Halaman

Saturday, July 23, 2011

NeoFeodalisme dalam Partai Politik Indonesia

Oleh Cecep Lukmanul Hakim


Demokrasi dengan segala perangkatnya adalah sebuah sistem yang mengatur ketatanegaraan, tata kehidupan masyarakat, dan hak-hak masyarakat dalam bernegara. Secara etimologis kata demokrasi diambil dari dua suku kata dalam bahasa Yunani, yaitu demos yang artinya rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan dan bisa disimpulkan menjadi kekuasaan yang berada ditangan rakyat.
Dalam istilah kita demokrasi sebagai sebuah sistem tata negara sering diistilahkan menjadi kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan melihat kepada kalimat itu, demokrasi berarti juga sebagai kedaulatan rakyat dimana rakyat menjadi penggerak dalam demokrasi melalui sebuah perwakilan. Mekanisme demokrasi mengakomodir seluruh kemauan (baca aspirasi) rakyat sebagai objek sekaligus subjek dalam demokrasi melalui sistem perwakilan. Identitas demokrasi  tercantum dalam Pancasila dengan sila yang berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Rakyat sebagai subjek dari demokrasi bisa berperan aktif maupun pasif dalam demokrasi melalui cara-cara tertentu. Salah satu cara untuk menyalurkan aspirasi adalah dengan masuk ke gelanggang politik. Kududukan partai politik sangat penting karena berfungsi sebagai alat untuk menyuarakan suara rakyat atau minimal suara kostituennya. Klaim terhadap sistem yang modern dengan dalih pengorganisasian yang struktural dapat mengakomodir kemauan rakyat lewat partai politik.
Namun pada kenyataannya, partai politik sebagai sebuah kendaraan demokrasi yang utama malah terindikasi memiliki budaya yang kolot. Feodalisme dalam sebuah partai menjadi sangat lumrah apabila kita lihat dewasa ini. Jargon-jargon sebagai sistem modern yang disuarakan partai politik malah terbantahkan oleh situasi intern partainya sendiri. Feodalisme disadari atau tidak telah mengakar dalam sistem perpolitikan di Indonesia.
Organisasi yang begitu rapih dalam segi hierarkis tidak menjadikan organisasi itu modern dalam segi mental dan budaya. Seorang patron masih sangat dibutuhkan bahkan dipuja-puja sebagai icon maupun tokoh penyelamat atau pahlawan. Kedudukan patron menjadi sangat penting karena budaya feodalisme yang mengakar dalam masyarakat. Fakta yang dimaksud terkait erat dengan terpilihnya kembali Megawati Soekarnoputri untuk ketiga kalinya sebagai Ketua Umum PDI-P. Fakta lainnya, ketika akan berlangsung Kongres Partai Demokrat muncul “perebutan restu Yudhoyono” di kalangan kandidat Ketua Umum Partai Demokrat. Kubu Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng dan Marzuki Ali berebut “tuah” SBY sebagai legitimasi penerus SBY, hal ini mengindikasikan kuatnya sosok SBY dalam Demokrat. Pertarungan faksi-faksi dalam Demokrat sewaktu kongres selalu bermuara pada SBY. SBY menjadi sosok seorang bapak yang mampu meredam anak-anaknynya ketika bertarung memperbutkan posisi strategis.   
Bukan hanya Partai Demokrat dan PDI saja, hampir secara keseluruhan partai-partai politik di di Indonesia berbudaya feodalisme. Mungkin, hanya Partai Golkar, PPP, PKS dan PKB yang sementara ini tidak identik dengan tokoh besar pendirinya. Kecenderungan feodalisme di dalam tubuh Golkar, PPP dan PKB kemungkinan dikarenakan figur partainya sudah tidak ada seperti mantan Presiden Suharto di Golkar dan Gus Dur di PKB. Namun, sindrom yang sama diidap oleh, PAN, Gerinda maupun Hanura. Keberadaannya tak bisa dilepaskan dari sosok Amien Rais, Prabowo Subianto maupun Wiranto. Kuatnya pengaruh tokoh-tokoh besar ini hanya mengukuhkan berjalannya pola relasi patron-klien dalam kepemimpinan partai.
Feodalisme dalam partai sangat terlihat sekali dalam kisruh Partai Demokrat oleh kasus Nazaruddin. Kegoncangan Demokrat oleh kasus korupsi Wisma Atlet di Palembang memaksa SBY sebagai Ketua Dewan Pembina turun tangan. SBY berkali-kali meminta anak buahnya itu kembali dari persembunyiannya supaya permasalahannya cepat selesai. Terlihat sekali dalam kasus ini bahwa peran SBY sebagai patron sangat besar dan penting. Kedudukan Anas sebagai Ketua Umum yang memiliki kekuasaan yang besar sebagai penentu kebijakan partai seolah-olah tidak berfungsi karena kuatnya patron. Para elite partai justru curhat kepada SBY dan seolah-olah Anas bukan Ketua Umum.
Selain itu feodalisme dalam partai telah mengarah kepada politik dinasti dengan mempersiapkan generasi berikutnya sebagai pengganti. Contoh kongkrit adalah munculnya Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas yang menjabat sebagai Sekjen Demokrat yang dipersiapkan untuk mengganti ayahnya dan bukan tidak mungkin dalam kongres selanjutnya akan mencalonkan diri sebagai Ketum Demokrat. Di kubu PDIP lebih terlihat, malang melintangnya Puan Maharani dikancah politik disadari atau tidak adalah estafet kekuasaan dari ibunya (Megawati).

No comments:

Post a Comment