Oleh Cecep Lukmanul Hakim
man is condemned to be free; because once thrown into the world,
he is responsible for everything he does (Sartre)
Filsafat
secara harfiah berarti cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer
filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau
pendirian hidup bagi individu. Dengan demikian setiap individu atau setiap
kelompok masyarakat secara filosofis akan memiliki pandangan hidup yang mungkin
berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya baik.
Eksistensialisme
merupakan salah satu aliran filsafat yang ada saat ini. Filsafat ini muncul di
abad modren yaitu pada abad ke 19 di Eropa. Ditinjau dari segi bahasa eksistensialisme
memiliki kata dasar eksistensi (existency)
adalah exist yang berasal dari bahasa
Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi,
eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan
keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri
sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein
artinya berada)[1].
Eksistensialisme
memandang bahwa manusia merupakan satu kesatuan utuh antara jasmani dan rohani,
kesatuan antara akal fikiran dengan tubuh. Sehingga filsafat ini memandang
bahwa manusia merupakan objek sekaligus subjek dari renungan. Sebagai objek,
manusia merupakan materi layaknya benda-benda lain seperti pohon, batu, air dan
benda lainnya yang bisa dijadikan objek atau bahan renungan. Sebagai subjek,
manusia memiliki kelibihan lain dari benda-benda lainnya di dunia yaitu akal
fikiran atau idea yang merupakan alat dari perenungan. Sesuai dengan namanya,
filsafat ini lebih menekankan kepada perenenungan manusia sebagai subjek (idea)
dengan objeknya yaitu manusia sendiri sebagai materi yaitu tubuh yang dinamis.
Manusia selalu mengkonstruksi dirinya sendiri tanpa selesai. Dengan demikian,
manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu[2].
Baca juga : Filsafat Scholastik
Eksistensialisme
merupakan bentuk protes terhadap filsafat-filsafat terdahulu. Eksistensialisme
menolak filsafat materialisme yang memandang bahwa manusia itu hanya terdiri
dari materi. Materialisme memandang bahwa manusia sama halnya seperti
benda-benda lain seperti kayu dan batu yang tidak memiliki kekuatan untuk
merubah hidupnya dan tidak dapat menentukan pilihannya. Eksistensialisme juga
menolak filsafat idealisme dan rasionalisme yang menempatkan bahwa hanya akal
lah yang menjadi pusat penggalian pengetahuan yang memandang materi hanyalah
objek dari pembentukan pengetahuan.
Eksistensialisme
menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek, sehingga manusia dianugerahi
kebebasan tanpa batas untuk menentukan apa saja yang menyangkut dirinya. Namun,
tidak hanya kebebasan yang menjadi ciri filsafat ini, kedewasaan dan
tanggungjawab atas kebebasan yang dianugerahkan kepada manusia merupakan hal
terpenting. Dalam filsafat ini, manusia tidak harus mematuhi sebuah hukum atau
sistem apabila menurutnya sistem itu membawa dia kepada kerugian. Manusia
dibebaskan untuk memilih pekerjaan, pendidikan, jodoh bahkan dibebaskan dalam
memilih agama. Sesuai dengan Q.S Al Kafirun ayat 6; “Untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku”
Apabila
kaum idealis dan rasionalis memiliki semboyan “Aku Berfikir maka Aku Ada”, maka
eksistensialis memiliki semboyan “Aku Berkarya maka Aku Ada”. Menurut kaum
eksistensialis, manusia itu bukan seutuhnya manusia apabila tidak memiliki
karya yang dihasilkan sebagai sebuah output dari perenungan yang telah
dilakukannya terhadap dirinya maupun benda disekitarnya.
Selain itu, manusia tidak boleh berpasrah diri dalam
dan dituntut untuk berusaha. Manusia sebagai subjek
dari perenungan memliki kekuatan untuk merubah keadaan yang menurutnya tidak
sesuai dengan kebenaran yang dipegangnya. Sesuai dengan Q.S Ar Ra’d ayat 11; Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Baca juga artikel lainnya terkait Filsafat
[1] Fuad Hasan,
Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang. 1974), hlm. 8.
[2] Ahmad Tafsir,
Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191
makasih infonya sangat bermanfaat sekali
ReplyDeletekoran sindo internasional