Perdaban
barat (eropa) sejak dari masa modern
selalu dianggap supreme, ras yang paling terdepan dalam budaya dan teknologi.
Yunani sampai saat ini masih menjadi rujukan intelektual dalam pergumulan ide
dan peradaban manusia. Konsep egaliter, kemerdekaan, kebebasan membuat mereka
membusungkan dada terhadap ras lain di belahan dunia.
Sangat
ironi, kenyataannya mereka sangat kagum terhadap ras sendiri sebagai pelopor
dan pejuang persamaan, kemerdekaan dan kebebasan, namun justru melakukan diskriminasi
dan penjajahan di belahan dunia lain.
Pada
setiap wilayah jajahan, komposisi masyarakat selalu diposisikan secara
vertikal, dari tingkat paling bawah sampai paling atas, bahasa sosiologinya
stratifikasi sosial. Sesuai kenyataan, paling bawah adalah mereka yang sangat
menderita dan paling atas adalah sebaliknya. Kelas bawah adalah mereka yang
menjamin, yang bertugas untuk menjamin kelas yang di atasnya. Kita adalah kelas
yang diperah dan mereka adalah yang memerah dan menikmati kekayaan kita.
===============
Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa orang Belanda terkenal sangat pelit bahkan terhadap
kebutuhan primer mereka sendiri. Terciptanya guling sebagai teman tidur diawali
oleh kesepian para pedagang dan serdadu Belanda yang tinggal di Hindia Belanda.
Perhitungan ekonomis menjadi faktor istri-istri mereka tidak diboyong ke Hindia
Belanda.
Hal
itu juga berlaku pada Meneer yang kaya raya, tuan tanah atau pemilik
perkebunan. Meskipun mereka berkelebihan dalam harta, namun tidak sedikit dari
mereka yang memilih hidup sendiri di ‘perantauan’. Alih-alih memboyong keluarga
atau menikah dengan wanita sebangsa, mereka lebih memilih untuk ‘mengawini’
wanita lokal.
N
Y A I, adalah sebutan bagi wanita pribumi yang ‘dikawini’ oleh orang Belanda.
Bagi kita, hal tersebut merupakan hal yang luar biasa bagus, bahkan sampai
sekarang kita akan lebih bangga jika memiliki pasangan bule.
Namun
tidak pada masa itu, nyai sebagai hasil dari pernikahan lintas kelas sebagian
besar justru ditempatkan sebagai sebuah komoditas ‘konsumsi’. Para pejabat
Belanda sebetulnya sangat tidak mengizinkan warganya untuk ‘mengawini’ wanita
lokal, karena dapat menimbulkan masalah sosial, sehingga untuk mengendalikan
‘kebiasan’ teresebut pemerintah bahkan mengadakan peraturan khusus.
Kebanyakan
nyai hanya ‘dikawini’ di bawah tangan, tidak tercatat di pemerintah. Hal
tersebut menempatkan nyai hanya sebagai komoditas saja tanpa kepastian hukum dan
status sosial. Secara hukum mereka tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya,
seperti pembagian harta warisan, hak asuh anak dan perlindungan hukum dalam
rumah tangga. Mereka juga bahkan ada yang ‘merangkap’ sebagi baboe bagi
tuannya, yang ketika malam tiba mereka tidur bersama.
Secara
sosial, posisi mereka sebenarnya tidak diakui oleh lingkungan suaminya. Mereka
tetap dianggap rendah, Inlander go***k, bodoh dan pemalas. Dilingkungan sendiri
pun mereka tercerabut kebebasannya karena lebih dominan berkaktifitas dirumah,
tak Ada
lagi waktu bermain bersama mereka yang ‘sebangsa’. Dan terkadang justru mereka
dimanfaatkan oleh suaminya untuk menjadi penghubung dengan warga lingkungannya
demi kepentingan ekonomi dan lainnya, atau minimal dari para nyai, orang Belanda
belajar berbahasa daerah dan melayu.
Meskipun
begitu, ada juga nyai yang benar-benar dihargai secara tulus oleh para Meneer
Belanda. Tak hanya ‘dimanfaatkan’ mereka justru dicintai dan disayangi oleh
suaminya.
Cecep Lukmanul Hakim
infonya sangat bagus sekali menambah pengetahuan
ReplyDeleteturki