Halaman

Thursday, February 15, 2018

N Y A I

Perdaban barat (eropa) sejak dari masa modern selalu dianggap supreme, ras yang paling terdepan dalam budaya dan teknologi. Yunani sampai saat ini masih menjadi rujukan intelektual dalam pergumulan ide dan peradaban manusia. Konsep egaliter, kemerdekaan, kebebasan membuat mereka membusungkan dada terhadap ras lain di belahan dunia.
Sangat ironi, kenyataannya mereka sangat kagum terhadap ras sendiri sebagai pelopor dan pejuang persamaan, kemerdekaan dan kebebasan, namun justru melakukan diskriminasi dan penjajahan di belahan dunia lain.
Pada setiap wilayah jajahan, komposisi masyarakat selalu diposisikan secara vertikal, dari tingkat paling bawah sampai paling atas, bahasa sosiologinya stratifikasi sosial. Sesuai kenyataan, paling bawah adalah mereka yang sangat menderita dan paling atas adalah sebaliknya. Kelas bawah adalah mereka yang menjamin, yang bertugas untuk menjamin kelas yang di atasnya. Kita adalah kelas yang diperah dan mereka adalah yang memerah dan menikmati kekayaan kita.
Perbedaan darah atau genetik menjadi dasar satu-satunya yang menjadi ruh dari stratifikasi sosial, sehingga sangat tidak mungkin antar kelas bisa ikut membaur dengan melupakan akar masing-masing. Kedudukan maupun harta tidak akan cukup membeli satu tempat untuk duduk sejajar dengan kelas di atasnya. Meskipun toh mereka melakukan perkawinan antar kelas.
===============
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa orang Belanda terkenal sangat pelit bahkan terhadap kebutuhan primer mereka sendiri. Terciptanya guling sebagai teman tidur diawali oleh kesepian para pedagang dan serdadu Belanda yang tinggal di Hindia Belanda. Perhitungan ekonomis menjadi faktor istri-istri mereka tidak diboyong ke Hindia Belanda.
Hal itu juga berlaku pada Meneer yang kaya raya, tuan tanah atau pemilik perkebunan. Meskipun mereka berkelebihan dalam harta, namun tidak sedikit dari mereka yang memilih hidup sendiri di ‘perantauan’. Alih-alih memboyong keluarga atau menikah dengan wanita sebangsa, mereka lebih memilih untuk ‘mengawini’ wanita lokal.
N Y A I, adalah sebutan bagi wanita pribumi yang ‘dikawini’ oleh orang Belanda. Bagi kita, hal tersebut merupakan hal yang luar biasa bagus, bahkan sampai sekarang kita akan lebih bangga jika memiliki pasangan bule.
Namun tidak pada masa itu, nyai sebagai hasil dari pernikahan lintas kelas sebagian besar justru ditempatkan sebagai sebuah komoditas ‘konsumsi’. Para pejabat Belanda sebetulnya sangat tidak mengizinkan warganya untuk ‘mengawini’ wanita lokal, karena dapat menimbulkan masalah sosial, sehingga untuk mengendalikan ‘kebiasan’ teresebut pemerintah bahkan mengadakan peraturan khusus.
Kebanyakan nyai hanya ‘dikawini’ di bawah tangan, tidak tercatat di pemerintah. Hal tersebut menempatkan nyai hanya sebagai komoditas saja tanpa kepastian hukum dan status sosial. Secara hukum mereka tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya, seperti pembagian harta warisan, hak asuh anak dan perlindungan hukum dalam rumah tangga. Mereka juga bahkan ada yang ‘merangkap’ sebagi baboe bagi tuannya, yang ketika malam tiba mereka tidur bersama.
Secara sosial, posisi mereka sebenarnya tidak diakui oleh lingkungan suaminya. Mereka tetap dianggap rendah, Inlander go***k, bodoh dan pemalas. Dilingkungan sendiri pun mereka tercerabut kebebasannya karena lebih dominan berkaktifitas dirumah, tak Ada lagi waktu bermain bersama mereka yang ‘sebangsa’. Dan terkadang justru mereka dimanfaatkan oleh suaminya untuk menjadi penghubung dengan warga lingkungannya demi kepentingan ekonomi dan lainnya, atau minimal dari para nyai, orang Belanda belajar berbahasa daerah dan melayu.
Meskipun begitu, ada juga nyai yang benar-benar dihargai secara tulus oleh para Meneer Belanda. Tak hanya ‘dimanfaatkan’ mereka justru dicintai dan disayangi oleh suaminya.        

Cecep Lukmanul Hakim

1 comment: