan metodologi sejarah dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu. Sebagai sebuah ilmu, sejarah memiliki perangkat metodologi yang dipergunakan ketika sejarawan meneliti sampai merekonstruksi peristiwa masa lalu. Sedangkan menurut kamus Webster’s Third New International Dictonary of The English Language dalam bukunya Helijus Sjamsudin definisi dari metodologi adalah suatu prosedur, teknik, atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang dipakai oleh atau yang sesuai untuk suatu ilmu (sains), seni, atau disiplin tertentu: Metodologi… Metodologi meliputi keseluruhan penelitian sejarah dari tahap heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber, historiografi, interpretasi, eksplanasi sampai tahap ekspose (penyajian sejarah) serta mengatur apa yang seharusnya dilakukan oleh sejarawan di dalam tahapan-tahapan tersebut. Kedudukan metodologi sangat penting dalam sebuah ilmu, karena merupakan perangkat ilmiah dalam suatu penelitian sehingga mendapatkan kebenaran (objektif) dalam penelitian tersebut.


Untuk mendapatkan kebenaran (objektif) dalam sejarah, sejarah hanya bisa menyandarkan keobjektifannya dalam penggunaan metodologi. Maksudnya, kebenaran dalam sejarah ditentukan penggunaan metodologi oleh sejarawan dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu. Dalam merekonstruksi sebuah peristiwa, sejarawan dituntut menggunakan tahapan-tahapan metodologi dari mulai tahap pengumpulan sumber, kemudian kritik sumber, interpretasi, eksplanasi sampai tahap ekspose. Selain itu, sejarawan harus bisa memposisikan dirinya seobjektif mungkin dengan tidak berfihak terhadap sebuah golongan, dengan melepaskan keterkaitannya terhadap sebuah golongan dalam objek penelitiannya.
Memang pada awalnya sejarawan didorong oleh perasaan, baik itu perasaan iba maupun perasaan benci terhadap suatu golongan untuk menuliskan suatu peristiwa. Walaupun rasa empati (iba) itu penting sebagai dorongan sejarawan untuk melakukan penelitian terhadap sebuah peristiwa, namun jika empati itu berlebihan terhadap pelaku atau golongan dalam sebuah peristiwa maka keobjektifan dalam metodologi tidak akan tercapai dan dalam penyajian sejarah pun tidak akan berimbang.
Hal ini menjadi sangat penting karena sejarah hanya sebuah uraian sistematis kronologis dari sejarawan terhadap sebuah peristiwa masa lalu. Para sejarawan hanya berpijak pada fakta-fakta yang didapatkan melalui dokumen, arsip atau wawancara. Fakta-fakta yang didapatkan menjadi dasar pijakan sejarawan untuk melakukan tafsiran (interpretasi) terhadap fakta-fakta tersebut sehingga menjadi suatu uraian sejarah. Helijus Sjamsudin (2007:343) dalam bukunya menuliskan :
Status dari pengetahuan sejarah tidak didasarkan atas kebenaran dan akurasi dalam hubungan masa lalu itu sendiri melainkan pada historisasi dari masa lalu yang dibangun atas dasar jejak-jejak (traces) yang ditinggalkannya. Hasil rekonstruksi itu dianggap mewakili (representasi) masa lalu yang disebut ‘sejarah’ dan ini merupakan medium dari masa lalu dalam bentuk teks (historiografi). (Jenkins, 1995: 18)
Namun sebelum pada tahap interpretasi, sejarawan harus melakukan kritik terhadap fakta yang didapatkannya, kritik tersebut meliputi kritik eksternal dan kritik internal. Tahap ini penting karena menyangkut pemilihan sumber yang akan digunakan sejarawan. Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan fakta yang kredibel dan dapat dipertanggung jawabkan dari sebuah sumber. Menurut Helijus Sjamsudin (2007: 132) :
Kritik Sumber umumnya dilakukan terhadap sumber pertama. Kritik ini menyangkut verifikasi sumber yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan krtitik internal.
Sejarawan tidak mungkin kembali ke masa lalu untuk menuliskan bagaimana peristiwa sejarah itu berlangsung dan sejarawan tidak mungkin melakukan eksperimen terhadap suatu peristiwa. Sejarawan hanya bersandar pada fakta-fakta yang ditinggalkan oleh peristiwa masa lalu yang diolah dalam metodologi kemudian melakukan interpretasi terhadap fakta. Interpretasi dari fakta-fakta bertujuan untuk mendapatkan kesesuaian dan kesinambungan dari peristiwa masa lalu. Interaksi sejarawan dengan faktanya ini pada akhirnya akan menjadi uraian sejarah secara sistemais dan kronologis sehingga menjadi penyajian sejarah (eksplanasi). Pengolahan dari fakta-fakta kedalam metodologi sehingga menghasilkan suatu eksplanasi adalah keobjektifan dalam sejarah.


Metodologi sejarah yang membuka ruang bagi sejarawan untuk mengambil fakta yang mana saja yang dianggap kredibel dari sebuah peristiwa yang ditelitinya dan kebebasan penggunaan imajinasi dalam tahap interpretasi menimbulkan munculnya ‘keragaman’ sejarah. Seperti peristiwa Gerakan 30 Sepetember yang memiliki ‘keragaman’ mulai dari versi PKI, Suharto, Sukarno sampai CIA. Sebenarnya hal seperti ini wajar jika sejarawan yang menuliskannya memenuhi kaidah metodologi yang digariskan dalam sebuah penelitian sejarah karena kembali lagi sejarah hanya tafsiran terhadap fakta-fakta dari peristiwa masa lalu bukan masa lalu yang sesungguhnya.
Atas dasar itu, objektivitas sejarah dilihat dari penggunaan metodologi sejarah oleh sejarawan dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu. Meskipun dalam sejarah terdapat ‘keragaman’, tetapi keragaman tersebut didukung oleh kebenaran metodologi yang dipakai sejarawan. Kita sebagai pembaca dibebaskan untuk menilai kebenaran dalam suatu sejarah. 

               Baca juga artikel lainnya terkait Sejarah     

Sumber
Sjamsudin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta. Ombak
Frederick, William H. 1988. Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta. LP3ES

Sunday, February 5, 2012

Peran Diplomasi dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Lebih Baik di Atom daripada Tidak Merdeka 100%...!!!
Itulah pekik semangat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika periode (menurut George Kahin) sebagai internal dynamic in the revolution. Periode ini adalah periode dimana para pemimpin perjuangan memperdebatkan jalan perjuangan yang harus ditempuh untuk mempertahankan Indonesia. Titik pangkal perdebatan ini dimulai ketika perang Surabaya pada 10 November 1945 yang mengakibatkan jatuhnya korban yang sangat banyak dari rakyat Indonesia. Dua opsi yang menjadi perebatan yaitu perjuangan lewat perjuangan fisik atau perjuangan lewat diplomasi?. Para pemimpin Indonesia mulai memperdebatkan jalan terbaik untuk mempertahankan kedaulatan Republik. Perdebatan sengit diantara pemimpin yang mendukung jalan perang fisik dengan tokohya seperti Tan Malaka, M Yamin dan Jenderal Sudirman sedangkan pendukung jalan diplomasi dengan tokohnya yaitu Sukarno, Hatta dan Sjahrir.

Jika dilihat sekilas memang itulah slogan yang populer dalam periode itu. Tetapi jika kita melihat keadaan pada waktu itu, kita sebenarnya tidak cukup mampu untuk melawan Belanda dan Sekutu melalui jalan perang fisik. Ada 3 alasan mendasar mengapa Indonesia lemah apabila melanjutkan pertempuran fisik. Pertama, logistik persenjataan Indonesia kalah telak dengan persenjataan Belanda dan Sekutu. Ini menjadi kekhawatiran para pemimpin Indonesia karena berpotensi jatuhnya korban yang besar. Apabila begitu, siapa yang akan melanjutkan perjuangan Indonesia???. Yang kedua, Republik ini baru merdeka dan belum memiliki garis komando yang lengkap antara pusat dengan daerah. Yang ketiga, Indonesia adalah negara bekas jajahan Belanda yang kemudian dikuasai oleh Jepang, ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II otomatis seluruh negara yang dikuasai oleh Jepang (termasuk Indonesia) diserahkan kepada sekutu. Disinilah fungsi diplomasi sebagai salah satu jalan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, karena suatu negara tidak bisa mengklaim merdeka tanpa pengakuan dari dunia Internasional.

Sebenarnya peran diplomasi yang digagas oleh Sukarno dan Hatta yang kemudian dijabarkan oleh Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri pertama pada waktu itu sangatlah penting. Karena diplomasi itu adalah jalan satu-satunya bagi Indonesia yang baru merdeka untuk mendapatkan status de jure dari dunia Internasional. Hasan Wirajuda berkata, 'pada waktu itu Indonesia bukan hanya sedang menghadapi Belanda (penjajah) tapi Indonesia juga sedang menghadapi sistem internasional yang sulit ditembus'. Jalan satu-satunya adalah dengan cara berdiplomasi baik itu diplomasi dengan Belanda, Sekutu ataupun dengan dunia Internasional. Jadi jangan lupakan peran diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Jika dilihat secara sekilas, dampak diplomasi yang dijalankan oleh Indonesia seperti Linggarjati, Renville dan Roem Royen sangat merugikan pihak Indonesia dengan menyusutnya wilayah Indonesia. Jika kita melihat lebih dalam tentang diplomasi kita akan melihat betapa besarnya peran diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta pada saat memproklamasikan Indonesia dianggap oleh Sekutu sebagai penjahat perang. Ada beberapa alasan mengapa Sukarno Hatta dianggap sebagai penjahat perang:

1. Sukarno dan Hatta adalah kolaborator pada saat Jepang berkuasa di Indonesia. Sukarno Hatta adalah dua tokoh yang bekerjasama dengan Jepang
2. Teks Proklamasi di buat di rumah pejabat Jepang
3. Undang-Undang Dasar 1945 dibuat oleh badan-badan bentukan Jepang BPUPKI dan PPKI
4. Republik Indonesia adalah negara yang tidak demokratis karena bentukan Jepang

Untuk menghilangkan tuduhan Sekutu dan dunia Internasional, maka Sukarno mengeluarkan strategi berupa :

1. Rapat raksasa di lapangan Ikada (lapangan Banteng)
2. Berubahnya bentuk pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer
3. Menunjukan eksistensi di dunia Internasional dengan mengadakan perundingan dengan Belanda dan Sekutu seperti perundingan Linggarjati, Renville, Roem Royen dan KMB.
4. Mengirimkan beberapa diplomat ke negara-negara tetangga.

Dampak dari diadakannya Rapat Raksasa di Ikada adalah penagkuan tentara Sekutu terhadap Sukarno sebagai pemimpin Indonesia yang dipatuhi oleh rakyatnya. Ketika rapat Ikada berlangsung dengan dijaga ketat oleh tenatar sekutu dan Jepang, Sukarno bisa menunjukan bahwa dia adalah pemimpin Republik Indonesia yang diakui dan dipatuhi oleh rakyatnya. Kemudian dengan adanya diplomasi Indonesia dengan Sekutu dan Belanda secara tidak langsung Sekutu dan Belanda mengakui eksistensi Republik Indonesia. Selain itu Sukarno dan Hatta tidak lagi menjadi penjahat perang karena mereka sudah diakui lewat pelaksanaan diplomasi sebagai pemimpin Republik Indonesia.

Langkah selanjutnya yang ditempuh Sukarno untuk melepaskan anggapan Indonesia adalah negara yang tidak demokratis dan bentukan Jepang adalah merubah bentuk pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer. Sukarno sengaja memilih Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri pada saat itu, karena Sutan Sjahrir tidak bekerja sama dengan Jepang pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia. Selain itu Sutan Sjahrir memiliki pandangan bahwa perjuangan tidaklah harus dengan jalan perang fisik, tetapi jalan diplomasi juga sangat penting.

Apabila Sukarno menginginkan perang fisik diutamakan, maka tentulah Sukarno akan memilih Tan Malaka untuk jadi Perdana Menteri pada saat itu. Tan Malaka adalah tokoh yang banyak dikagumi oleh rakyat Indonesia pada waktu itu karena beliau heroik dalam perjuangannya. Tetapi Sukarno pada saat itu bisa melaihat lebih dalam strategi perjuangan yang harus ditempuh oleh bangsa ini.

Sebenarnya, perjuangan fisik dengan perjuangan diplomasi bagaikan dua sisi dalam satu mata uang. kedua jalan ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena keduanya memiliki fungsi dan peran masing-masing dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Saturday, January 28, 2012

Historiografi Tradisional Indonesia

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Ciri-ciri Historiografi tradisional Indonesia menurut pembagian wilayah.
Istilah historiografi memiliki dua pegertian yaitu historiografi sebagai penulisan sejarah dan historiografi sebagai sejarah penulisan sejarah. Historiografi sebagai penulisan sejarah merupakan satu kesatuan dalam metodologi sejarah. Sebagai sejarah penulisan sejarah, historiografi memiliki berbagai kelompok sesuai dengan sudut pandang sejarawan melihat suatu peristiwa.
Historiografi disini merupakan cara pandang orang terhadap peristiwa disekelilingnya yang dia tuangkan kedalam sebuah tulisan (cerita). Tulisannya tersebut akan dipengaruhi oleh keadaan pada waktu dia hidup, sehingga tulisan dia mewakili keadaan zaman dimana dia hidup. Historiografi tradisional merupakan ekspresi kultural dari usaha untuk merekam sejarah.
Historiografi tradisional merupakan kekayaan intelektual dalam sejarah Indonesia. Historiografi ini dijadikan sumber satu-satunya untuk penulisan sejarah Indonesia pada masa kerjaan-kerajaan terutama masa kerajaan Hindu-Budha, meskipun ada sumber lain seperti sumber Cina dan berita para peziarah namun kedudukan historiografi tradisional ini menjadi amat penting karena menjadi sumber utama dalam penulisan sejarah masa Hindu-Budha. Meskipun banyak yang dipertentangkan mengenai isi dari historiografi ini karena sebagaimana kita ketahui penulisan historiografi pada masa ini cenderung raja sentris atau istana sentris dan berbagai hal lainnya, tapi setidaknya kita mendapatkan gambaran mengenai kondisi pada saat itu selain fakta-fakta yang kita dapatkan.

            Ciri-Ciri Historiografi Tradisional menurut wilayah
Bagian Barat
Bagian Tengah
 Bagian Timur
Puisi atau Prosa
Puisi atau Prosa
Puisi
Etnosentris
Etnosentris
Etnosentris
Istana atau Raja sentris
Istana atau Raja sentris
Istana atau Raja sentris
Mitologi-Irasional
Mitologi-Irasional
Rasional
Melegitimasi kekuasaan
Melegitimasi kekuasaan
Melegitimasi kekuasaan

____
Kronogram/ Candrasangkala atau penanggalan
­­
____


Ramalan

Pengaruh Islam
Pengaruh Hindu-Budha
Pengaruh Islam

Keterangan:
a.       Bagian barat meliputi semenanjung Melayu dan pulau Sumatera
b.      Bagian Tengah meliputi pulau Jawa, Madura, Kalimantan dan Bali
c.       Bagian Timur meliputi pulau Sulawesi dan Maluku

Historiografi tradisional Indonesia dimulai dari historiografi Indonesia bagian tengah, hal ini dilihat dari peta keberadaan kerajaan-kerajaan awal di Indonesia. Kerajaan pertama di Indonesia adalah kerajaan Kutai dan dan dilanjutkan oleh kerajaan Hindu-Budha di pulau Jawa. Persentuhan antara Nusantara khususnya pulau Jawa dengan India menyebabkan masuknya pengaruh Hindu-Budha mengawali masuknya Indonesia dalam babak sejarah, masuknya pengaruh India juga mempengaruhi historiografi tradisional bagian tengah.  Historiografi tradisional Indonesia dimulai dari historiografi Indonesia bagian tengah, hal ini dilihat dari peta keberadaan kerajaan-kerajaan awal di Indonesia. Kerajaan pertama di Indonesia adalah kerajaan Kutai dan dilanjutkan oleh kerajaan Hindu-Budha di pulau Jawa. Persentuhan antara Nusantara khususnya pulau Jawa dengan India menyebabkan masuknya pengaruh Hindu-Budha mengawali masuknya Indonesia dalam babak sejarah, masuknya pengaruh India juga mempengaruhi historiografi tradisional bagian tengah. Meskipun Islam memiliki tempat yang dominan pada zaman kelanjutannya, namun pengaruh agama Hindu terutama sangat kental sekali terutama di daerah Jawa.
Corak Islam justru sangat kuat di daerah timur, yang meliputi Sulawesi dan Maluku pada umumnya. Hal ini kemungkinan karena penetrasi budaya Hindu dan Budha tidak sekuat di pulau Jawa dan Bali, hal ini dikarenakan kerajaan dengan corak Hidu dan Budha di daerah ini tidak sekuat kerajaan Hindu dan Budha di daerah Jawa dan Bali, sehingga ajaran Hindu-Budha pun tidak mengakar dalam masyarakatnya, dan bahkan justru kepercayaan lokal yang tetap menjadi dominan dalam masyarakat tersebut.
Historiografi tradisional di daerah barat yang justru sangat kental dengan aroma Islam, karena kita tahu daerah pertama yang bersentuhan dengan Islam adalah wilayah barat terutama Aceh. Meskipun di Sumatera pernah ada kerajaan Budha besar yaitu Sriwijaya, namun penetrasi Islam dilancarkan oleh kerajaan Islam setelahnya yaitu Aceh, dan usahanya berhasil sehingga Islam melekat dalam budaya orang Sumatera (melayu).
Dalam historiografi tradisional yang biasa disebut babad, wawacan, carita, sajarah dan lainnya raja-raja diabadikan oleh para pujangga kedalam tulisan baik itu puisi atau prosa sebagai seorang titisan dewa atau pembawa kesejahteraan. Pada hakekatnya penulisan ini dimaksudkan hanya untuk memberikan pujian kepada raja yang telah memberikan kesejahteran kepada rakyatnya. Atau maksud dari penulisan itu bisa juga melegitimasi kekuasaan seorang raja terhadap daerah kekuasaannya. Contoh historiografi tradisional bagian tengah : Babad Tanah Jawi, Wawacan Sajarah Galuh, Carita Parahiyangan, Wangsakerta, Pararaton, Nagarakertagama dan lainnya.