Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Entah
bagaimana tercapainya "persatuan" itu,
entah
bagaimana rupanya "persatuan" itu,
akan
tetapi kapal yang membawa kita ke Indonesia - Merdeka itu,
ialah
...."Kapal Persatuan" adanya.
Soekarno
Kesadaran akan perlunya suatu ikatan pada setiap rakyat dalam pencapaian
tujuannya untuk mengusir orang Belanda yang telah memeras tenaga, harta dan
kekayaan tanah baru berhembus pada awal abad ke 20. Keinginan untuk bersatu dan
membentuk dalam suatu ikatan politik, ekonomi dan kebudayaan antar satu daerah
dengan daerah lainnya muncul sebagai konsekuensi dari perubahan peta
perpolitikan di Nederland. Beralihnya politik penjajahan Belanda terhadap
Indonesia menuju kearah yang lebih liberal dengan memperluas peranan pihak
swasta dalam kontribusinya berinvestasi dan mengolah kekayaan bumi Hindia
Belanda ini membuka ruang bagi orang perseorangan ataupun perusahaan untuk
berlomba menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Migrasi orang-orang Belanda
kini menjadi sangat massif bila dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya ketika seluruh penguasaan Hindia Belanda secara
penuh dikuasai oleh kongsi dagang VOC yang kemudian mengalami kebangkrutan dan kemudian
diambil alih oleh pemerintah Belanda. Tahun-tahun sebelumnya orang Belanda yang
datang ke Hindia Belanda hanya terbatas pada keluarga pegawai pemerintahan
saja, namun ketika terbukanya Hindia Belanda untuk pihak swasta secara otomatis
eksodus orang Belanda semakin meningkat.
Meskipun perubahan suasana politik ini tidak secara langsung bisa
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat bumi putera, namun keadaan ini adalah
sebuah jalan menuju suatu perubahan di Hindia Belanda. Konsekuensi dari masifnya migrasi orang Belanda ini
adalah keharusan peningkatan fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan bagi orang Belanda
sendiri, salah satunya fasilitas pendidikan. Meskipun sebelum periode ini
pemenuhan terhadap kebutuhan pendidikan bagi orang Belanda sudah tersedia,
namun jumlahnya hanya terbatas dan kurikulumnya pun masih sangat tradisional,
yaitu dengan penggunaan Injil sebagai sumber dari ilmu pengetahuan. Gereja
memiliki otoritas penuh untuk menetapkan semacam kurikulum bagi sekolah-sekolah
yang ada, dan VOC pada waktu itu sebagai wakil pemerintahan
Belanda tidak ikut campur dalam masalah pendidikan. Pendidikan pada saat itu
lebih bersifat religius, namun bukan dalam arti
penyebaran agama terhadap penduduk (gospel). Maksud dari religius disini adalah
pendidikan pada waktu itu menekankan aspek agama Protestan sebagai alat
“pemusnah” agama Katholik yang lebih dulu menyebar. Sehingga pendidikan pun
diselenggarakan di daerah-daerah yang telah “tercemar” oleh agama Katholik
seperti di Ambon (sekolah pertama 1607) dan Batavia (sekolah pertama 1630)
sebagai akibat dari pendudukan Portugis dan Spanyol. Sehingga materi pelajaran
yang diberikan hanya seputar membaca, menulis dan sembahyang[1].
Menurut instruksi “Heeren XVII”, badan tertinggi VOC di Negeri Belanda tahun
1617 memerintahkan kepada Gubernur Jenderal di Hindia Belanda supaya
menyebarkan agama Kristen (Protestan) dengan cara mendirikan sekolah. Menurut
peraturan sekolah pada tahun 1643 tugas guru ialah: memupuk rasa takut terhadap
Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama, mengajarkan berdoa, bernyanyi, pergi ke
gereja, mematuhi orang tua, penguasa dan guru[2].
Tidak semua orang anak
mendapatkan pendidikan dari sekolah tersebut. Hanya orang Belanda dan putera-putera priyayi yang hanya bisa
mengecap pendidikan tersebut dan anak bumiputera kebanyakan tidak memiliki akses terhadapnya. Gejala
ini diakibatkan karena anggapan mereka bahwa untuk menguasai suatu daerah,
tidak harus kita menguasai secara sepenuhnya, namun dengan menggunakan para
petinggi masyarakatnya saja maka daerah tersebut sudah bisa dikuasai. Belanda
memanfaatkan kultur masyarakat pribumi yang feodal dengan sistem sosial patron
clien untuk menguasai suatu daerah. Sebagai patron, kaum priyayi memiliki status
sosial yang sangat tinggi dalam masyarakat dan memiliki hak-hak sosial yang
istimewa. Sebagai klien, rakyat biasa
dijadikan alat untuk pemenuhan hak-hak istimewa yang ada pada kaum priyayi.
Kesadaran akan kebutuhan pendidikan oleh pemerintah Belanda untuk
komunitasnya baru direalisasikan pada permulaan abad ke 19 dengan terbitnya
sebuah peraturan. Prinsip yang dijadikan pegangan tercantum di Statuta (peraturan) 1818 bahwa sekolah-sekolah harus dibuka “di tiap
tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda dan diizinkan oleh keadaan” atau
secara lebih khusus, bila jumlah murid mencapai 20 di Jawa atau 15 di luar Jawa[3].
Sistem pendidikan bercorak modern dengan pendidikan di Belanda sebagai contoh, meninggalkan model pendidikan yang sebelumnya yang
bersifat trdisional kegerejaan. Kemunculan model pendidikan ini akibat desakan dari
orang Belanda yang berada di Indonesia yang menginginkan pendidikan bagi
anak-anaknya yang setara dengan pendidikan di negaranya sendiri.
Pada awalnya dibentuk sebuah sekolah khusus bagi orang Belanda yaitu
Europese Lagere School (E.L.S) sebagai sekolah rendah setingkat dengan Sekolah
Dasar dengan lama studi 6 tahun. Meskipun begitu, E.L.S ini bukan sekolah
pertama yang diselenggarakan oleh Belanda kerena sebelumnya sudah ada berbagai
sekolah seperti Sekolah Desa (Volk School), sekolah guru (Kweek School) dan
lainnya. Namun E.L.S dianggap sebagai sekolah modern karena prinsipnya
konkordansi, yaitu kesamaan struktur, kurikulum, materi dan perangkat pendidikan lainnya
antara E.L.S dengan sekolah di negari Belanda. Sekolah modern ini mendapatkan
sambutan yang sangat luar biasa di kalangan orang Belanda (Eropa), orang
Tionghoa bahkan orang pribumi. Dengan prinsip konkordansinya, lulusan dari
sekolah ini bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun pada waktu itu
sekolah lanjutannya belum ada di Indonesia, maka lulusannya harus sekolah di
Belanda.
Setelah
dibukanya E.L.S maka secara bertahap, pemerintah kolonial membuka sekolah
lannjutan seperti Hogere Burgerschool (H.B.S) apabila sekarang setara dengan
SMP dan SMA. Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (M.U.L.O) adalah sekolah kursus
dengan program yang diperluas, dan bukan sebagai sekolah menengah. Murid-murid
M.U.L.O biasanya merupakan lulusan dari E.L.S dan H.I.S (Hollands Inlande
School). Algemene Middelbare School (A.M.S) adalah sekolah lanjutan bagi
lulusan M.U.L.O atau sekarang semacam Sekolah Menengah Kejuruan dengan membagi
dua keahlian dalam mata pelajaran. Yang
pertama mengutamakan sastra dan sejarah dan yang kedua mengutamakan
matematika dan fisika[4].
Munculnya
faham kebangsaan
Perjalanan panjang
terciptanya akses pendidikan di Hindia Belanda bermuara pada suatu fase baru
dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Terutama ketika terjadi perubahan politik
kolonial di Hindia Belanda sebagai akibat berubahnya perpolitikan di Eropa.
Meluasnya liberalisme di Eropa ternyata berhembus pula ke negeri Hindia Belanda
yang beribu-ribu kilometer jauhnya dari Eropa. Liberalisme sebagai ideologi
merubah tata kelola pemerintah kolonial terhadap Hindia Belanda, pun dalam bidang
pendidikan. Pada masa-masa ini kesempatan diberikan lebih kepada anak-anak
pribumi dan aksesnya pun dipermudah, namun tetap dengan kontrol yang sangat
ketat.
Sebenarnya, pembukaan
akses pendidikan bagi rakyat baik itu anak-anak Belanda maupun anak-anak
pribumi hanya bertujuan untuk menjamin kelangsungan pemerintahan Belanda di
Hindia Belanda. Tujuan dibukanya sarana pendidikan di Hindia Belanda pada
hakekatnya hanya untuk mencetak pegawai-pegawai rendahan bagi pemerintah
kolonial. Anak-anak bangsawan dan priyayi dipersiapkan untuk menjadi
kepanjangan tangan pemerintah kolonial. Mereka dijadikan kaki tangan penjajah
dengan tugas untuk menyengsarakan kaum mereka sendiri.
Terbukanya akses pada
pendidikan yang bertujuan untuk mencetak pegawai pemerintahan yang murah malah
menjadi bumerang bagi pemerintah. Meskipun tujuan dari penyelenggaraan tersebut
tercapai, namun output dari pendidikan itu memunculkan satu kelas sosial yang
baru. Kaum intelektual melengkapi komposisi kelas sosial yang tadinya hanya terdiri
orang Eropa, orang Timur (Arab dan Cina) dan Priyayi dan Bumiputera. Kaum
intelektual yang sering bersentuhan dengan pendidikan menjadi kelas sosial yang
baru yang memiliki ideologi liberal dan berusaha untuk memecahkan dominasi
ketiga kelas sosial diatas sebagai kaum yang terjamin.
Melalui saluran
pendidikan, segala pengetahuan baik itu politik atau ilmiah cepat menyebar di
Hindia Belanda. Anak-anak pribumi yang mengecap sekolah lambat laun sebenarnya
dipersiapkan untuk menjadi bagian dari kaum borjuis
nya Hindia Belanda. Dan kaum itulah yang menyebabkan runtuhnya monarki dan
oligarki di Eropa pada abad ke akhir abad ke 18. Pada aspek inilah kemudian
pendidikan ala barat dipandang berkontribusi besar dalam pertumbuhan kesadaran
nasional atau nasionalisme di Hindia Belanda.
Mereka mulai menyadari
bahwa praktek kolonialisme dan Imperialisme Belanda dengan hubungan bangsa
terjamin dengan bangsa yang dijamin merupakan kerugian yang sangat besar bagi
bangsa ini. Namun mereka tidak hanya cukup menyadari, sebagai kaum terpelajar
mereka melakukan lebih dari apa yang pendahulunya lakukan atas ketidak adilan
yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Memang mereka tidak seheroik
pertempuran Pangeran Diponegoro atau pertempuran Imam Bonjol. Namun mereka
mempunyai jiwa dan karakter perjuangan yang lebih luas dan lebih esensial.
Aliran-aliran informasi
dunia masuk ke Hindia Belanda lewat telinga para kaum terpelajar. Mereka
mengetahui kebangkitan yang dialami oleh Jepang atas Rusia, gerakan Turki Muda,
Revolusi Cina dan gerakan nasional di Filipina dan India. Hal terebut ikut
memperkuat fondasi perjuangan bagi para kaum terpelajar yang intinya bahwa
bangsa kita tidak seharusnya inferior
terhadap bangsa lain. Perasaan yang dahulu hanya diaktualisasikan
didaerah-daerah yang hanya berupa letupan kecil yang mudah dipadamkan. Namun
pada masa ini perasaan tersebut diaktualisasikan dengan rencana-rencana yang
visioner selayaknya apa yang dilakukan oleh kaum borjuis di Eropa.
Gerakan penyadaran
kepada rakyat akan penindasan dan diskriminasi pemerintah kolonial mulai tumbuh
dikalangan kaum terpelajar bumiputera. Organisasi sebagai alat propaganda
perjuangan mulai bermunculan pada awal abad ke 20. Munculnya organisasi Boedi
Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij merupakan pioner perjuangan kaum
intelektual bumiputera dan Indo Belanda. Pada kesempatan ini perjuangan politik
menjadi alat paling utama untuk melawan penjajahan semabari melakukan penyadaran
dan memupuk rasa kebersamaan kepada rakyat Hindia Belanda.
Jalinan antara
organiasi bumiputera dengan pemerintah kolonial pada awalnya sejalan. Para
wakil organiasi bumiputera ada yang masuk dalam Dewan Rakyat (Volkraad)
pemerintah kolonial. Sesuai dengan fungsinya Volksraad merupakan saluran resmi
bagi keinginan-keinginan politik bumiputera dalam hal membangun Hindia Belanda.
Namun kelanjutannya, Volksraad dirasa tidak berjiwa liberalisme dan tidak
banyak membantu dalam perjuangan Indonesia kearah perbaikan. Maka mereka merasa
lebih baik mengumpulkan kekuatan rakyat yang besar untuk melakukan perjuangan
mengambil alih kekuasaan politik di Hindia Belanda[5].
Para kaum terpelajar
sejak dahulu baik itu di Eropa maupun di Hindia Belanda telah menjadi
stekholder bagi kehidpan masyarakat. Kaum terpelajar merupakan element penting
yang membawa perubahan bagi masyarakat bahkan bangsa dan negara. Kaum
terpelajar pula menjadi pejuang bagi tegaknya harkat dan martabat suatu bangsa.
Bahkan ada sebuah idiom dikalangan mahasiswa bahwa “Mahasiswa takut oleh Dosen,
Dosen takut oleh Rektor, Rektor takut oleh Menteri dan Menteri takut oleh
Presiden. Tapi Presiden takut oleh Mahasiswa”. Bisa digambarkan betapa besarnya
kekuatan sekaligus tanggung jawab kaum intelektual (salah satunya) mahasiswa
yang menjadi bagian penting bagi keberlangsungan negara dan bangsa ini.
[1] Djumhur dan Danasuparta, Sejarah
Pendidikan, hal 116.
[2] Nasution, Sejarah Pendidikan
Indonesia, hal 5.
[3] Ibid, hal 9.
[4] Ibid 138.
[5] Sartono Kartodirdjo, Sejarah
Pergerakan Nasional jilid 2, hal 60-61.
thank you for your information
ReplyDeleteEssen Ikan Tawes Aroma Udang
bagus sekali makasih informasinya
ReplyDeletesindonews indonesia