Halaman

Tuesday, June 11, 2019

Sekolah Pada Masa Penjajahan Belanda

Gambaran Umum Pendidikan Masa Penjajahan Belanda
Pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada awalnya ditujukan untuk melenyapkan agama Katolik di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan sekolah-sekolah pertama yang didirikan oleh pemerintah kolonial berada di daerah Indonesia bagian timur serta peran penting dari pihak gereja sebagai pengatur kurikulum di sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial. Selain itu, pengenalan bahasa Belanda di daerah jajahan juga dijadikan sebagai alasan oleh pemerintah kolonial sebagai upaya untuk memperkuat hegemoni di daerah jajahan.
Sekolah pertama yang didirikan oleh pihak kolonial Belanda, tepatnya oleh VOC sebagai perwakilan dari pemerintah pusat di Negara Belanda, didirikan di Ambon sebagai upaya untuk menghentikan penyebaran agama Katolik oleh pihak Portugis serta hegemoninya di wilayah Ambon serta Indonesia bagian Timur. Namun, tidak sepenuhnya tujuan pihak kolonial Belanda daat tercapai. Hal itu disebabkan oleh kurang mampunya pihak pemerintah kolonial Belanda dalam menyebarkan bahasa Belanda kepada penduduk pribumi yang sudah lebih dahulu menggunakan bahasa Melayu, Arab, dan Portugis sebagai bahasa sehari-hari mereka.
Selain sebagai upaya untuk menyebarkan agama Kristen di daerah jajahan, pendirian sekolah-sekolah serta pola pendidikan yang diterapkan oleh pihak kolonial Belanda, hal itu juga ditujukan untuk mencetak pegawai-pegawai administrasi VOC yang dibutuhkan serta gajinya murah.
Setelah VOC dibubarkan oleh pihak pemerintah pusat Negara Belanda, sistem pendidikan yang tadinya ditujukan untuk mencetak pegawai-pegawai administrasi serta penyebaran Agama Kristen secara perlahan fungsinya mulai bertambah bersamaan dengan adanya penerapan politik etis. Pola pendidikan yang tadinya hanya untuk mencetak para pegawai serta penyebaran Agama Kristen akhirnya dirubah dan disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan oleh sistem pendidikan di Negara Belanda. Dengan demikian, sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia pada saat itu langsung di pantau oleh pemerintah pusat di Negara Belanda.
Gambar : Wikipedia
Agar pola pendidikan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan pola pendidikan yang berlaku di Negara Belanda, guru-guru yang di tugaskan untuk mengajar diwajibkan mempunyai lisensi khusus dan pada awalnya harus berasal dari Negara Belanda. Selain itu, pada awalnya murid-murid yang diperbolehkan sekolah di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda harus berasal dari golongan bangsawan atau keturunan Belanda serta Cina.
Secara umum, ciri utama dari sistem pendidikan di Indonesia pada masa kolonial Belanda ada enam ciri, yaitu gradualisme, dualisme, kontrol terpusat yang ketat, untuk mencetak pegawai-pegawai yang murah, berprinsip korkondasi, serta tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis mengenai anak-anak Indonesia.
Dalam artikel ini akan dibahas beberapa sekolah pada masa penjajahan Belanda. Karena pembahasannya terlalu panjang, maka akan dibagi kedalam beberapa artikel.
       
Sekolah Kelas Satu
Krisis gula pada tahun 1885 menyebabkan keadaan ekonomi memburuk, hal ini berimbas kepada penggunaan dana terhadap semua pengeluaran tak terkecuali dalam sektor pendidikan. Maka sekolah rendah (sekolah pribumi) dan sekolah guru dihentikan perluasannya oleh pemerintah. W. P. Groenevelt dengan persetujuan dari raja membuat kebijakan tentang perubahan sekolah rendah (sekolah pribumi) menjadi Sekolah Kelas Satu dan Sekolah Kelas Dua. Sekolah Kelas Satu mulai diberlakukan pada tahun 1892 dan dibuka pada tahun 1894. 
Sekolah Kelas Satu diperuntukan bagi anak-anak bangsawan dan kaum priyayi dan Sekolah Kelas Dua diperuntukan bagi rakyat biasa. Sekolah Kelas Satu bisa ditempuh dengan 5 tahun dan Sekolah Kelas Dua ditempuh dalam 3 tahun. Mata pelajaran yang diajarkan diantaranya membaca dan menulis dalam bahasa daerah dalam huruf daerah dan latin, membaca dan menulis dalam bahasa melayu berhitung, ilmu bumi Indonesia dan mengukur tanah. Ternyata Sekolah Kelas Satu ini tidak populer dikalangan priyayi, hal ini dikarenakan sekolah ini tidak memberikan pelajaran bahasa Belanda dan tidak memperoleh pendidikan lanjutan. Bahasa Belanda sangat penting pada masa itu, karena bahasa Belanda merupakan salah satu syarat untuk menjadi pegawai pemerintah. Maka, alternatifnya adalah masuk ke E.L.S (Europese Lagere School) untuk mendapatkan pendidikan bahasa Belanda dan agar bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Dengan keadaan seperti itu maka banyak permohonan dari golongan priyayi untuk memasukan anaknya ke E.L.S. Peraturan masuk E.L.S mulai diperlunak sehingga banyak anak Indonesia masuk ke E.L.S. Tetapi keadaan ini banyak diprotes oleh orang Belanda dan merasa keberatan dengan banyaknya anak Indonesia yang masuk. Maka, pada tahun 1907 pemerintah mulai memasukan bahasa Belanda kedalam kurikulium Sekolah Kelas Satu dengan masa belajar diperpanjang menjadi 6 tahun. Tetapi keadaan ini tidak merubah apapun, karena Sekolah Kelas Satu tetap kalah dengan E.L.S dan H.C.S (Hollands Chinese School). Maka pada tahun 1909 lama studi diperpanjang menjadi 7 tahun dan pada tahun 1912 pelajaran bahasa Belanda diajarkan mulai dari kelas 1. Tetapi ini masih menjadi persoalan karena sekolah ini tidak membuka kesempatan untuk melanjutkan studi.

Sekolah Kelas Dua (Tweede Inlandsche School)
Sekolah Kelas Dua bisa ditempuh selama tiga tahun dan diperuntukan kepada rakyat biasa. Tetapi dalam perkembangannya, sekolah ini dihentikan oleh pemerintah karena dianggap membahayakan kestabilan Hindia Belanda. Seperti halnya Sekolah Kelas Satu, Sekolah Kelas Dua mulai diberlakukan pada tahun 1892 dan dibuka pada tahun 1894. Keberadaan sekolah ini berakibat timbulnya golongan intelektual di desa yang menyebabkan pekerjan kasar berkurang dan beralih ke pekerjaan kantor dan pemerintahan. Apabila ini terjadi maka sumber perekonomian Belanda akan berkurang. Maka dibentuklan sekolah desa untuk mempersiapkan tenaga-tenaga kasar dan Sekolah Kelas Dua untuk mempersiapkan pegawai-pegawai rendahan pemerintah dan swasta. Dengan tujuan tersebut, maka daearah penyebaran Sekolah Kelas Dua ini dipersempit hanya untuk kota-kota besar saja.
Pelajaran yang tersedia di Sekolah Kelas Dua diantaranya pelajaran membaca, menulis dalam bahasa Melayu, berhitung, menggambar,ilmu bumi dan ilmu alam, tetapi bahasa Belanda dilarang diajarkan pada sekolah ini. Sekolah Kelas Dua juga mengalami beberapa perubahan dalam hal waktu studi yang tadinya bisa ditempuh dalam 3 tahun menjadi 5 tahun. Lulusan dari Sekolah Kelas Dua bisa melanjutkan studinya ke Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool). Keberadaan Kweekschool ini bertujuan untuk memepersiapkan guru-guru untuk Sekolah Desa. Sedangkan jika ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi yaitu MULO atau AMS dan perguruan tinggi, terlebih dahulu harus menyelesaikan Schakel School (Sekolah Peralihan). 

Sekolah Desa (Volk School)
Sekolah Desa timbul atas ide Van Heutz yang menginginkan sekolah sederhana dan murah untuk rakyat Indonesia. Sumber dana dari sekolah ini adalah masyarakat, dalam hal ni masyarakat bergotong-royong untuk mendanai sekolah ini. Ada tiga alasan mengapa sekolah ini dibentuk :
1.   Sekolah ini murah dan dapat didirikan berdasarkan gotong-royong, tanpa pembiayaan sedikitpun dari pemerintah.
2.   Sekolah ini menjadi bagian integral dari masyarakat desa yang menandangnya sebagai miliknya.
3.  Sekolah ini mempunyai kurikulum ini tidak akan mengasingkan anak dari kehidupan agraris di desanya.
Tapi hal ini diprotes oleh kebanyakan orang, mereka berpendapat bahwa pemerintah juga harus memberikan bantuan untuk kelangsungan sekolah desa dan tidak mengandalkan swadaya desa. Dalam perkembanganya, Sekolah Desa ini mendapat banyak bantuan dari para bupati dan bangsawan.
Meskipun demikian, sekolah ini tidak berhasil mencapai tujuannya. Hal ini disebabkan karena :
1.    Biaya finansial yang menurut pemerintah tidak dapat ditanggungnya
2.    Asumsi bahwa pribumi lebih bahagia tanpa pendidikan formal
3.    Mereka yang menikmati pendidikan formal menganggap dirinya tidak layak bekerja disawah.
Dalam Sekolah Desa diajarkan pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Tetapi dimungkinkan perluasan bahan pelajaran seperti pekerjaan tangan, bahasa daerah (sesuai dengan daerah), ilmu pertanian dan lain-lain. Permintaan melanjutkan sekolah dari sekolah desa ke Sekolah Kelas Dua meningkat, maka pemerintah membentuk sekolah sambungan yaitu Vervolgschool (Sekolah Sambungan) yang terdiri dari kelas 4 dan kelas 5. Karena kesulitan dana tahun 1922-1923, pemerintah akhirnya menyatukan kedua sekolah tersebut. Volkschool (Sekolah Desa) dijadikan substruktur dari Vervolgschool (Sekolah sambungan) dan menjadi bagian dari Sekolah Kelas Dua. Sama halnya dengan Tweede Inlandsche School, lulusan Volk School harus menyelesaikan Schakel School untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.


Cecep Lukmanul Hakim

Artikel ini dirangkum dari buku Sejarah Pendidikan Indonesia karya Prof. Dr. S. Nasution, M.A 

No comments:

Post a Comment