Pendahuluan
Pada
tahun 1811 pulau Jawa jatuh dari tangan Belanda ke tangan Inggris melalui East India Company (EIC).
Zaman pendudukan Inggris yaitu antara tahun 1811-1816, tetapi efek dari
pendudukan itu sangat besar terhadap kebijakan-kebijakan Belanda pada taun 1816
ketika mengambil alih lagi Indonesia. Pemerintahan Inggris di Jawa diserahkan
kepada Letnan Gubernur Sir Thomas
Stanford Raffles sedangkan pusat pemerintahan EIC di India. Di Jawa Raffles berkedudukan di Buitenzorg (Bogor). Sistem Sewa Tanah berlangsung pada masa pemerintahan Letnan Gubernur Raffles.
Sistem Sewa Tanah adalah sistem ekonomi dimana rakyat tidak harus melakukan penyerahan wajib dari hasil pertanian/perkebunannya, namun diganti dengan membayar sewa atas tanah yang digunakan. Raffles berpendapat bahwa Negera sebagai pemilik seluruh tanah dan rakyat wajib membayar sewa kepada Negara. Raffles
menginginkan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan
yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan kerja paksa yang
dijalankan oleh VOC.
Sistem Sewa Tanah atau Landrent tentu berbeda dengan kebijakan sistem
ekonomi VOC, dimana VOC memanfaatkan kehidupan feodalisme rakyat Indonesia
dengan cara menggunakan para raja atau bupati untuk memaksa rakyatnya menanam
tanaman yang dikehendaki oleh VOC.
Raffles
ingin menghapus segala penyerahan wajib dan pekerjaan rodi yang sebelumnya dibebankan kepada rakyat.
Kepada petani Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha
dan menanam tanamannya. Pandangan Raffles sejalan dengan pandangan seorang
pejabat VOC diakhir periode keemasannya yang bernama Dirk van Hogendorp. Van
Hogendorp menganjurkan agar kekuasaan, khususnya hak kuasa tanah para bupati
atas rakyat dibatasi. Dia juga menganjurkan agar para petani diberikan
kebebasan penuh dalam menentukan tanaman-tanaman yang hendak ditanam mereka
maupun dalam menentukan bagaimana hasil panen mereka hendak dipergunakan.
Dalam
melaksanakan kehendaknya itu, Raffles berpatokan pada tiga azas. Pertama,
segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi dihapuskan. Kedua
peranan bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan. Ketiga, berdasarkan
anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, maka para petani yang
menggarap tanah diangap sebagai penyewa tanah milik pemerintah.
Baca juga : Sistem Tanam Paksa
Kebijakan Raffles dipengaruhi oleh
cita-cita revolusi Perancis dengan semboyannya “kebebasan, persamaan dan
persaudaraan”. Raffles terpengaruh oleh ideologi liberal yang mendominasi Eropa
terutama di Inggris. Dengan memberlakukan sistem sewa tanah, Raffles ingin
mengubah paradigma masyarakat Indonesia terutama Jawa dari paradigma tradisional
yang feodalistik ke paradigma liberal yang dianut oleh Negara-negara Eropa.
Raffles juga ingin mengubah sistem ekonomi Indonesia yang tradisional dan rodi
ke ekonomi pertukaran bebas.
Pelaksanaan
Pelaksanaan
sistem sewa tanah ini mengandung tiga aspek yaitu, Pertama
penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan atas dasar dasar modern. Kedua
pelaksanaan pemungutan sewa dan yang Ketiga
penanaman tanaman dagangan untuk diekspor.
Dalam pelaksanaannya sistem
sewa tanah mengalami kendala-kendala yang besar sehingga pelaksannannya tidak
mulus. Sistem sewa tanah ini tidak berlaku di daerah Batavia dan Parahiyangan.
Hai ini dikarenakan di daerah Batavia tanah-tanah dimiliki oleh swasta, oleh
karena itu segala kertentuan tentang tanah tersebut tergantung oleh swasta
sebagai pemiliknya. Pemerintah kolonial Belanda menolak memberlakukan sistem
sewa tanah di derah Parahiyangan, hal ini disebabkan karena komoditas yang
ditanam di Parahiyangann yaitu kopi sangat menguntungkan pihak kolonial
Belanda. Kedua daerah ini tidak mengalami masa liberalis dan terus menerus
mengenal sistem tradisional dan feodal sampai tahun 1870.
Sistem
sewa tanah ini menimbulkan kekhawatiran dari para bupati, hal ini dikarenakan
para bupati dikurangi kekuasaannya
terhadap tanah dan rakyat, Dalam sistem sewa tanah, semua tanah adalah milik
pemerintah. Maka secara tidak langsung kekuasaan tradisional bupati terkurangi
dan bupati mengalami kerugian karena tidak ada lagi pemasukan dari hasil panen
rakyat dan lenyapnya penghormatan tradisional rakyat. Dalam sisten sewa tanah
ini para bupati dimasukan kedalam struktur pemerintahan kolonial dan digaji
oleh pemerintah berupa uang, serta kedudukan bupati pun di damping oleh residen
atau asisten residen yang berasal dari orang Eropa.
Selain
itu kendala lainnya juga ikut memepengaruhi tidak suksesnya sistem sewa tanah
ini berjalan. Pendeknya masa pemerintahan Raffles, terbatasnya pegawai-pegawai
dan terbatasnya keuangan menjadi kendala yang besar bagi kelangsungan sistem
sewa tanah. Meskipun begitu,
kebijakan ekonomi Raffles ini diteruskan oleh beberapa Gubernur Jenderal
Belanda yang mulai berkuasa kembali seperti Komisaris Jenderal Elout, Buyskes,
dan Van der Capellen. Tetapi pada masa pemerintahan Van den Bosch sistem sewa
tanah ini dihapuskan karena menurutnya sistem ini mendatangkan keuntungan yang
kecil bagi pemerintah kolonial.
Baca juga : Undang-Undang Agraria 1870
Selanjutnya
Raffles menetapkan pemungutan pajak perseorangan dan menghapus pajak kolektif
yang sebelumnya berlaku pada masa VOC. Raffles menilai pajak kolektif akan
menibulkan kesewenang-wenangan karena para bupati dibebaskan dalam menentukan
standar jumlah yang harus dibayar oleh tiap-tiap rakyat kepada desa atau
bupati. Tetapi pelaksanaan kebikjakan ini tidak mulus, karena tidak adanya
keterangan yang valid dan dipercaya mengenai penetapan jumlah pajak yang harus
dibayar oleh tiap orang. Maka dalam pelaksanaannya, sistem ini bukan
meringankan beban pajak rakyat malahan memberatkan beban pajak rakyat.
Penilaian
Ternyata
dalam penerapan dan pelaksaan sistem liberal sewa tanah ini menemukan
kegagalan, baik pada masa Raffles maupun dalam masa Gubernur Jenderan Van der
Capelllen. Usaha untuk membatasi kekuasaan para bupati terhadap rakyatnya tidak
berhasil, dan pulau Jawa tetap pada sistem feodal dalam kehidupannya. Sistem
feodal ini dibangkitkan kembali pada pemerintahan Belanda selanjutnya dan
dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintah Belanda. Tetapi kegagalan
itu bukanlah kegagalan total, karena dibeberapa tempat ada yang memberlakukan sistem
sewa tanah.
Usaha
Raffles untuk meningkatkan kemakmuran rakyat Jawa pun mengalami kegagalan.
Karena meskipun para bupati telah hilang kekuasaannya dalam menarik pajak
rakyat, tetapi para kepala desa masih menarik pajak sewenang-wenang dari rakyat.
Raffles
berniat ingin menyamakan ekonomi dan kehidupan rakyat Jawa dengan India. Tetapi
hal ini tentu tidak berhasil karena mental dan sarana perdagangan di Jawa tidak
semaju di India. Di India telah dikenal sistem uang pada abad ke 16 serta
terdapat lalu lintas perdagangan yang ramai antar desa. Berbeda dengan di Jawa,
selain mental feodal yang sangat kuat, Jawa pun belum mengenal mata uang yang
sama di setiap daerah dan tidak adanya sarana lalu lintas perdagangan antar
desa. Di sisi lain
rakyat dan bupati tidak memikirkan bagaimana mendapatkan penghasilan lebih dengan
cara menanam tanaman yang bisa ditukar atau diekspor dengan daerah lain. Rakyat
hanya memikirkan bagaimana menanam tanaman untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Jadi dapat disimpulkan usaha ekonomi pertukaran Raffles tidak menemukan
keberhasilannya.
Baca juga artikel lainnya terkait Sejarah
Konten materi merupakan ringkasan materi dari Buku
Sejarah Nasional Indonesia Jilid 4, adapun Penilaian adalah elaborasi dan pandangan
penulis terhadap materi.
Tulisan ini merupakan bagian dari materi Sistem Ekonomi Indonesia pada masa kolonial, bagian lain akan diposting selanjutnya.
cerita sejarah yang bagus, trims telah di share
ReplyDeleteSama sama, termikasih sudah berkunjung
Deleteizin comot artikelnya buat tugas gua, thanks kakak Cecep
ReplyDeleteOkeh lanjoot.
DeleteMakasih udah berkunjung dan meninggalkan jejak
Menambah wawasan dan pengetahuan good joob
ReplyDeleteTerimakasih sudah berkunjung ke blog ini. Semoga bermanfaat
Delete