Halaman

Tuesday, June 4, 2019

Kebijakan Ekonomi Kolonial : Sistem Tanam Paksa


Johannes Van den Bosch
Wikipedia
          Sistem sewa tanah yang dicetuskan Raffles dan diteruskan oleh beberapa Gubernur Jenderal Belanda  yaitu Van der Capellen dan Bus de Gesignes mengalami kegagalan. Dalam tahun 1830, pemerintah Belanda mengangkat Gubernur Jenderal yang baru yaitu Van den Bosch. Pemerintah Belanda membebankan beban yang tidak mudah kepada Van den Bosch yaitu dia harus bisa membantu memulihkan perekonomian Belanda yang mengalami kerugian akibat hutang-hutang yang besar. Maka dari itu Van den Bosch mengeluarkan peraturan Tanam Paksa atau Cultuurstelsel. 
         Keuangan Kerajaan Belanda saat mengalami krisis karena banyaknya pengeluaran terutama untuk biaya perang yaitu perang Paderi di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa. Maka tujuan diberlakukanya sistem tanam paksa adalah untuk mengembalikan stabilitas ekonomi Kerajaan Belanda dan mengembalikan kejayaannya seperti pada saat VOC. 
      Sistem tanam paksa pada masa penjajahan Belanda disebut juga dengan nama Cultuurstelsel. Sistem Tanam Paksa adalah sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Kegagalan sistem sewa tanah yang diterapkan oleh Raffles dalam meningkatkan pemasukan Belanda, maka Van den Bosch memberlakukan sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa ini mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam tanaman-tanaman dagangan untuk diekspor ke pasaran dunia.
            Ciri utama dari pemberlakuan sistem tanam paksa Van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk hasil panen bukan dalam bentuk uang seperti ketika sistem sewa tanah. Hal ini menurutnya bisa menguntungkan Belana, karena komoditas yang diserahkan  oleh rakyat kepada Belanda dapat diangkut ke Belanda dan dijual di pasaran Eropa dengan standar harga yang lebih besar dari pada pasaran di Jawa. Sistem ini juga membangkitkan kembali sistem kehiduppan yang feodal di Jawa. Karena Van den Bosch menganggap bahwa hubungan tradisional antara para bupati dengan rakyatnya sangat penting untuk menjalankan program tanam paksa. Dengan perantara para bupati, Van den Bosch bisa memaksa rakyat untuk menanam tanaman yang dibutuhkan oleh Belanda sekaligus mengontrol pelaksanaan tanam paksa tersebut.
      Van den Bosch pun melakukan perkiraan dengan sampel perkebunan kopi di Parahiyangan yang tidak tersentuh oleh sistem sewa tanah. Dia berpendapat jika di Parahiyangan dapat menghasilkan keuntungan f.5 persatu rumah tangga, maka apabila sistem tanam paksa ini dijalankan diseluruh Jawa maka Belanda akan mendapat keuntungan f.15 sampai f.20 juta setiap tahun. Munurutnya, sistem ini lebih meringankan rakyat dibandingkan dengan sewa tanah, karena dalam pembayaran pajak sewa tanah suka memberatkan rakyat dan sering mencapai sepertiga bahkan separoh dari penghasilan panen rakyat. Dia memperkirakan jika menjalankan sistem tanam paksa, rakyat hanya akan dibebankan waktu kerja selama 66 hari dalam per tahunnya.
         Tetapi penerapan sistem ini menimbulkan reaksi dari rakyat, dengan menerapkan sistem ini rakyat merasa diperas oleh pihak Belanda. Hal ini terjad akibat dari pengalaman yang bebas dalam penanaman tanaman yang diberlakukan oleh Raffles dan beban yang sangat besar dibandingkan dengan penyerahan wajib yang diberlakukan oleh VOC selama dua abad. Sehingga rakyat memberontak ketika tanam paksa diberlaukan kembali. Karena tanam paksa ini sama dengan eksploitasi pada masa VOC. Perbedaannya hanya terletak pada penyerahan pajak rakyat terhadap Belanda, apabila dalam sistem tanam paksa pajak harus diserahkan dengan berupa tanaman, kalau di masa VOC pajak diserahkan dengan berupa uang.

Pelaksanaan
Ketentuan dari sistem tanam paksa ini tertera pada staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1834 no. 22 yang berisi :
  1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan pendudu agar mereka meniadakan sebagain dari tanahnya untuk menanam tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
  2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
  3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  5. Tanaman dagangan yang dihasilakan di tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
  6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketentuan dari pihak rakyat.

       Penduduk desa mengerjakan tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Di dalam ketentuan diatas, terlihat beban yang harus dikerjakan oleh rakyat relaitif lebih ringan, tetapi dalam pelaksanaannya banyak penyelewengan-penyelewengan dari ketentuan pokok diatas yang dilakukan oleh petinggi-petinggi Eropa sehingga rakyat banyak dirugikan, kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan 7.


Menurut ketentuan Lembaran Negara tahun 1834 no 22 setiap persetujuan pemerintah Belanda dengan rakyat tentang masalah pemakaian tanah rakyat untuk penanaman tanaman dagangan harus di dasarkan atas kerelaan rakyat tanpa didorong oleh paksaan. Tetapi dalam pelaksanaannya rakyat diwajibkan menyediakan tanah lebih besar dari ketentuan. Pemerintah menggunakan kekuasaan tradisional para bupati untuk melancarkan usahanya. Dalam prakteknya ternyata penggunaan tanah untuk menanam tanaman paksa yang dibebankan kepada rakyat sering dilampaui, sehingga mencapai setengah dari tanah milik rakyat.
Ketentuan-ketentuan tanam paksa lebih memberatkan dibanding dengan sistem penyerahan wajib VOC. Jika dalam penyerahan wajib VOC rakyat menyerahkan hasil tanaman kepada pemimpin rakyat, berbeda dengan sistem tanam paksa. Dalam sistem ini para pegawai Eropa diharuskan ikut mengawasi seluruh proses tanam paksa dari penanaman sampai pemungutan tanaman oleh rakyat. Hal ini memberikan celah kepada pegawai Eropa untuk memaksakan hasil produksi yang tinggi kepada rakyat dengan alasan untuk menigkatkan pendapatan Belanda. Selain itu pemerintah juga memberikan culturprocenten keada para pegawai Belanda, para bupati dan para kepala desa diluar pendapatan pokok mereka. Cutulprocenten ini tergantung dari besarnya produksi tanaman yang melampaui batas target ketentuan Belanda dari tanaman yang diserahkan oleh kepala desa, bupati dan pegawai Eropa.
Dalam perkembangannya, sistem ini malah banyak merugikan rakyat. Beban yang harus ditanggung rakyat sebagai akibat dari hasrat keuntungan para pegawai Eropa, para bupati dan kepala desa semakin besar. Dengan adanya culturprocenten, para pegawai Eropa, bupati dan kepala desa memaksakan produksi yang besar terhadap rakyat untuk meraup keuntungan bagi mereka sendiri tanpa melihat keadaan rakyat.
Rakyat juga dibebankan pajak atas tanah yang digarapnya untuk tanam paksa. Kita bisa melihat penerimaan pajak Belanda yang mengalami penaikan.
Tahun              penerimaan
1829                f. 3.305.698
1835                f. 7.679.359
1840                f. 9.364.907
Ini berarti ketentuan hilangnya pajak bagi tanah yang dipakai untuk menanam tanaman wajib dalam pelaksanaannya mengalami penyelewengan.
Tanaman dagangan terpenting yang ditanam selama sistem tanam paksa berlaku adalah kopi, gula dan nila (indigo). Pentingnya tanaman ini bagi Belanda tidak hanya bisa dilihat dari luasnya daerah penanaman, tetapi bisa dilihat juga dari jumlah rakyat yang dipekerjakan untuk perkebunan tanaman tersebut. Padaa tahun 1858 kurang lebih 450.00 rakyat terlibat dalam penanaman kopi, 300.000 rakyat dalam penanaman gula dan 110.000 rakyat dalam penanaman nila.


          Penerapan sistem tanam paksa dinilai berhasil, ini dikuatkan oleh bukti bahwa pada tahun  1830 kas Belanda selalu mengalami defisit. Tetapi pada tahu 1831 setelah diberlakukannya sistem tanam paksa, maka kas Belanda mengalami surplus. Misalnya pada antara tahun 1832 dan 1867 saldo untung ini mencapai f. 967 juta, antara tahun 1867 dan 1877 mencapai total f. 287 juta. Jadi total dari saldo untung (batig slot) yang didapatkan oleh Belanda dari tanam paksa selama kurang lebih empat dasawarsa mencapai f. 784 juta.
Pemerintah Belanda juga sangat berhemat dalam menggunakan anggaran belanjanya. Pemerintah Belanda membebankan kepada rakyat untuk pembangunan prasarana  yang diperlukan. Misalnya pemerintah Belanda mengerahkan rakyat untuk membangun jalan raya dan jembatan. Pengeluaran pemerintah Belanda hanya dialokasikan untuk penanaman tanaman paksa yang langsung memberikan manfaat kepada mereka. Tetapi setelah periode tanam paksa berakhir yaitu tahun 1870, saldo keuntungan Belanda mulai hilang sedikit demi sedikit. Hal ini disebabkan oleh kebijakan parlemen Belanda kepada pemerintahan kolonial untuk membangun prasarana di Hindia-Belanda. Selain itu, karena pengeluaran pemerintah terhadap biaya perang dengan Aceh.
Sistem tanam paksa ini berakhir pada tahun 1870 dikarenakan pemerintah menilai sistem ini sudah tidak efisien lagi untuk digunakan. Selain itu karena banyaknya keinginan dari pihak swasta Belanda untuk memegang peranan utama dalam mengeksploitasi kekayaan alam Hindia-Belanda. Dengan dihentikannya sistem tanam paksa ini maka dimulailah periode liberal di Hindia-Belanda dengan banyaknya swasta Belanda menanamkan modal di Hindia-Belanda.

Baca juga artikel lainnya terkait Sejarah 

Konten materi merupakan ringkasan materi dari Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid 4, adapun Penilaian adalah elaborasi dan pandangan penulis terhadap materi.

Tulisan ini merupakan bagian dari materi Sistem Ekonomi Indonesia pada masa kolonial, bagian lain akan diposting selanjutnya.

No comments:

Post a Comment