Halaman

Saturday, March 23, 2013

Pendidikan (Melahirkan) Nasionalisme

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Entah bagaimana tercapainya "persatuan" itu,
entah bagaimana rupanya "persatuan" itu,
akan tetapi kapal yang membawa kita ke Indonesia - Merdeka itu,
ialah ...."Kapal Persatuan" adanya.
Soekarno

Kesadaran akan perlunya suatu ikatan pada setiap rakyat dalam pencapaian tujuannya untuk mengusir orang Belanda yang telah memeras tenaga, harta dan kekayaan tanah baru berhembus pada awal abad ke 20. Keinginan untuk bersatu dan membentuk dalam suatu ikatan politik, ekonomi dan kebudayaan antar satu daerah dengan daerah lainnya muncul sebagai konsekuensi dari perubahan peta perpolitikan di Nederland. Beralihnya politik penjajahan Belanda terhadap Indonesia menuju kearah yang lebih liberal dengan memperluas peranan pihak swasta dalam kontribusinya berinvestasi dan mengolah kekayaan bumi Hindia Belanda ini membuka ruang bagi orang perseorangan ataupun perusahaan untuk berlomba menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Migrasi orang-orang Belanda kini menjadi sangat massif bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya ketika seluruh penguasaan Hindia Belanda secara penuh dikuasai oleh kongsi dagang VOC yang kemudian mengalami kebangkrutan dan kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda. Tahun-tahun sebelumnya orang Belanda yang datang ke Hindia Belanda hanya terbatas pada keluarga pegawai pemerintahan saja, namun ketika terbukanya Hindia Belanda untuk pihak swasta secara otomatis eksodus orang Belanda semakin meningkat.
Meskipun perubahan suasana politik ini tidak secara langsung bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat bumi putera, namun keadaan ini adalah sebuah jalan menuju suatu perubahan di Hindia Belanda. Konsekuensi dari masifnya migrasi orang Belanda ini adalah keharusan peningkatan fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan bagi orang Belanda sendiri, salah satunya fasilitas pendidikan. Meskipun sebelum periode ini pemenuhan terhadap kebutuhan pendidikan bagi orang Belanda sudah tersedia, namun jumlahnya hanya terbatas dan kurikulumnya pun masih sangat tradisional, yaitu dengan penggunaan Injil sebagai sumber dari ilmu pengetahuan. Gereja memiliki otoritas penuh untuk menetapkan semacam kurikulum bagi sekolah-sekolah yang ada, dan VOC pada waktu itu sebagai wakil pemerintahan Belanda tidak ikut campur dalam masalah pendidikan. Pendidikan pada saat itu lebih bersifat religius, namun bukan dalam arti penyebaran agama terhadap penduduk (gospel). Maksud dari religius disini adalah pendidikan pada waktu itu menekankan aspek agama Protestan sebagai alat “pemusnah” agama Katholik yang lebih dulu menyebar. Sehingga pendidikan pun diselenggarakan di daerah-daerah yang telah “tercemar” oleh agama Katholik seperti di Ambon (sekolah pertama 1607) dan Batavia (sekolah pertama 1630) sebagai akibat dari pendudukan Portugis dan Spanyol. Sehingga materi pelajaran yang diberikan hanya seputar membaca, menulis dan sembahyang[1]. Menurut instruksi “Heeren XVII”, badan tertinggi VOC di Negeri Belanda tahun 1617 memerintahkan kepada Gubernur Jenderal di Hindia Belanda supaya menyebarkan agama Kristen (Protestan) dengan cara mendirikan sekolah. Menurut peraturan sekolah pada tahun 1643 tugas guru ialah: memupuk rasa takut terhadap Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama, mengajarkan berdoa, bernyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, penguasa dan guru[2].
Tidak semua orang anak mendapatkan pendidikan dari sekolah tersebut. Hanya orang Belanda dan putera-putera priyayi yang hanya bisa mengecap pendidikan tersebut dan anak bumiputera kebanyakan tidak memiliki akses terhadapnya. Gejala ini diakibatkan karena anggapan mereka bahwa untuk menguasai suatu daerah, tidak harus kita menguasai secara sepenuhnya, namun dengan menggunakan para petinggi masyarakatnya saja maka daerah tersebut sudah bisa dikuasai. Belanda memanfaatkan kultur masyarakat pribumi yang feodal dengan sistem sosial patron clien untuk menguasai suatu daerah. Sebagai patron, kaum priyayi memiliki status sosial yang sangat tinggi dalam masyarakat dan memiliki hak-hak sosial yang istimewa. Sebagai klien, rakyat biasa dijadikan alat untuk pemenuhan hak-hak istimewa yang ada pada kaum priyayi.    
Kesadaran akan kebutuhan pendidikan oleh pemerintah Belanda untuk komunitasnya baru direalisasikan pada permulaan abad ke 19 dengan terbitnya sebuah peraturan. Prinsip yang dijadikan pegangan tercantum di Statuta (peraturan) 1818 bahwa sekolah-sekolah harus dibuka “di tiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda dan diizinkan oleh keadaan” atau secara lebih khusus, bila jumlah murid mencapai 20 di Jawa atau 15 di luar Jawa[3].
Sistem pendidikan bercorak modern dengan pendidikan di Belanda sebagai contoh, meninggalkan model pendidikan yang sebelumnya yang bersifat trdisional kegerejaan. Kemunculan model pendidikan ini akibat desakan dari orang Belanda yang berada di Indonesia yang menginginkan pendidikan bagi anak-anaknya yang setara dengan pendidikan di negaranya sendiri.
Pada awalnya dibentuk sebuah sekolah khusus bagi orang Belanda yaitu Europese Lagere School (E.L.S) sebagai sekolah rendah setingkat dengan Sekolah Dasar dengan lama studi 6 tahun. Meskipun begitu, E.L.S ini bukan sekolah pertama yang diselenggarakan oleh Belanda kerena sebelumnya sudah ada berbagai sekolah seperti Sekolah Desa (Volk School), sekolah guru (Kweek School) dan lainnya. Namun E.L.S dianggap sebagai sekolah modern karena prinsipnya konkordansi, yaitu kesamaan struktur, kurikulum, materi dan perangkat pendidikan lainnya antara E.L.S dengan sekolah di negari Belanda. Sekolah modern ini mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa di kalangan orang Belanda (Eropa), orang Tionghoa bahkan orang pribumi. Dengan prinsip konkordansinya, lulusan dari sekolah ini bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun pada waktu itu sekolah lanjutannya belum ada di Indonesia, maka lulusannya harus sekolah di Belanda.
Setelah dibukanya E.L.S maka secara bertahap, pemerintah kolonial membuka sekolah lannjutan seperti Hogere Burgerschool (H.B.S) apabila sekarang setara dengan SMP dan SMA. Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (M.U.L.O) adalah sekolah kursus dengan program yang diperluas, dan bukan sebagai sekolah menengah. Murid-murid M.U.L.O biasanya merupakan lulusan dari E.L.S dan H.I.S (Hollands Inlande School). Algemene Middelbare School (A.M.S) adalah sekolah lanjutan bagi lulusan M.U.L.O atau sekarang semacam Sekolah Menengah Kejuruan dengan membagi dua keahlian dalam mata pelajaran. Yang  pertama mengutamakan sastra dan sejarah dan yang kedua mengutamakan matematika dan fisika[4].  
Munculnya faham kebangsaan
Perjalanan panjang terciptanya akses pendidikan di Hindia Belanda bermuara pada suatu fase baru dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Terutama ketika terjadi perubahan politik kolonial di Hindia Belanda sebagai akibat berubahnya perpolitikan di Eropa. Meluasnya liberalisme di Eropa ternyata berhembus pula ke negeri Hindia Belanda yang beribu-ribu kilometer jauhnya dari Eropa. Liberalisme sebagai ideologi merubah tata kelola pemerintah kolonial terhadap Hindia Belanda, pun dalam bidang pendidikan. Pada masa-masa ini kesempatan diberikan lebih kepada anak-anak pribumi dan aksesnya pun dipermudah, namun tetap dengan kontrol yang sangat ketat.
Sebenarnya, pembukaan akses pendidikan bagi rakyat baik itu anak-anak Belanda maupun anak-anak pribumi hanya bertujuan untuk menjamin kelangsungan pemerintahan Belanda di Hindia Belanda. Tujuan dibukanya sarana pendidikan di Hindia Belanda pada hakekatnya hanya untuk mencetak pegawai-pegawai rendahan bagi pemerintah kolonial. Anak-anak bangsawan dan priyayi dipersiapkan untuk menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial. Mereka dijadikan kaki tangan penjajah dengan tugas untuk menyengsarakan kaum mereka sendiri. 
Terbukanya akses pada pendidikan yang bertujuan untuk mencetak pegawai pemerintahan yang murah malah menjadi bumerang bagi pemerintah. Meskipun tujuan dari penyelenggaraan tersebut tercapai, namun output dari pendidikan itu memunculkan satu kelas sosial yang baru. Kaum intelektual melengkapi komposisi kelas sosial yang tadinya hanya terdiri orang Eropa, orang Timur (Arab dan Cina) dan Priyayi dan Bumiputera. Kaum intelektual yang sering bersentuhan dengan pendidikan menjadi kelas sosial yang baru yang memiliki ideologi liberal dan berusaha untuk memecahkan dominasi ketiga kelas sosial diatas sebagai kaum yang terjamin.
Melalui saluran pendidikan, segala pengetahuan baik itu politik atau ilmiah cepat menyebar di Hindia Belanda. Anak-anak pribumi yang mengecap sekolah lambat laun sebenarnya dipersiapkan untuk menjadi bagian dari kaum borjuis nya Hindia Belanda. Dan kaum itulah yang menyebabkan runtuhnya monarki dan oligarki di Eropa pada abad ke akhir abad ke 18. Pada aspek inilah kemudian pendidikan ala barat dipandang berkontribusi besar dalam pertumbuhan kesadaran nasional atau nasionalisme di Hindia Belanda.
Mereka mulai menyadari bahwa praktek kolonialisme dan Imperialisme Belanda dengan hubungan bangsa terjamin dengan bangsa yang dijamin merupakan kerugian yang sangat besar bagi bangsa ini. Namun mereka tidak hanya cukup menyadari, sebagai kaum terpelajar mereka melakukan lebih dari apa yang pendahulunya lakukan atas ketidak adilan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Memang mereka tidak seheroik pertempuran Pangeran Diponegoro atau pertempuran Imam Bonjol. Namun mereka mempunyai jiwa dan karakter perjuangan yang lebih luas dan lebih esensial.
Aliran-aliran informasi dunia masuk ke Hindia Belanda lewat telinga para kaum terpelajar. Mereka mengetahui kebangkitan yang dialami oleh Jepang atas Rusia, gerakan Turki Muda, Revolusi Cina dan gerakan nasional di Filipina dan India. Hal terebut ikut memperkuat fondasi perjuangan bagi para kaum terpelajar yang intinya bahwa bangsa kita tidak seharusnya inferior terhadap bangsa lain. Perasaan yang dahulu hanya diaktualisasikan didaerah-daerah yang hanya berupa letupan kecil yang mudah dipadamkan. Namun pada masa ini perasaan tersebut diaktualisasikan dengan rencana-rencana yang visioner selayaknya apa yang dilakukan oleh kaum borjuis di Eropa.
Gerakan penyadaran kepada rakyat akan penindasan dan diskriminasi pemerintah kolonial mulai tumbuh dikalangan kaum terpelajar bumiputera. Organisasi sebagai alat propaganda perjuangan mulai bermunculan pada awal abad ke 20. Munculnya organisasi Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij merupakan pioner perjuangan kaum intelektual bumiputera dan Indo Belanda. Pada kesempatan ini perjuangan politik menjadi alat paling utama untuk melawan penjajahan semabari melakukan penyadaran dan memupuk rasa kebersamaan kepada rakyat Hindia Belanda.
Jalinan antara organiasi bumiputera dengan pemerintah kolonial pada awalnya sejalan. Para wakil organiasi bumiputera ada yang masuk dalam Dewan Rakyat (Volkraad) pemerintah kolonial. Sesuai dengan fungsinya Volksraad merupakan saluran resmi bagi keinginan-keinginan politik bumiputera dalam hal membangun Hindia Belanda. Namun kelanjutannya, Volksraad dirasa tidak berjiwa liberalisme dan tidak banyak membantu dalam perjuangan Indonesia kearah perbaikan. Maka mereka merasa lebih baik mengumpulkan kekuatan rakyat yang besar untuk melakukan perjuangan mengambil alih kekuasaan politik di Hindia Belanda[5].
Para kaum terpelajar sejak dahulu baik itu di Eropa maupun di Hindia Belanda telah menjadi stekholder bagi kehidpan masyarakat. Kaum terpelajar merupakan element penting yang membawa perubahan bagi masyarakat bahkan bangsa dan negara. Kaum terpelajar pula menjadi pejuang bagi tegaknya harkat dan martabat suatu bangsa. Bahkan ada sebuah idiom dikalangan mahasiswa bahwa “Mahasiswa takut oleh Dosen, Dosen takut oleh Rektor, Rektor takut oleh Menteri dan Menteri takut oleh Presiden. Tapi Presiden takut oleh Mahasiswa”. Bisa digambarkan betapa besarnya kekuatan sekaligus tanggung jawab kaum intelektual (salah satunya) mahasiswa yang menjadi bagian penting bagi keberlangsungan negara dan bangsa ini.


 




[1] Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan, hal 116.
[2] Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, hal 5.
[3] Ibid, hal 9.
[4] Ibid 138.
[5] Sartono Kartodirdjo, Sejarah Pergerakan Nasional jilid 2, hal 60-61.

2 comments: