Halaman

Sunday, August 14, 2011

Perang Salib

Perang Salib II (bag III)
Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Jalur keberangkatan Louis VII dan Conrad III ke Yarusalem
Ada beberapa peristiwa yang timbul ketika perang salib II diserukan kepada seluruh umat Kristiani di Eropa yang berbanding terbalik ketika perang salib I diserukan oleh Paus Urbanus II dalam konsili Clermont. Sebelumnya, semangat ksatria Eropa terbangun dengan solidaritas yang tinggi terhadap keprihatinan saudaranya dalam menjalankan ziarah ke tanah kelahiran Yesus dengan titah Urbanus II untuk melakukan perang suci pada tanggal 25 November 1095 di konsili Clermont. Para ksatria Eropa seakan memimpin eksodus seluruh penduduk Eropa berjalan beriringan menuju tanah suci Yarusalem. Ksatria, bangsawan, pastor dan orang miskin berjalan beriringan mengalami penderitaan bersama dan kejayaan bersama sehingga tak terlihat lagi perbedaan kasta seperti dalam kehidupan sebelumnya. Dengan semangat perang suci mereka berjalan ber ribu-ribu kilometer dengan kesusahan yang tak terbayangkan hanya untuk melepaskan cengkraman kota suci dari orang saraken yang murtad yang mengotori tanah suci dan menghalangi para peziarah.
Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan dimana dimulainya perang salib II. Dengan penderitaan yang dialami oleh pejuang suci lima puluh tahun sebelum mereka, maka timbulah keengganan atau bahkan trauma dalam masyarakat Eropa. Begitu kerasnya perjuangan para tentara salib I di bawah Godfrey de Boulion, Baldwin, Bohemund, Raymund dan Tancred. Rasa putus asa pun menjadi sebuah kewajaran ketika pasukan itu di serang oleh pasukan Turki yang lengkap persenjataannya dan perbekalan yang cukup, sedangkan pasukan salib hanya membawa bekal keimanan di dada mereka. Meskipun akhirnya pasukan salib meraih hasil yang sangat gemilang dengan direbutnya kembali tanah-tanah Byzantium terutama direbutnya kota suci tetapi tetap menimbulkan kesedihan yang mendalam bagi masyarakat Eropa. Amstrong dalam bukunya menjelaskan (2007:319) “Namun demikian, ketika Paus Eugenius dan Raja Louis VII dari Prancis menyerukan Perang Salib baru, tanggapan masyarakat sungguh mengecewakan: masyarakat kadung mendengar terlalu banyak soal mengerikan dalam Perang Salib Pertama lima puluh tahun sebelumnya”.
Di pihak lain, kaum muslimin yang menyadari kelemahannya pada perang salib I mulai mengonsolidasikan diri. Dari selatan, tentara Salib mulai didesak oleh tentara Mesir sehingga Ar-Ramlah dapat ditaklukan pada tahun 1102 melalui pertempuran yang hebat. Dari utara mereka mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan Atabek yang didirikan di atas reruntuhan dinasti Salajiqoh (Saljuk), anatra lain Atabek al-Mausal yang dipimpin oleh Imadiddim Zangi pada tahun 1127. Prof K. Ali pernah menggambarkan pribadi Imaduddin Zangi, anak Sultan Malek Syah ini sebagai berikut, "Ia lebih mencintai sadel kuda dari pada tempat tidur sutera, lebih senang menjadi pemimpin pertempuran daripada menikmati lagu dan musik yang indah, dan lebih memilih berbicara dengan senjata daripada bersenda gurau dengan wanita cantik." Ia mampu menahan perluasan kekuatan Salib, bahkan mampu menyerang wilayah-wilayah yang dikuasai Kristen satu per satu, sehingga Ruha (Edessa) dapat ditaklukan lagi pada tahun 1144.
Kejatuhan Edessa ke tangan muslim mengejutkan orang-orang Kristen Eropa dan mengamcam kedudukan tanah suci Yarusalem. Hal ini lah yang menyebabkan Bernard menyerukan perang salib II. Amstrong (2007:319) menjelaskan, ”Pada tanggal 31 Maret 1146, Bernard, Kepala Biara dari Clairvaux, berpidato kepada sejumlah besar baron Prancis di Vezelay dan meyakinkan mereka bahwa kejatuhan Edessa bukanlah suatu bencana, tetapi bagian dari rencana Tuhan”. Ada suatu keanehan disini, mengapa Paus tidak memerintahkan secara langsung perang suci seperti perang suci II ?. Hal ini dikarenakan merosotnya mental orang-orang Kristen Eropa ketika membayangkan bagaimana kepediahan yang telah dialami oleh pasukan salib pertama. Mungkin kesalehan mereka hilang ketika mereka membayangkan bagaimana perang salib I apalagi harus mengalaminya. Tetapi kendala ini hanya menjadi hambatan sesaat ketika Bernard berhasil kembali mengobarkan semangat perang salib II dengan kharismanya dan khotbah-khotbah yang dilakukannya.
Reaksi dari kejatuhan Edessa ke tangan Zangi ditunjukan oleh dua raja besar di Eropa. Pertama raja Prancis yaitu Louis VII dan yang kedua raja Jerman yaitu Conrad. Kedua raja ini turun langsung memimpin pasukannya untuk membantu mengamankan Yarusalem. Tetapi sebelum masuk Antiokia, Conrad Raja Jerman jatuh sakit dan kembali ke Konstantinopel. Hanya Louis VII dan istrinya yaitu Eleanor dari Aqiutaine yang sampai ke Antiokia dan disambut oleh Raymund III. Amstrong dalam bukunya (2007:349) menjelaskan “Di Antiokhia ia mendapat kesenangan tambahan karena bertemu kembali dengan Pangeran Raymund, yakni pamannya dan teman masa kecilnya (usia mereka memang amat dekat)”. Alasan inilah mengapa Raymund menyambut kedatangan pasukan salib Louis VII dan Elanor di Antiokhia padahal Raymund adalah raja Tripoli.
            Kedatangan pasukan gabungan dari Louis dan Conrad ke Antiokia menambah harapan karena merupakan suntikan moral dan materi yang sangat dibutuhkan. Tentara salib mereka semakin bertambah dengan datangnya pasukan Louis dan Conrad yang akan menambah kekuatan mereka untuk meraih dominasi kembali dari Zangi. Hal ini menjadi sangat bermanfaat sekali ketika disisi lain Nuruddin telah mengambil jarak yang dekat dengan Antiokia dengan menjadikan kota Aleppo sebagai ibukota. Hitti menjelaskan (2008:813) “Sebagai pahlawan kemenagan Islam, kekuasaan Zangi atas wilayah Suriah kemudian digantikan oleh anaknya, Nur al-Din Mahmud, yang memilih Aleppo sebagai ibukotanya”.
Louis VII

            Tetapi harapan Raymund III tidak terlaksana, pasukan gabungan Louis dan Conrad tidak membantu pasukan Raymund III dan Bohemund dalam membalas serangan Nuruddin. Alasan panolakan Louis dijelaskan oleh Amstrong dalam bukunya (2007:350) “Ia dengan keras kepala bersikeras bahwa ia sedang dalam perjalanan ziarah dan dapat melakukan penyerangan besar sampai ia bisa berdoa di Makam Suci”. Di pihak Islam, Nuruddin berangsur-angsur mendekatkan jarak mereka ke Yarusalem dengan menguasai Damaskus pada tahun 1154 dari Amir Muin al-Din Unur yang merupakan sekutu dari tentara salib Yarusaelm. Penguasaan Nuruddin terhadap Damaskus merupakan suatu kesalahan tentara salib yang mengepung Damaskus setelah kedatangan pasukan Louis ke Yarusalem. Menurut pemahaman Louis tidak seharusnya tentara salib Yarusalem melakukan hubungan genjatan senjata dengan kaum muslim Damaskus. Kedatangan Louis merubah tatanan sosial di Yarusalem pada waktu itu yang telah mapan dan menjadi kebiasaan masyarakat Kristen di Yarusalem. Menurutnya tidak seharusnya kaum Kristen mengikuti gaya hidup orang Timur (Islam) apalagi melakukan perjanjian dengan orang Islam. Agaknya Louis ingin memurnikan kembali semangat jihad dan kehormatan orang Kristen Eropa yang lebih tinggi dari orang Timur (Islam). Dengan alasan seperti itu, maka tentara salib dikerahkan pada tanggal 24 Juli 1148 untuk mengepung Damaskus. Tetapi pengepungan ini mengalami kegagalan dengan datangnya bantuan dari Nuruddin kepada Damaskus sehingga pasukan salib harus kembali ke Yarusalem dengan kekalahan.   
            Sebelumnya Nuruddin juga telah menguasai Edessa pada tahun 1151 yang berada dibawah raja Joscelin. Setelah Damaskus diambil alih oleh Nuruddin, berangsur-angsur ia meguasai daerah yang ada disekitarnya. Hitti (2008:823) menjelaskan “Nur juga merebut sebagian kerajaan Antiokhia, dan menagkap raja mudanya, Bohemund III pada tahun 1164 bersama-sama dengan sekutunya yaitu Raymond III dari Tripoli”.
            Yang penting pula Nuruddin mengirimkan seorang panglima yang gagah berani, Asaduddin Syirkuh, ke Mesir dalam rangka memperkuat sayap kiri menghadapi tentara Salib pada tahun 1162 dibawah Alamric dari Yarusalem. Amstrong memperkuat hal ini dan menjelaskan (2007:371) “Karena itu, Nuruddin mengirimkan komandan Shirkuh ke Mesir untuk menolong Khalifah Syiah melawan serangan baru kaum Frank”. Syirkuh diterima baik oleh rakyat Mesir dan Khalifah Fatimiyyah. Ia diangkat sebagai perdana menteri, dan praktis memegang kekuasaan pada tahun 1169. Namun, tidak lama kemudian ia wafat. Kedudukannya lalu digantikan oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang melanjutkan jabatan perdana menteri pada masa Khalifah Al-Adhid (1160-1171) yang merupakan khalifah terakhir dari dinasti Fathimiyah. Di samping memperkuat sayap kiri barisan kaum muslimin, Shalahuddin (Saladin) juga memberi peluang timbulnya dinasti Al-Ayyubi. Peristiwa demi peristiwa terjadi pada masa kekuasaannya, sehingga Salahuddin akhirnya menutup riwayat Khilafah Fatimiyah Syi'iyah. Hitti (2008:825) menjelaskan “Pada bulan Mei 1175, Shalah al-Din secara pribadi meminta Khalifah Abasiyah untuk melantiknya sebagai penguasa atas wilayah Mesir, Maroko, Nubia, Arab Barat, Palestina dan Suriah tengah”. Hal ini dilakukan karena sebelumnya Saladin telah memproklamirkan diri atas wilayah yang dikuasainya sebagai wilayah merdeka dari dinasti Zangi yang dipimpin oleh Ismail sebagai pengganti Nuruddin. Dengan bergantinya dinasti Fathimiyah menjadi dinasti Ayubiyyah, maka tatanan agama Islam di Mesir berubah. Sebelumnya Islam Syiah menjadi agama “resmi” dalam dinasti Fathimiyah, setelah Saladin menjadi raja Mesir, Mesir menganut Islam Suni.
            Sebelum Saladin menyerang Yarusalem, Saladin berusaha mengamankan posisinya terlebih dahulu dengan menyatukan seluruh kekuatan dan memberantas pemberontak dari kaum Islam sendiri. Saladin melakukan penyerangan terhadap suatu kelompok yang bernama Assassin yang berasal dari Mashyad, Suriah pada tahun 1176 yang dipimpin oleh Rasyid al Din Sinan. Penyerangan ini sangat penting karena kelompok Assassin atau Hasyasyin yang disebutkan oleh Hitti sangat berbahaya. Lewis dalam bukunya (2009:26) menjelaskan ‘Menurut Bartholome d’Herbelot, kaum Assassin adalah anggota kelompok Ismailliyah, sebuah sekte sempalan dan merupakan cabang dari Syi’ah, yang permusuhan mereka dengan kelompok Sunni menjadi perselisihan terbesar dalam Islam’. Penyerangan atas kelompok Assassin sangatlah perlu dilakukan oleh Saladin mengingat Islam Sunni dan Syiah selalu berselisih. Perselisihan Sunni dan Syiah sudah dimulai sejak masa Khulafaurrasyidin yang memerintah melanjutkan Nabi Muhammad. Kaum Syiah memandang bahwa yang pantas dan seharusnya menjadi khalifah penerus Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib bukannya Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Perselisihan ini berlajut ketika Ali dikalahkan oleh Muawiyyah yang didukung oleh kaum Sunni ketika peristiwa arbritase dalam perang Shiffin. Puncaknya ketika putra Ali yaitu Husen bin Ali dibunuh oleh tentara Muawiyah ketika melakukan perjalanan ke Iraq. Dia dibunuh di Karbala oleh pasukan yang dipimpin oleh Saad bin Abi Waqqash. Penyebabnya adalah keengganan Husen untuk mengakui Muawiyah sebagai khalifah melanjutkan Ali.
Saladin (Salahuddin Al Ayubi)

Penyrangan dan perjanjiannya dengan kelompok Assassin menghilangkan ancaman dari dalam Islam sehingga Saladin bisa konsentrasi menghadapi tentara salib di Yarusaelm. Amstrong menjelaskan (2007:389) “Pada tahun 1183, sebagaimana yang telah kita lihat, Saladin menjadi penguasa Aleppo dan seorang pemimpin paling berkuasa di Timur Tengah”. Dan setelah itu Saldin menguasai Tiberias pada tahun 1187. Penaklukan Tiberias memaksa posisi pasukan salib tersudut dan dikepung oleh wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Saladin. Ditambah situasi politik yang tidak menentu di Yarusalem akibat kematian rajanya yaitu Baldwin IV tahun 1185 akibat penyakit lepra, dilanjutkan kematian anaknya Baldwin V yang baru berusia tujuh tahun. Keadaan itu diperparah lagi oleh kekalahan yang dialami oleh pasukan salib dalam perang Hattin.
Kekalahan taentara salib dalam perang Hattin mungkin merupakan kekalahan terbesar tentara salib II dan kesuksesan terbesar Saladin untuk menguasai Yarusalem. Hitti menjelaskan (2008:816) “Dari sekitar 20.000 tentara, hampir seluruhnya ditundukkan oleh pasukan Shalah, dan sebagian lagi mati kehausan, atau kelaparan”. Kekalahan ini berarti hancurnya benteng terkuat tentara salib yang menjaga kota suci Yarusalem. Kekalahan ini juga menyebabkan mudahnya Saladin menaklukan kota suci Yarusalem yang sudah tidak memiliki pasukan yang berjumlah besar akibat kekalahan dalam perang Hattin. Dalam perang Hattin juga Saladin menagkap raja Yarusalem yaitu Guy Lusignan dan Reynauld.
Perang Hattin memberi jalan mudah bagi Saladin untuk merebut Yarusalem yang pada akhirnya dapat direbut pada tanggal 2 Okober 1187. Amstrong menjelaskan (2007:409) “Pada tanggal 2 Oktober 1187, Saladin dan tentaranya memasuki Yarusalem sebagai penakluk dan selama delapan ratus taun kemudian Yarusalem tetap menjadi kota muslim”. Perjuangan Islam yang dipimpin oleh Saladin menjadi titik puncak dari perebutan kota suci dari tangan Kristen. Keberhasilan ini dikarenakan kecakapan Saladin dalam mempersatukan pasukan muslim dengan menyatukan terlebih dahulu seluruh kekuatan muslim dibawahnya. Perjanjian dengan kaum Assassin menjadi sebuah bukti betapa briliannya strategi Saladin menuju penyerangan Yarusalem.
Keklahan itu diakibatkan oleh situasi yang tidak menguntungkan dialami oleh pasukan salib Yarusalem karena adanya perebutan kekuasaan antara ksatria-ksatria setelah kematian Baldwin V. Pertikaian itu terjadi antara Raymund, Guy Lusignan, Baldwin dan Gerard yang menyebabkan pecahnya pasukan salib. Perselisihan itu menyebabkan Raymund dan Baldwin terpaksa menarik mundur pasukannya dari Yarusalem dan kembali ke Tripoli.
Pada saat Saladin menaklukan Yarusalem, hampir tidak ada pembantaian terhadap orang Kristen di sana. Kejadian ini berbanding terbalik ketika pasukan salib menaklukan Yarusalem pada 15 Juli 1009 yang melakukan pembantaian hampir seluruh orang Islam disana dan peristiwa pembantaian itu di kiaskan oleh Harun Yahya, “darah-darah orang Islam yang dibunuh sampai ke lutut kuda”. Gambaran penaklukan Saladin atas Yarusalem juga dijelskan oleh Amstrong (2007:409) “Tak ada satu pun orang Kristen yang dibunuh dan tak ada penjarahan”.

No comments:

Post a Comment