Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Apabila
ditinjau dari segi sejarah, perkembangan filsafat Barat dapat dikelompokan
dalam empat periode. Pembagian periodisasi ini didasarkan kepada corak
pemikiran para filusuf sebagai jiwa dari pemikiran yang sedang berkembang pada
periode tersebut. Perbedaan corak atau jiwa masing-masing periode didasarkan
atas perbedaan dasar dari pemikiran para filosof setiap jaman. Sehingga setiap
periode menghasilkan output filsafat yang berbeda-beda. Pengelompokan filsafat
kedalam beberapa periode ditarik dari zeitgeist
(jiwa jaman) kesamaan karakteristik objek dan dasar dari pemikiran filosof.
Dengan tujuan untuk mempermudah identifikasi terhadap pemikiran-pemikiran yang
dihasilkan beserta hubungannya dengan berbagai aspek.
Salah
satu periode filsafat barat adalah filsafat abad pertengahan atau dikenal juga
dengan filsafat Scholastik. Istilah Scholastik berakar dari kata school yaitu sekolah, jadi dapat kita
gambarkan bahwa filsafat ini mulai tumbuh dan berkembang di sekolah atau
universitas. Hal ini merujuk pada sekolah yang diadakan oleh Kaisar Romawi
yaitu Karel Agung (742-814) yang mengajarkan apa yang diistilahkan
sebagai artes liberales (seni bebas) meliputi pelajaran gramatika,
geometri, aritmatika, astronomia, musika dan dialektika (logika) dan meliputi seluruh
filsafat.[1]
Munculnya filsafat ini tidak terlepas dari latarbelakang kondisi sosial
masyarakat dimana filsafat itu tumbuh. Filsafat ini merupakan tonggak estafet
dari kemajuan filsafat Yunani yang “direbut” oleh peradaban Romawi dan
disebarkan ke seluruh kekuasaan Romawi.
Baca juga : Filsafat Eksistensialisme
Hal
yang menarik dari pembahasan filsafat ini sekaligus juga yang membedakan
karakteristiknya dengan periode Yunani terletak pada dasar pemikiran yang
ditanam oleh emporium Romawi. Perkembangan filsafat ini berbarengan dengan
perkembangan agama Nasrani di daratan Eropa Barat, karena sebelumnya agama
nasrani berkembang di Romawi Timur (Byzantium). Agama nasrani yang telah
dijadikan agama kerajaan oleh Romawi otomatis akan memberikan dampak terhadap
seluruh segi kehidupan masyarakat termasuk dalam hal pendidikan dan pemikiran. Menyebarnya
agama kristen pada permulaan abad masehi membawa perubahan besar terhadap
kepercayaan agama. Zaman pertengahan adalah zaman keemasan bagi kekristenan.[2]
Keadaan
tersebut mengakibatkan agama nasrani menjadi dasar dari pemikiran masyarakat
pada masa itu, tidak terkecuali dalam hal pendidikan. Kurikulum sekolah dan
universitas didasarkan pada dogma-dogma nasrani sebagai landasan berfikir. Hal
ini berbeda dengan pandangan Yunani Kuno mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai
oleh kemampuan akal.[3]
Sehingga
kebebasan berfikir tunduk pada regulasi yang dikeluarkan oleh gereja. Sisi
religiusitas lebih ditonjolkan dalam filsafat Scholastik yang menjadi
karakteristik dari filsafat ini, berbeda dengan karakteristik filsafat Yunani
yang membebaskan akal tanpa harus tunduk terhadap apapun. Sehingga jaman dimana
filsafat Scholastik ini berkembang selalu disebut abad kegelapan (The Dark Age) dalam artian pemikiran dan
ilmu pengetahuan tunduk pada regulasi gereja, sehingga mengakibatkan
tersendatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Augustinus, segala
kebenaran bersumber dari Kitab Suci. Oleh karena itu, akal manusia harus
ditaklukkan kepada Kitab Suci.[4]
Ciri khas
filsafat Abad Pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh
Saint Anselmus, yaitu credo ut intelligam.[5]
Credo ut intelligam kurang lebih memliki arti iman lebih dulu, setelah itu
mengerti. Di dalam ungkapan itu tersimpan pula pengertian bahwa seseorang tidak
boleh mengerti atau paham lebih dulu, dan karena memahaminya lantas ia pantas
mengimaninya. Ini iman secara rasional. Dalam ungkapan ini orang beriman bukan
karena ia mengerti bahwa itu harus diimani, melainkan orang mengerti karena ia
mengimaninya. Sifat ini berlawanan dengan sifat filsafat rasional. Dalam
filsafat rasional, pengertian itulah yang didahulukan; setelah dimengerti,
barulah mungkin diterima dan, kalau mau, diimani. Namun hal ini tidak berarti
seolah-olah dengan pembuktian akal, iman menjadi bertambah. Kepastian iman
tetap sama, tanpa ataupun dengan pembuktian akal.[6]
Karakteristik
dari filsafat Scholastik antara lain[7]
:
a. Filsafat
Scholastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama. Karena Scholastik
ini sebagai bagian dan kebudayaan abad pertengahan yang religius.
b. Filsafat
Scholastik adalah filsafat yang mengabdi kepada teologi, atau filsafat yang
rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada,
kejasmanian, kerohanian, baik buruk. Dari rumusan tersebut kemudian muncul
istilah: Scholastik Yahudi, Scholastik Arab dan lain-lainnya.
c. Filsafat
Scholastik adalah suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam
kodrat, akan dimasukkan ke dalam bentuk sintesa yang lebih tinggi antara
kepercayaan dan akal.
d. Filsafat
Scholastik adalah filsafat Nasrani, karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja.
Filsafat
ini tumbuh dan berkembang di sekolah-sekolah dan universitas dengan para
cendekiawan sebagai stekholder nya.
Mereka melakukan kajian-kajian terhadap ilmu pengetahuan yang telah diutarakan
diatas seperti gramatika, geometri, aritmatika, astronomia, musika
dan dialektika (logika) dan tentu saja filsafat. Namun tidak seperti periode
sebelumnya, dimana para filosof menempatkan akal berada diatas segala hal, pada
periode ini kebebasan akal terbatas oleh dogma agama nasrani.
Dari
karakteristik filsafat Scholatsik diatas, dapat kita gambarkan apa yang menjadi
inti dari ajaran filsafat tersebut. Pengetahuan-pengetahuan
tentang alam, astronomi, fisika dan lainnya hanya bertujuan sebagai pembuktian
bagi kebenaran dogma nasrani. Pada intinya, pengetahuan yang didapatkan di
sekolah dan universitas harus mendukung pendapat gereja atau ajaran nasrani.
Apabila ada ketidaksesuaian antara ilmu pengetahuan dengan ajaran nasrani, maka
ajaran nasrani lah yang dianggap benar, dan pengetahuan tersebut dianggap
salah.
Salah
satu tokoh besar dari filsafat ini adalah Thomas Aqunias. Dalam segi teologi,
dia mencoba untuk merasionalkan keberadaan Tuhan. Menurutnya, keberadaan Tuhan
dapat diketahui dan difahami oleh akal manusia tidak hanya dengan iman saja. Keberadaan
tuhan dapat dilihat dari apa yang terjadi dialam semesta. Dia menggunakan ilmu
pengetahuan dan mencoba menghubungkan fenomena alam dengan kekuasaan Tuhan
sebagai bukti eksistensiNya.
Sebagai
contoh, dia mengeluarkan argumen tentang pergerakan alam. Menurutnya, isi
seluruh alam semesta ini bergerak, dan sesuatu yang bergerak pasti ada yang
menjadi penggeraknya. Akan tetapi, timbul persoalan, bila sesuatu bergerak
hanya karena ada penggerak yang menggerakkannya, tentu penggerak itu pun
memerlukan pula penggerak di luar dirinya. Bila demikian, terjadilah penggerak
berangkai yang tidak terbatas. Konsekuensinya ialah tidak ada penggerak.
Menjawab persoalan ini, Aquinas mengatakan bahwa justru karena itulah maka
sepantasnya kita sampai pada Penggerak Pertama, yaitu Penggerak Yang Tidak
Digerakkan oleh yang lain. Itulah Tuhan.[8]
Dalam hal etika, Aquinas mengemukakan argumen Kebaikan
Tertinggi. Kebaikan Tertinggi itu menurut pendapatnya tidak mungkin dapat
dicapai dalam kehidupan sekarang. Hal itu harus ditunggu dalam kehidupan kelak,
dimana diperoleh pandangan yang sempurna tentang Tuhan. Pandangan etika Aquinas
menekankan superioritas kebaikan keagamaan. Ia toleran terhadap orang-orang
yang tidak beriman dan bekerja sama dengan mereka, tetapi ia juga terang-terangan
menuduh mereka kafir. Orang-orang kafir itu akan mengalami lepas hubungan
dengan Tuhan. Bila mereka terus saja demikian, mereka akan mati dalam hukuman.
Tentang kematian yang demikian Gereja tidak akan memberikan hukuman, tetapi
dunia akan memberikan hukuman.[9]
Dalam
segi politik, Aquinas menekankan moralitas dalam sebagai idea dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Dia mengajukan empat hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan, yaitu hukum abadi, hukum alam, hukum Tuhan, dan hukum manusia.
Hukum abadi merujuk kepada kepastian dalam penciptaan dan pengaturan alam
semesta. Esensi hukum ini tidak dapat dipahami oleh manusia; bekasnya dapat
dilihat pada hukum alam. Hukum alamlah yang menyebabkan semua makhluk mendapat
kesempurnaannya mencari kebaikan dan menghindari kejahatan. Hukum alam
menyediakan kehidupan bagi manusia dengan segala haknya seperti hak untuk
berketurunan dan hak untuk hidup di dalam masyarakat. Hukum Tuhan adalah hukum
Kristen yang mempunyai kedudukan yang istimewa. Hukum ini dikenal melalui wahyu
Tuhan yang diberikan karena kemurahan-Nya. Sedangkan hukum manusia merupakan
hukum yang dibuat oleh manusia sebagai pelengkap dari hukum-hukum lainnya.[10]
Dari uraian mengenai buah pemikiran Aquinas diatas, yang dianggap dapat mewakili pemikiran tokoh-tokoh lainnya pada abad pertengahan kita bisa menarik kesimpulan bahwa betapa kuatnya dominasi gereja atas pola pikir masyarakat pada masa itu. Dogma-dogma gereja dianggap ajaran luhur yang tidak bisa diganggu kebenarannya walaupun dengan argumen ilmiah. Justru ilmu pengetahuan digiring oleh gereja supaya menjadi alat pembenaran dogma nasrani. Sebenarnya, pendapat credo ut intelligam itu tidak akan menghambat perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, seandainya dogma atau wahyu yang dijadikan dasar ialah dogma yang selaras dengan rasionalitas. Contoh seperti ini ditemukan dalam Islam. Filsafat Islam berkembang amat pesat karena keyakinan dan ajaran Islam tidak ada yang berlawanan dengan rasionalitas, yang ada ialah bagian-bagian yang disebut normativitas dan universalitas Islam yang tidak dapat dicapai oleh akal. Jadi, dominasi agama pada filsafat sebenarnya tidak harus mengakibatkan filsafat tidak berkembang.
Dari uraian mengenai buah pemikiran Aquinas diatas, yang dianggap dapat mewakili pemikiran tokoh-tokoh lainnya pada abad pertengahan kita bisa menarik kesimpulan bahwa betapa kuatnya dominasi gereja atas pola pikir masyarakat pada masa itu. Dogma-dogma gereja dianggap ajaran luhur yang tidak bisa diganggu kebenarannya walaupun dengan argumen ilmiah. Justru ilmu pengetahuan digiring oleh gereja supaya menjadi alat pembenaran dogma nasrani. Sebenarnya, pendapat credo ut intelligam itu tidak akan menghambat perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, seandainya dogma atau wahyu yang dijadikan dasar ialah dogma yang selaras dengan rasionalitas. Contoh seperti ini ditemukan dalam Islam. Filsafat Islam berkembang amat pesat karena keyakinan dan ajaran Islam tidak ada yang berlawanan dengan rasionalitas, yang ada ialah bagian-bagian yang disebut normativitas dan universalitas Islam yang tidak dapat dicapai oleh akal. Jadi, dominasi agama pada filsafat sebenarnya tidak harus mengakibatkan filsafat tidak berkembang.
[1] M Syafieh dan Ismail Fahmi
Arrauf, MA. Filsafat umum. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis
[2] Rizal Mustansyir, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009) cet. kesembilan hlm. 66
[3] Ibid hlm. 67
[4] Dr. Harun Hadiwijoyo, Sari
Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Cet. XII, hlm. 82.
[5] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999), Cet . VII, hlm. 114
[6] Dr. Harun Hadiwijoyo, op.
cit., hlm. 94.
[7] Drs. Asmoro Ahmadi, Filsafat
Umum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. IV, hlm. 70.
[8] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, op cit,
hlm 100
[9] Bertrand Russell, Sejarah
Filsafat Barat, Terj. Sigit Jatmiko, dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), Cet. I, hlm. 606
[10] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, op cit,
hlm 109-110
postingannya selalu menambah pengetahuan
ReplyDeletesindonews international