Gambaran
Umum Pendidikan Masa Penjajahan Belanda
Pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial
Belanda pada awalnya ditujukan untuk melenyapkan agama Katolik di Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan sekolah-sekolah pertama yang didirikan oleh
pemerintah kolonial berada di daerah Indonesia bagian timur serta peran penting
dari pihak gereja sebagai pengatur kurikulum di sekolah-sekolah milik
pemerintah kolonial. Selain itu, pengenalan bahasa Belanda di daerah jajahan juga
dijadikan sebagai alasan oleh pemerintah kolonial sebagai upaya untuk
memperkuat hegemoni di daerah jajahan.
Sekolah pertama yang didirikan oleh pihak kolonial
Belanda, tepatnya oleh VOC sebagai perwakilan dari pemerintah pusat di Negara
Belanda, didirikan di Ambon sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran agama
Katolik oleh pihak Portugis serta hegemoninya di wilayah Ambon serta Indonesia
bagian Timur. Namun, tidak sepenuhnya tujuan pihak kolonial Belanda daat
tercapai. Hal itu disebabkan oleh kurang mampunya pihak pemerintah kolonial
Belanda dalam menyebarkan bahasa Belanda kepada penduduk pribumi yang sudah
lebih dahulu menggunakan bahasa Melayu, Arab, dan Portugis sebagai bahasa
sehari-hari mereka.
Selain sebagai upaya untuk menyebarkan agama Kristen
di daerah jajahan, pendirian sekolah-sekolah serta pola pendidikan yang
diterapkan oleh pihak kolonial Belanda, hal itu juga ditujukan untuk mencetak
pegawai-pegawai administrasi VOC yang dibutuhkan serta gajinya murah.
Setelah VOC dibubarkan oleh pihak pemerintah pusat
Negara Belanda, sistem pendidikan yang tadinya ditujukan untuk mencetak
pegawai-pegawai administrasi serta penyebaran Agama Kristen secara perlahan
fungsinya mulai bertambah bersamaan dengan adanya penerapan politik etis. Pola
pendidikan yang tadinya hanya untuk mencetak para pegawai serta penyebaran
Agama Kristen akhirnya dirubah dan disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan oleh sistem pendidikan di Negara
Belanda. Dengan demikian, sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia pada saat
itu langsung di pantau oleh pemerintah pusat di Negara Belanda.
Gambar : Wikipedia |
Agar pola pendidikan yang berlaku di Indonesia sesuai
dengan pola pendidikan yang berlaku di Negara Belanda, guru-guru yang di
tugaskan untuk mengajar diwajibkan mempunyai lisensi khusus dan pada awalnya
harus berasal dari Negara Belanda. Selain itu, pada awalnya murid-murid yang
diperbolehkan sekolah di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia
Belanda harus berasal dari golongan bangsawan atau keturunan Belanda serta
Cina.
Secara umum, ciri utama dari sistem pendidikan di
Indonesia pada masa kolonial Belanda ada enam ciri, yaitu gradualisme,
dualisme, kontrol terpusat yang ketat, untuk mencetak pegawai-pegawai yang
murah, berprinsip korkondasi, serta tidak adanya perencanaan pendidikan yang
sistematis mengenai anak-anak Indonesia.
Dalam
artikel ini akan dibahas beberapa sekolah pada
masa penjajahan Belanda. Karena pembahasannya terlalu panjang, maka akan dibagi kedalam beberapa artikel.
Sekolah
Kelas Satu
Krisis gula pada tahun 1885
menyebabkan keadaan ekonomi memburuk, hal ini berimbas kepada penggunaan dana
terhadap semua pengeluaran tak terkecuali dalam sektor pendidikan. Maka sekolah
rendah (sekolah pribumi) dan sekolah guru dihentikan perluasannya oleh
pemerintah. W. P. Groenevelt dengan persetujuan dari raja membuat kebijakan
tentang perubahan sekolah rendah (sekolah pribumi) menjadi Sekolah Kelas Satu
dan Sekolah Kelas Dua. Sekolah Kelas Satu mulai diberlakukan pada tahun 1892 dan dibuka pada tahun 1894.
Sekolah Kelas Satu diperuntukan bagi anak-anak bangsawan dan kaum priyayi dan Sekolah Kelas Dua diperuntukan bagi rakyat biasa. Sekolah Kelas Satu bisa ditempuh dengan 5 tahun dan Sekolah Kelas Dua ditempuh dalam 3 tahun. Mata pelajaran yang diajarkan diantaranya membaca dan menulis dalam bahasa daerah dalam huruf daerah dan latin, membaca dan menulis dalam bahasa melayu berhitung, ilmu bumi Indonesia dan mengukur tanah. Ternyata Sekolah Kelas Satu ini tidak populer dikalangan priyayi, hal ini dikarenakan sekolah ini tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda dan tidak memperoleh pendidikan lanjutan. Bahasa Belanda sangat penting pada masa itu, karena bahasa Belanda merupakan salah satu syarat untuk menjadi pegawai pemerintah. Maka, alternatifnya adalah masuk ke E.L.S (Europese Lagere School) untuk mendapatkan pendidikan bahasa Belanda dan agar bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Sekolah Kelas Satu diperuntukan bagi anak-anak bangsawan dan kaum priyayi dan Sekolah Kelas Dua diperuntukan bagi rakyat biasa. Sekolah Kelas Satu bisa ditempuh dengan 5 tahun dan Sekolah Kelas Dua ditempuh dalam 3 tahun. Mata pelajaran yang diajarkan diantaranya membaca dan menulis dalam bahasa daerah dalam huruf daerah dan latin, membaca dan menulis dalam bahasa melayu berhitung, ilmu bumi Indonesia dan mengukur tanah. Ternyata Sekolah Kelas Satu ini tidak populer dikalangan priyayi, hal ini dikarenakan sekolah ini tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda dan tidak memperoleh pendidikan lanjutan. Bahasa Belanda sangat penting pada masa itu, karena bahasa Belanda merupakan salah satu syarat untuk menjadi pegawai pemerintah. Maka, alternatifnya adalah masuk ke E.L.S (Europese Lagere School) untuk mendapatkan pendidikan bahasa Belanda dan agar bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Dengan keadaan seperti itu maka
banyak permohonan dari golongan priyayi untuk memasukan anaknya ke E.L.S.
Peraturan masuk E.L.S mulai diperlunak sehingga banyak anak Indonesia masuk ke
E.L.S. Tetapi keadaan ini banyak diprotes oleh orang Belanda dan merasa
keberatan dengan banyaknya anak Indonesia yang masuk. Maka, pada tahun 1907
pemerintah mulai memasukan bahasa Belanda kedalam kurikulium Sekolah Kelas Satu
dengan masa belajar diperpanjang menjadi 6 tahun. Tetapi keadaan ini tidak
merubah apapun, karena Sekolah Kelas Satu tetap kalah dengan E.L.S dan H.C.S
(Hollands Chinese School). Maka pada tahun 1909 lama studi diperpanjang menjadi
7 tahun dan pada tahun 1912 pelajaran bahasa Belanda diajarkan mulai dari kelas
1. Tetapi ini masih menjadi persoalan karena sekolah ini tidak membuka
kesempatan untuk melanjutkan studi.
Sekolah
Kelas Dua (Tweede Inlandsche School)
Sekolah Kelas Dua bisa ditempuh
selama tiga tahun dan diperuntukan kepada rakyat biasa. Tetapi dalam
perkembangannya, sekolah ini dihentikan oleh pemerintah karena dianggap
membahayakan kestabilan Hindia Belanda. Seperti halnya Sekolah Kelas Satu, Sekolah Kelas Dua mulai diberlakukan pada tahun 1892 dan dibuka pada tahun 1894. Keberadaan sekolah ini berakibat
timbulnya golongan intelektual di desa yang menyebabkan pekerjan kasar
berkurang dan beralih ke pekerjaan kantor dan pemerintahan. Apabila ini terjadi
maka sumber perekonomian Belanda akan berkurang. Maka dibentuklan sekolah desa
untuk mempersiapkan tenaga-tenaga kasar dan Sekolah Kelas Dua untuk mempersiapkan
pegawai-pegawai rendahan pemerintah dan swasta. Dengan tujuan tersebut, maka
daearah penyebaran Sekolah Kelas Dua ini dipersempit hanya untuk kota-kota
besar saja.
Pelajaran yang tersedia di Sekolah
Kelas Dua diantaranya pelajaran membaca, menulis dalam bahasa Melayu,
berhitung, menggambar,ilmu bumi dan ilmu alam, tetapi bahasa Belanda dilarang
diajarkan pada sekolah ini. Sekolah Kelas Dua juga mengalami beberapa perubahan
dalam hal waktu studi yang tadinya bisa ditempuh dalam 3 tahun menjadi 5 tahun.
Lulusan dari Sekolah Kelas Dua bisa melanjutkan studinya ke Sekolah Pendidikan
Guru (Kweekschool). Keberadaan Kweekschool ini bertujuan untuk memepersiapkan
guru-guru untuk Sekolah Desa. Sedangkan jika ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi yaitu MULO atau AMS dan perguruan tinggi, terlebih dahulu harus menyelesaikan Schakel School (Sekolah Peralihan).
Sekolah
Desa (Volk School)
Sekolah Desa timbul atas ide Van
Heutz yang menginginkan sekolah sederhana dan murah untuk rakyat Indonesia.
Sumber dana dari sekolah ini adalah masyarakat, dalam hal ni masyarakat
bergotong-royong untuk mendanai sekolah ini. Ada tiga alasan mengapa sekolah
ini dibentuk :
1. Sekolah
ini murah dan dapat didirikan berdasarkan gotong-royong, tanpa pembiayaan
sedikitpun dari pemerintah.
2. Sekolah
ini menjadi bagian integral dari masyarakat desa yang menandangnya sebagai
miliknya.
3. Sekolah
ini mempunyai kurikulum ini tidak akan mengasingkan anak dari kehidupan agraris
di desanya.
Tapi hal ini diprotes oleh kebanyakan
orang, mereka berpendapat bahwa pemerintah juga harus memberikan bantuan untuk
kelangsungan sekolah desa dan tidak mengandalkan swadaya desa. Dalam perkembanganya,
Sekolah Desa ini mendapat banyak bantuan dari para bupati dan bangsawan.
Meskipun demikian, sekolah ini tidak
berhasil mencapai tujuannya. Hal ini disebabkan karena :
1. Biaya
finansial yang menurut pemerintah tidak dapat ditanggungnya
2. Asumsi
bahwa pribumi lebih bahagia tanpa pendidikan formal
3. Mereka
yang menikmati pendidikan formal menganggap dirinya tidak layak bekerja
disawah.
Dalam Sekolah Desa diajarkan
pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Tetapi dimungkinkan perluasan bahan
pelajaran seperti pekerjaan tangan, bahasa daerah (sesuai dengan daerah), ilmu
pertanian dan lain-lain. Permintaan melanjutkan sekolah dari sekolah desa ke
Sekolah Kelas Dua meningkat, maka pemerintah membentuk sekolah sambungan yaitu
Vervolgschool (Sekolah Sambungan) yang terdiri dari kelas 4 dan kelas 5. Karena
kesulitan dana tahun 1922-1923, pemerintah akhirnya menyatukan kedua sekolah
tersebut. Volkschool (Sekolah Desa) dijadikan substruktur dari Vervolgschool
(Sekolah sambungan) dan menjadi bagian dari Sekolah Kelas Dua. Sama halnya dengan Tweede Inlandsche School, lulusan Volk School harus menyelesaikan Schakel School untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Cecep Lukmanul Hakim
Artikel ini
dirangkum dari buku Sejarah Pendidikan Indonesia karya Prof. Dr. S. Nasution, M.A
No comments:
Post a Comment