Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Sebuah catatan untuk tulisan Nurcholis Majid (Rohimahullah) yang berjudul Taqlid dan Ijtihad (Masalah Kontinuitas dan Kreatifitas Dalam Memahami Pesan Agama) yang tersedia dalam alamat: http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Paramadina/Konteks/TaqlidN1.html
Sebuah catatan untuk tulisan Nurcholis Majid (Rohimahullah) yang berjudul Taqlid dan Ijtihad (Masalah Kontinuitas dan Kreatifitas Dalam Memahami Pesan Agama) yang tersedia dalam alamat: http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Paramadina/Konteks/TaqlidN1.html
Dalam artikel tersebut, apabila kita lihat secara sepintas kita akan berpendapat bahwa artikel tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan masalah sosial. Tetapi apabila kita telaah lebih dalam, arti dan konsep serta kedudukan taqlid dan ijtihad dalam Islam, maka kita akan mengetahui besarnya peranan taqlid dan ijtihad dalam interaksi kita terhadap Islam yang mencakup interaksi kita terhadap sesama manusia dan lingkungan. Karena objek dari taqlid dan ijtihad adalah normativitas Islam atau mengutip istilah Ahmad Wahib universalisme islam dan historisitas islam. Maksud dari dimensi normativitas Islam adalah dimensi yang tidak akan tersentuh oleh akal manusia karena kenisbian akal manusia tersebut. Normativitas bersifat kekal atau abadi tidak dipengaruhi oleh dimensi spasial dan temporal. Normativitas Islam disini berarti semua hal yang berkaitan aqidah dan syariat yang sudah barang tentu memilki dalil qathi. Berbeda dengan historisitas Islam yang bersifat dinamis karena historisitas Islam bergantung pada dimensi spasial, temporal dan kondisi manusia. Jadi dapat saya simpulkan bahwa historisitas Islam itu adalah hasil interpretasi ulama terhadap hukum-hukum Islam yang tidak terdapat atau samar dalam sumber utama Islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadits atau yang sering kita dengar dengan istilah ijtihad.
Semua hal hasil ijtihad tersebut yang bernama syara yang tidak mempunyai dalil-dalil qathi dan rentan dengan konfik internal dalam Islam. Semua dapat dimaklumi karena ulama yang melakukan ijtihad itu banyak dan saling berbeda dalam hasil ijtihadnya karena disesuaikan dengan spasial, temporal dan kondisi manusia. Tetapi alangkah baiknya kita melihat suatu hasil dari ijtihad dalam Islam bukanlah sebagai hukum Tuhan yang bersifat pembenaran secara mutlak yang dapat menimbulkan sifat yang arogan dan tidak mau menerima perbedaan dari pendapat lain. Imam Syafi’i pun yang derajatnya lebih tinggi dari kita tidak arogan malah bersifat tawadhu dengan berkata: ”barang siapa yang menemukan hadis yang lebih shohih dibanding hadis yang telah saya cantumkan dalam kitab saya, maka ambilah hadits tersebut dan tinggalkanlah hadis yang saya cantumkan”. Terlihat disana betapa besarnya tawadhu Imam Syafi’i meskipun beliau adalah salah satu Imam dari empat Imam dalam Ahlussunah wal jama’ah yang sudah barang tentu banyak mengarang kitab yang menjadi referensi ulama-ulama hingga sekarang.
Namun dinamika masyarakat dalam keberagamaan sekarang berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya terjadi yang ditimbulkan dari sifat-sifat arogan atas pendapat orang perseorangan yang justru bukanlah sifat seorang muslim. Hubungan intern kaum Muslim di Indonesia seringkali terperosok kepada jurang perbedaan yang dihiperbola, diperbesar, di dramatisisr atau apalah namanya yang berangkat dari rasa arogan setiap orang ataupun golongan, yang sebenarnya masalah tersebut bukanlah masalah yang perlu diperdebatkan dan malahan lebih sedikit manfaatnya malahan besar madharatnya. Rasa arogan dibentuk oleh ketidak fahaman sebagian besar umat Islam terhadap Islam itu sendiri dan didorong oleh perilaku taqlid terhadap seorang guru. Ketika seseorang sudah berlaku taqlid kepada seorang guru dan telah menuju kearah yang fanatik terhadap apa yang dikatakan gurunya maka perpecahan akan timbul dalam umat Islam. Karena ketidak tahuannya terhadap Islam dan fanatiknya terhadap guru, maka dia melihat bahwa Islam itu adalah apa yang dikatakan gurunya dan tidak dapat melihat perbedaan sebagai suatu rahmatan lil alamin sebagaimana rosulullah mengatakan.
Islam itu luas dan kaya, tidak dapat dipelajari dengan waktu yang singkat, bahkan umur kita pun tidak cukup untuk mengetahui bagaimana Islam secara keseluruhan karena berIslam bukanlah hanya menghapal Al-Quran, bukanlah hanya solat dan lainnya, Islam adalah pedoman bagaimana kita hidup di dunia sehingga mendapat ridha Allah SWT. Kita yang dianugrahi gelar sebagai umat akhir zaman tentu kurang mengetahui bagaimana Islam yang sebenarnya itu karena begitu banyak versi-versi atau sekte dalam Islam. Dengan pengetahuan yang kurang atau bahkan tidak ada kita hanya mengikuti apa yang dikatakan ulama dalam beribadah dan cenderung tidak tahu apakah Islam yang saya anut ini adalah Islam yang sebenarnya ?.
Tidak hanya itu, kebingungan masyarakat juga timbul dikarenakan pengkotak-kotakan Islam. Hal ini timbul dari sifat arogansi yang ditambah dengan taqlid yang menimbulkan fanatisme berlebihan sekelompok masyarakat. Hal ini sangat berbahaya karena bisa memecah belah ukhuwah Islamiyah dan melemahkan perjuangan umat Islam. Organisasi masyarakat Islam yang tadinya tempat mempelajari Ilmu Islam, tempat memperdalam lautan Islam yang begitu luas sekarang tidak ubahnya seperti partai politik, saling menjatuhkan antar kelompok dan memperlebar jurang perbedaan antar kelompok. Berangkat dari perbedaan yang ada maka timbulah pengklaiman atas kebenaran Islam yang menjadi rebutan antar ormas yang menjadi masalah sensitif umat Islam sekarang. Berbagai ormas mengklaim bahwa mereka adalah penganut aswaja yang sebenarnya, begitu pun dengan ormas lainnya mengklaim bahwa justru mereka yang paling aswaja diantara yang lainnya, dari hal sekecil inilah timbul madharat yang paling besar yaitu hancurnya ukhuwah Islamiyah.
Hal seperti ini timbul dari kaum muslimin yang kebanyakan berislam secara taqlid, padahal kita dituntut untuk tolabul ilmi apalagi dalam ilmu agama, supaya mengerti bagaimana seharusnya berislam dan berproses menuju Islam yang sebenarnya. Janganlah hanya dengan perbedaan sunat dalam solat ukhuwah Islamiyah kita korbankan, karena Islam itu bukanlah yang kita ketahui saja masih banyak ilmu Islam yang tidak kita ketahui dan mungkin saja orang lain lebih tahu dari kita.
Marilah kita mencari apa itu Islam yang sebenarnya dari pada membahas perbedaan-perbadaan kecil diantara kita. Janganlah kita dibatasi oleh kelompok, ormas, partai, ataupun apa saja dalam mendalami ilmu Islam. Islam itu berada diatas semua golongan, buka golongan diatas Islam. Lepaskanlah atribut golongan dan carilah kebenaran Islam dengan penggunaan Al-Quran, Sunnah yang shahih, Qiyas dan Ijtihad sebagai sumber kekayaan intelektual umat Islam.
Artikel diatas secara abstrak menjelaskan bahwa konsep dari taqlid terbagi dalam dua bagian. Pertama, taqlid kepada kepercayaan kita terhadap Allah sebagai Tuhan kita baik dalam dzatNya dan sifatNya. Kedua, taqlid kepada semua ilmu pengetahuan yang terus berkembang dari dulu hingga sekarang. Taqlid terhadap ilmu pengetahuan tidak bisa dihindari, karena itu adalah sebuah struktur dimana kita akan membutuhkan kekayaan intelektual dari otoritas pengetahuan dahulu untuk mengembangkan pengetahuan tersebut dengan tentu menimbulkan otoritas baru untuk masa depan. Itu sudah menjadi hal yang sistematis karena bagaimanapun juga kita tidak akan mengetahui suatu ilmu tanpa mempelajari literatur-literatur pada masa sebelum kita.
Tetapi ada satu hal yang menurut saya urgen yang terlewat dalam artikel ini. Bahwa ada satu bagian dari taqlid tersebut, yaitu taqlid pada syariat agama yang memiliki dalil qathi, seperti solat, puasa dan lain-lain. Harus digaris bawahi bahwa taqlid itu adalah orang yang mengikuti hukum syariat tetapi tidak mengetahui sumber yang menjadi syariat tersebut. Saya kira hal ini sangat penting untuk kita ketahui sebagai umat islam dan kaum intelektual. Banyak dari kita tidak tahu apa dasar dari syariat yang kita lakukan, apabila ada yang bertanya, maka kita hanya bisa menjawab : “ustadz itu juga begitu solatnya”. Sebenarnya kita tidak boleh seperti itu karena selain taqlid itu dirasa kurang pantas bagi kita selaku kaum intelektual juga apabila kita mengetahui dasar dari apa yang kita lakukan maka kita akan meresapi setiap yang dilakukan oleh kita dan memilki pahala yang lebih baik sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran surat Albaqarah ayat 170. Hukum dari taqlid tersebut para ulama masih ikhtilaf, menurut para ulama dalam kitab Jauhar Tauhid tertulis pendapat para ulama yang mengharamkan taqlid kepada manusia kecuali bagi mereka yang tidak mampu untuk mencari dasar-dasar dari syariat yang mereka jalankan, seperti orang tua yang sudah tidak mampu. Pendapat ini harus menjadi titik acuan kita sebagai penyemangat dalam mencari dasar atau paling tidak menanyakan dasar hukum tersebut kepada orang yang lebih tahu dari syariat tersebut seperti yang yang tertera di Al-Quran surat An-Nahl ayat 43.
Kemudian saya tidak setuju dengan konsep penulis tentang bolehnya taqlid dalam hal tauhid atau aqidah. Karena yang saya ketahui taqlid itu cakupannya hanya kepada syariat bukan terhadap tauhid atau aqidah. Seperti yang disebutkan diatas bahwa dalam islam terdapat normativitas islam yang dimensinya tidak akan terjangkau oleh kenisbian akal manusia. Menurut buku Imu Ushul Fiqih definisi dari taqlid adalah menerima pandapat orang lain padahal kamu tidak mengetahui sumber alasannya. Jadi taqlid tidak mencakup tauhid dan aqidah karena hal itu berkenaan dengan keyakinan kita terhadap Tuhan.
Menurut saya gambaran dari artikel tersebut adanya legalitas terhadap taqlid untuk mengetahui dan mempelajari ilmu pengetahuan yang telah ada sebagai bentuk otoritas ilmu pengetahuan terhadap kehidupan sosial kita. Penulis di dalam artikel menggambarkan bahwa taqlid dan ijtihad itu adalah satu kesatuan yang utuh, sebab dalam tataran hukum islam ijtihad itu adalah satu metode untuk menghasilkan hukum yang belum ada dalam nash Al-Quran dan Hadits. Jadi untuk jelasnya ilmu pengetahuan yang kita pelajari dengan cara kita taqlid terhadapnya itu adalah input sedangkan metodenya adalah dengan ijtihad yang menghasilkan sebuah pengetahuan.
Berbicara masalah ijtihad, dalam islam ijtihad adalah suatu metode untuk menghasilkan suatu hukum yang belum termaktub dalam nash Al-Quran dan Hadis hasil interpretasi para ulama dari Al-Quran dan Hadits yang disesuaikan terhadap keadaan masyarakat atau yang lebih kita kenal dengan kondisionalisasi islam. Ijtihad ini sangant diperlukan karena sekarang kita melihat adanya kejumudan pemahaman masyarakat islam terhadap islam itu sendiri. Kebanyakan dari umat islam sekarang hanya menjadikan hasil ijtihad ulama-ulama dahulu sebagai otoritas yang tidak bisa diganggu gugat. Hal ini sebagai akibat dari taqlid mereka terhadap pendapat suatu ulama yang menimbulkan pembenaran yang absolut terhadap pendapat tersebut, sedangkan pendapat tersebut hanya inetrpretasi dari nash-nash. Hal inilah yang menyebabkan kejumudan pemahaman umat islam terhadap islam itu sendiri yang menyebebkan kemunduran islam sampai sekarang. Tetapi yang harus digaris bawahi disini adalah tidak semua orang bisa menjadi mujtahid atau yang melakukan ijtihad karena ada syarat-syarat penting yang harus dipenuhi yang diantaranya hafal dan faham Al-Quran, menguasai ilmu alat, menguasai ilmu usul fiqih dan paham terhadap ilmu hadits.
Kejumudan dalam pemahaman islam inilah yang menjadi titik pangkal dari kemunduran islam dan konflik internal islam. Seharusnya kita bisa lebih menghargai terhadap semua perbedaan dalam islam karena Islam mempunyai dimensi historisitas yang bergantung terhadap spasial dan temporal. Ajaran islam yang tidak mempunyai dasar dalil qathi sebaiknya tidak dijadikan satu otoritas yang nantinya akan mempunyai sifat mutlak sehingga menganggap kelompok merekanlah yang paling benar dan menganggap yang lainya murtad. Na’udzubillahimin dzalik.
Wallahua’lambisshawab
No comments:
Post a Comment