Johannes Van den Bosch Wikipedia |
Keuangan Kerajaan Belanda saat mengalami krisis karena banyaknya pengeluaran terutama untuk biaya perang yaitu perang Paderi di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa. Maka tujuan diberlakukanya sistem tanam paksa adalah untuk mengembalikan stabilitas ekonomi Kerajaan Belanda dan mengembalikan kejayaannya seperti pada saat VOC.
Sistem
tanam paksa pada masa penjajahan Belanda disebut juga dengan nama Cultuurstelsel. Sistem Tanam Paksa adalah sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib
yang pernah dipraktekkan oleh VOC dahulu. Kegagalan sistem sewa tanah yang
diterapkan oleh Raffles dalam meningkatkan pemasukan Belanda, maka Van den
Bosch memberlakukan sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa ini mewajibkan para petani
di Jawa untuk menanam tanaman-tanaman dagangan untuk diekspor ke pasaran dunia.
Ciri utama dari
pemberlakuan sistem tanam paksa Van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di
Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk hasil panen bukan dalam bentuk
uang seperti ketika sistem sewa tanah. Hal ini menurutnya bisa menguntungkan
Belana, karena komoditas yang diserahkan
oleh rakyat kepada Belanda dapat diangkut ke Belanda dan dijual di pasaran Eropa dengan standar harga yang lebih besar dari pada pasaran di Jawa. Sistem
ini juga membangkitkan kembali sistem kehiduppan yang feodal di Jawa. Karena
Van den Bosch menganggap bahwa hubungan tradisional antara para bupati dengan
rakyatnya sangat penting untuk menjalankan program tanam paksa. Dengan
perantara para bupati, Van den Bosch bisa memaksa rakyat untuk menanam tanaman
yang dibutuhkan oleh Belanda sekaligus mengontrol pelaksanaan tanam paksa
tersebut.
Van den Bosch pun melakukan
perkiraan dengan sampel perkebunan kopi di Parahiyangan yang tidak tersentuh
oleh sistem sewa tanah. Dia berpendapat jika di Parahiyangan dapat
menghasilkan keuntungan f.5 persatu rumah tangga, maka apabila sistem tanam
paksa ini dijalankan diseluruh Jawa maka Belanda akan mendapat keuntungan f.15
sampai f.20 juta setiap tahun. Munurutnya, sistem ini lebih meringankan rakyat
dibandingkan dengan sewa tanah, karena dalam pembayaran pajak sewa tanah suka
memberatkan rakyat dan sering mencapai sepertiga bahkan separoh dari penghasilan
panen rakyat. Dia memperkirakan jika menjalankan sistem tanam paksa, rakyat
hanya akan dibebankan waktu kerja selama 66 hari dalam per tahunnya.
Tetapi penerapan sistem
ini menimbulkan reaksi dari rakyat, dengan menerapkan sistem ini rakyat merasa
diperas oleh pihak Belanda. Hal ini terjad akibat dari pengalaman yang bebas
dalam penanaman tanaman yang diberlakukan oleh Raffles dan beban yang sangat
besar dibandingkan dengan penyerahan wajib yang diberlakukan oleh VOC selama
dua abad. Sehingga rakyat memberontak ketika tanam paksa diberlaukan kembali.
Karena tanam paksa ini sama dengan eksploitasi pada masa VOC. Perbedaannya
hanya terletak pada penyerahan pajak rakyat terhadap Belanda, apabila dalam sistem
tanam paksa pajak harus diserahkan dengan berupa tanaman, kalau di masa VOC
pajak diserahkan dengan berupa uang.
Pelaksanaan
Ketentuan
dari sistem tanam paksa ini tertera pada staatsblad
(Lembaran Negara) tahun 1834 no. 22 yang berisi :
- Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan pendudu agar mereka meniadakan sebagain dari tanahnya untuk menanam tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
- Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
- Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
- Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
- Tanaman dagangan yang dihasilakan di tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
- Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketentuan dari pihak rakyat.
Penduduk desa mengerjakan tanah mereka di bawah
pengawasan kepala-kepala, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri
pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman
berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Di dalam ketentuan
diatas, terlihat beban yang harus dikerjakan oleh rakyat relaitif lebih ringan,
tetapi dalam pelaksanaannya banyak penyelewengan-penyelewengan dari ketentuan
pokok diatas yang dilakukan oleh petinggi-petinggi Eropa sehingga rakyat banyak
dirugikan, kecuali mungkin ketentuan nomor 4 dan 7.
Baca juga : Sistem Sewa Tanah Raffles
Menurut ketentuan
Lembaran Negara tahun 1834 no 22 setiap persetujuan pemerintah Belanda dengan
rakyat tentang masalah pemakaian tanah rakyat untuk penanaman tanaman dagangan
harus di dasarkan atas kerelaan rakyat tanpa didorong oleh paksaan. Tetapi
dalam pelaksanaannya rakyat diwajibkan menyediakan tanah lebih besar dari
ketentuan. Pemerintah menggunakan kekuasaan tradisional para bupati untuk
melancarkan usahanya. Dalam prakteknya ternyata penggunaan tanah untuk menanam
tanaman paksa yang dibebankan kepada rakyat sering dilampaui, sehingga mencapai
setengah dari tanah milik rakyat.
Ketentuan-ketentuan tanam
paksa lebih memberatkan dibanding dengan sistem penyerahan wajib VOC. Jika
dalam penyerahan wajib VOC rakyat menyerahkan hasil tanaman kepada pemimpin
rakyat, berbeda dengan sistem tanam paksa. Dalam sistem ini para pegawai Eropa
diharuskan ikut mengawasi seluruh proses tanam paksa dari penanaman sampai pemungutan
tanaman oleh rakyat. Hal ini memberikan celah kepada pegawai Eropa untuk
memaksakan hasil produksi yang tinggi kepada rakyat dengan alasan untuk
menigkatkan pendapatan Belanda. Selain itu pemerintah juga memberikan culturprocenten keada para pegawai
Belanda, para bupati dan para kepala desa diluar pendapatan pokok mereka. Cutulprocenten ini tergantung dari
besarnya produksi tanaman yang melampaui batas target ketentuan Belanda dari
tanaman yang diserahkan oleh kepala desa, bupati dan pegawai Eropa.
Dalam perkembangannya, sistem
ini malah banyak merugikan rakyat. Beban yang harus ditanggung rakyat sebagai
akibat dari hasrat keuntungan para pegawai Eropa, para bupati dan kepala desa
semakin besar. Dengan adanya culturprocenten,
para pegawai Eropa, bupati dan kepala desa memaksakan produksi yang besar
terhadap rakyat untuk meraup keuntungan bagi mereka sendiri tanpa melihat
keadaan rakyat.
Rakyat
juga dibebankan pajak atas tanah yang digarapnya untuk tanam paksa. Kita bisa
melihat penerimaan pajak Belanda yang mengalami penaikan.
Tahun penerimaan
1829 f. 3.305.698
1835 f. 7.679.359
1840 f. 9.364.907
Ini berarti ketentuan
hilangnya pajak bagi tanah yang dipakai untuk menanam tanaman wajib dalam
pelaksanaannya mengalami penyelewengan.
Tanaman
dagangan terpenting yang ditanam selama sistem tanam paksa berlaku adalah kopi,
gula dan nila (indigo). Pentingnya tanaman ini bagi Belanda tidak hanya bisa
dilihat dari luasnya daerah penanaman, tetapi bisa dilihat juga dari jumlah
rakyat yang dipekerjakan untuk perkebunan tanaman tersebut. Padaa tahun 1858
kurang lebih 450.00 rakyat terlibat dalam penanaman kopi, 300.000 rakyat dalam
penanaman gula dan 110.000 rakyat dalam penanaman nila.
Baca juga : Undang-Undang Agraria 1870
Penerapan
sistem tanam paksa dinilai berhasil, ini dikuatkan oleh bukti bahwa pada
tahun 1830 kas Belanda selalu mengalami
defisit. Tetapi pada tahu 1831 setelah diberlakukannya sistem tanam paksa, maka
kas Belanda mengalami surplus. Misalnya pada antara tahun 1832 dan 1867 saldo
untung ini mencapai f. 967 juta, antara tahun 1867 dan 1877 mencapai total f.
287 juta. Jadi total dari saldo untung (batig
slot) yang didapatkan oleh Belanda
dari tanam paksa selama kurang lebih empat dasawarsa mencapai f. 784 juta.
Pemerintah Belanda juga
sangat berhemat dalam menggunakan anggaran belanjanya. Pemerintah Belanda
membebankan kepada rakyat untuk pembangunan prasarana yang diperlukan. Misalnya pemerintah Belanda
mengerahkan rakyat untuk membangun jalan raya dan jembatan. Pengeluaran
pemerintah Belanda hanya dialokasikan untuk penanaman tanaman paksa yang
langsung memberikan manfaat kepada mereka. Tetapi setelah periode tanam paksa
berakhir yaitu tahun 1870, saldo keuntungan Belanda mulai hilang sedikit demi
sedikit. Hal ini disebabkan oleh kebijakan parlemen Belanda kepada pemerintahan
kolonial untuk membangun prasarana di Hindia-Belanda. Selain itu, karena
pengeluaran pemerintah terhadap biaya perang dengan Aceh.
Sistem tanam paksa ini berakhir pada tahun 1870
dikarenakan pemerintah menilai sistem ini sudah tidak efisien lagi untuk
digunakan. Selain itu karena banyaknya keinginan dari pihak swasta Belanda
untuk memegang peranan utama dalam mengeksploitasi kekayaan alam
Hindia-Belanda. Dengan dihentikannya sistem tanam paksa ini maka dimulailah
periode liberal di Hindia-Belanda dengan banyaknya swasta Belanda menanamkan
modal di Hindia-Belanda.
Baca juga artikel lainnya terkait Sejarah
Konten materi merupakan ringkasan materi dari Buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid 4, adapun Penilaian adalah elaborasi dan pandangan penulis terhadap materi.
Tulisan ini merupakan bagian dari materi Sistem Ekonomi Indonesia pada masa kolonial, bagian lain akan diposting selanjutnya.
No comments:
Post a Comment