Sebuah Catatan bagi Fahmi Basya
Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Dalam deskripsi Fahmi Basya tentang singgasana ratu Saba yang diasumsikan sebagai Candi Borobudur yang terletak di kota Magelang Jawa Tengah disebutkan ada beberapa keterangan yang menunjukan bahwa Candi Borobudur adalah singgasana ratu Saba yang hidup pada zaman nabi Sulaiman. Pendapat Fahmi Basya didasarkan pada ayat al Quran yang menunjukan tempat yang bernama Saba berikut keterangannya. Dari keterangan tersebut Fahmi Basya menghubungkan antara Saba dengan Wonosobo, Istana Ratu Boko, Borobudur dan Majapahit. Fahmi menarik fakta yang menurutnya berhubungan sehingga membuat deskripsi tentang singgasana ratu Saba itu adalah candi Borobudur.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus pahami terlebih dahulu bagaimana sebuah sejarah di tulis. Suatu peristiwa yang ditulis menjadi sejarah harus didasarkan pada bukti-bukti yang valid dan kuat. Untuk menghasilkan sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah kita harus menjalani tahapan-tahapan (metodologi) dalam penelitian sejarah mulai dari heuristik (pencarian sumber), kritik sumber, baru historiografi (penyajian kedalam tulisan). Setelah melewati tahapan-tahapan tersebut sebuah narasi baru bisa dikatakan sejarah, sebaliknya apabila tidak melewati metodologi tersebut tidak bisa dikatakan sebagai sejarah hanya bisa dianggap asumsi belaka.
Dalam deskripsi Fahmi Basya tentang singgasana Saba terdapat banyak sekali kekeliruan yang menyebabkan deskripsi tersebut tidak layak untuk disebut sejarah. Menurutnya di Saba ada istana yang hilang yang diasumsikan sebagai Istana Ratu Boko. Jika dilihat dari sejarah, Istana Ratu Boko adalah peninggalan kerajaan Mataram Kuno (Jawa Tengah) yang bercorak Hindu meskipun ada beberapa rajanya yang beragama Budha. Istana Ratu Boko adalah keraton Kerajaan Mataram Kuno yang dibuat oleh dinasti Saylendra pada abad ke 9 Masehi yang berfungsi sebagai pertahanan dan tempat tinggal raja. Hal ini didasarkan pada bukti yang kuat yaitu prasasti (batu tulis) Ratu Boko. Hal ini juga diperkuat oleh demografi (tata letak) keraton Ratu Boko didasarkan pada kosmis ajaran Hindu yaitu terletak didataran tinggi. Alasannya, raja/keluarga raja harus tinggal di tempat yang tinggi sesuai dengan status sosialnya sebagai pemimpin. Bukan hanya dalam hal tempat tinggal tetapi juga dalam hal pemakamannya, sehingga raja-raja Jawa suka dimakamkan di dataran tinggi sebagai contoh dataran tinggi Imogiri yang menjadi kompleks pemakaman raja Mataram Islam. Hal ini dapat dimengerti karena mistik Hindu sampai sekarang masih kental dalam kehidupan masyarakat Jawa sehingga ada istilah Islam kejawen yang masih melakukan praktek-praktek agama Hindu seperti bakar kemenyan dll.
Didalam kompleks keraton ini terdapat prasasti (batu bertulis) yang dikenal sebagai prasasti Ratu Boko yang dibuat pada pertengahan abad ke 9 yang memuat tentang peperangan antara raja Mataram Kuno yaitu Balaputra Dewa dari keluarga Saylendra dengan Jatiningrat (Rakai Pikatan) dari keluarga Sanjaya. Dilihat dari segi nama raja, yaitu Balaputra Dewa, nama raja ini sudah mirip dengan nama orang India, berbeda dengan nama asli orang Jawa atau orang Indonesia sebagai contoh nama raja dari kerajaan Kutai yang pertama yaitu Kudungga. Nama Kudungga diasumsikan adalah jenis nama asli orang Indonesia berbeda dengan nama-nama raja selanjutnya seperti Purnawarman, Mulawarman dll. Hal ini dikarenakan pengaruh budaya India yang kuat termasuk masuknya agama Hindu dan Budha yang masuk ke Indonesia yang berasal dari India bukan nama yang berasal dari bahasa Arab sebagaimana bahasa al Quran. Namun ketika Islam masuk ke Indonesia dan membentuk suatu kerajaan baru nama-nama raja berasal dari bahasa Arab seperti nama raja Demak yaitu Raden Patah, raja Cirebon yaitu Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), raja Banten Sultan Maulana Yusuf, raja Gowa Tallo Hasanudin dll.
Selain dilihat dari segi nama raja, dalam kompleks Ratu Boko terdapat arca-arca (patung) yang bercorak Hindu dan Budha. Karena kerajaan ini diperintah oleh dua dinasti yaitu Saylendra (Budha) dan Sanjaya (Hindu). Arca-arca tersebut sama dengan arca yang ditemukan didalam candi-candi Hindu Budha lainnya bahkan sama dengan arca-arca yang ditemukan di India sebagai asal dari kedua agama tersebut seperti arca dewa Siwa, Brahma, Wisnu dan patung Sidharta Gautama atau sang Budha. Selain itu letak Ratu Boko yang diatas pegunungan sehingga dapat melihat keberbagai wilayah yang terdapat candi-candi seperti candi Kalasan, candi Ceto, candi Prambanan dan Borobudur. Sehingga diasumsikan bahwa pada waktu itu toleransi beragama sangat kuat antara agama Hindu dan Budha.
Borobudur
Kata candi berasal dari kata candika yaitu nama lain dari istri dewa Siwa (Hindu) yaitu Dewi Durga Mahesasuramardini yang dilambangkan sebagai dewi kematian. Jadi fungsi candi di Indonesia khususnya candi Hindu selain untuk beribadah tetapi juga sebagai pemakaman raja atau tempat menyimpan abu jenazah raja. Berbeda dengan fungsi candi di India yang hanya untuk beribadah saja sehingga penamaannya juga bukan candi tapi kuil.
Berbeda dalam candi Budha yang kemungkinan hanya untuk beribadah saja karena tidak ada tempat didalamnya untuk menyimpan abu jenazah. Dalam candi Hindu abu jenazah disimpan di dalam badan candi (bagian bawah candi) di dalam yoni yang ditutup oleh lingga yang diatas lingga terdapat patung dewa. Yoni adalah sebuah batu berbentuk persegi yang memiliki lubang ditengah dan lingga adalah batu panjang bulat yang nantinya dimasukan kedalam lubang yoni. Yoni adalah perlambangan perempuan dan lingga adalah perlambangan laki-laki keduanya adalah perlambangan kesuburan dalam agama Hindu.
Borobudur dibangun antara tahun 780 M dan 825 M oleh dua raja Saylendra yaitu Wisnu dan Samaratungga. Makna dari nama Borobudur diturunkan dari nama Bhumisambharabhaudara yang berarti ‘Gunung kumpulan kebajikan pada tahap’. Maksudnya gunung kebajikan pada 10 tahap untuk menjadi Bodhisatva. Penyebutan gunung pada Borobudur sesuai dengan letaknya yang berada diatas bukit.
Borobudur memiliki tinggi 34,5 m. Bentuk bagian dasarnya adalah bujursangkar dengan sisi berpanjang 123 m. Borobudur ini memiliki keunikan-keunikan tertentu. Selain melambangkan agama Budha, Borobudur juga mengakomodasi ritual-ritual agama nenek moyang dengan bentuknya yang berteras-teras mirip dengan punden berundak yang digunakan untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang ( kepercayaan animisme dan dinamisme).
Jika dilihat dari atas, Borobudur akan terlihat seperti persegi yang memiliki tiga tingkatan. Tiga tingkatan dalam borobudur memiliki arti :
a. Tingkat paling bawah (kamadhatu), menunjukan dimana manusia didominasi oleh hasrat nafsunya. Ini didasarkan pada relif yang terdapat di dinding tingkat paling bawah.
b. Tingkat tengah (rupadhatu), menunjukan dimana manusia dapat mengalahkan hasrat nafsunya namun masih tergantung kepada bentuk fisiknya. Ini sesuai dengan relif yang terdapat di dinding tingkat tengah.
c. Tingkat atas (arupadhatu), menunjukan dimana manusia bebas dari semua ikatan fisik dan emosi. Hal ini sesuai dengan tiga teras yang melingkar dan stupa tengah yang terbesar.
Patung-patung di Borobudur tidak mungkin patung nabi Sulaiman alaihisalam karena wujud patung tersebut adalah patung Budha yang sama dengan patung-patung Sidharta Gautama (Budha) yang lainnya di seluruh dunia. Namun nilai penting dari patung Budha yang belum terselesaikan di stupa tengah tetap menjadi sebauh misteri. Selain itu ajaran-ajaran yang terdapat dalam relif Borobudur adalah ajaran Budha.
Tambahan
Fahmi Basya juga mengasumsikan bahwa buah pahit yang terdapat dalam al Quran adalah buah Maja yang diidentikan dengan kerajaan Majapahit. Yang selanjutnya dijadikan buah bibir atau pembicaraan (buah mulut). Dalam hal ini Fahmi Basya menyiratkan bahwa keberadaan Majapahit hanya diketahui dari buah bibir saja (cerita rakyat). Menurut hemat saya, buah mulut berarti cerita atau legenda yang diturunkan secara turun temurun yang faktanya tidak ada seperti cerita Sangkuriang dan Malin Kundang. Namun kerajaan Majapahit memiliki bukti yang sangat kuat bukan hanya cerita legenda dengan ditemukannya prasasti-prasasti keraton dan candi-candi. Jadi pendapat Fahmi Basya tentang Majapahit sebuah legenda adalah salah karena terdapat bukti-bukti yang kuat.
Kemudian tentang banjir besar yang diturunkan Allah dihubungkan dengan gletser (es) yang mencair di kutub utara dan kutub selatan sehingga menenggelamkan sebagian negri saba kurang tepat. Secara kronologis (urutan waktu) mencairnya gletser (es) terjadi beberapa ribu tahun sebelum masehi sedangkan candi Borobudur dan istana Ratu Boko dibuat pada abad ke 8 masehi dan 9 masehi. Jadi antara banjir dalam al Quran tidak ada hubunganya dengan dibangunnya Borobudur.
Sejarah itu memang multi tafsir...
ReplyDeleteNamun penulisan sejarah harus menggunakan metodologi yang ketat...
Kelalaian dalam metodologi tersebut menjadikan banyak sejarah yang ditulis dengan keliru....
Tugas sejarawan untuk menjelaskannya
penafsiran fahmi basya terhadap ayat2 al quran menjelaskan semuanya,,,
ReplyDelete"tidak sama dengan penjelasan mufasir,,,bahasa arabnya pun berantakan"
"kebetulan,bukan berarti betul"
Karena manusia hanya dberi pengetahuan yg sdikit
ReplyDeleteSuatu saat pasti sejarah mncatatkan, bhwa candi borobudur adalah peninggalan sulaiman
Saya percaya al quran, krn itu berasal dr allah
Sedang sejarah, mrupakan hasil dr pmikiran manusia