Halaman

Saturday, December 1, 2012

Nabi Muhammad SAW : Periode Madinah (Bagian I)

Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Latar Belakang Hijrahnya Nabi SAW ke  Madinah
Hijrahnya Nabi SAW dari kota Makkah ke Madinah dilatarbelakangi oleh kekejaman yang dilakukan oleh kaum Quraisy Makkah terhadap Nabi dan pengikutnya. Setelah Nabi melakukan dakwah terhadap keluarganya sendiri, Nabi mulai mendakwahkan Islam secara terbuka kepada setiap orang. Nabi berdakwah ke segenap lapisan masyarakat Makkah, baik itu bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula ia menyeru penduduk Makkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Disamping itu, Nabi juga menyeru orang-orang yang datang ke Makkah, dari berbagai negeri untuk mengerjakan haji. Dengan kegigihan usaha beliau, sedikit demi sedikit penganut agama Islam semakin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja, dan orang-orang yang tak punya.
Kegiatan dakwah yang dilakukan oleh Nabi SAW ternyata mendapat tanggapan yang negatif dari masyarakat Quraisy. Mereka tidak hanya menolak masuk Islam, malah berusaha untuk menghalangi dakwah Nabi SAW. Semakin bertambah banyaknya pengikut Nabi semakin besar pula tantangan yang dilancarkan oleh kaum Quraisy. Menurut Ahmad Syalabi,[1] ada lima faktor yang mendorong orang Quraisy menentang seruan Islam, diantaranya adalah:
1.   Mereka tidak dapat membedakan antara keNabian dan kekuasaan.
Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib.
2.    Nabi Muhammad menyejrukan persamaan hak antara bangSAWan dan hamba sahaya.
3.    Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
4.   Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat dan berakar pada bangsa Arab.
Dakwah yang dilakukan oleh Nabi pada akhirnya sampai ke kota Madinah, melalui orang-orang yang datang ke Makah untuk ber haji. Mereka adalah orang-orang dari kaum Khazraj dan Aus, yang menjadi orang Madinnah pertama yang masuk Islam. Kedua kaum tersebut masuk Islam dalam tiga gelombang,[2] yaitu:
Pertama, pada tahun kesepuluh keNabian, beberapa orang Khazraj berkata kepada Nabi: “Bangsa kami telah lama terlibat dalam permusuhan, yaitu antara suku Khazraj dan Aus. Mereka benar-benar merindukan perdamaian. Kiranya Tuhan mempersatukan kembali dengan perantaraan engkau dan ajaran–ajaran yang engkau bawa. Oleh karena itu, kami akan berdakwah agar mengetahui agama yang kami terima dari engkau ini”. [3]
Kedua, pada tahun kedua belas keNabian delegasi Yastrib ( Madinah), terdiri dari sepuluh orang suku Khazraj dan dua orang suku Aus serta seorang wanita menemui Nabi dan mereka menyatakan ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian kembali ke Yastrib sebagai juru dakwah dengan ditemani oleh Mus’ab bin Umair yang sengaja diutus Nabi atas permintaan mereka. Ikrar ini disebut dengan perjanjian “Aqabah Pertama”. Penamaan ikrar Aqabah dikarenakan pertemuan mereka dengan Nabi serta pembacaan ikrar tersebut bertempat di Aqabah.[4] Mereka berikrar kepada Nabi untuk tidak menyekutukan Tuhan, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depannya atau di belakang. Jangan menolak berbuat kebaikan. Barang siapa mematuhi semua itu ia mendapat pahala surga dan kalau ada yang mengecoh, maka soalnya kembali kepada Tuhan. Tuhan berkuasa menyiksa, juga berkuasa mengampuni sebaga dosa.
Pada musim haji beriktunya, jemaah haji yang datang dari Yastrib berjumlah 73 orang. Pertemuan tersebut diadakan di gunung Aqabah pada tengah malam di hari Tasyriq. Atas nama penduduk Yastrib, mereka meminta pada Nabi agar berkenan pindah ke Yastrib. Mereka berjanji akan membela Nabi dari segala ancaman. Nabi pun menyetujui usul yang mereka ajukan. Perjanjian ini disebut perjanjian “Aqabah Kedua”. Sesudah mereka melakukan ikrar akan membela agama Islam serta Nabi nya, maka Nabi memerintahkan untuk memilih 12 orang pemimpin sebagai penanggungjawab terhadap masyarakat. Setelah mengadakan pemilihan, maka terpilihlah Sembilan orang dari kaum Khazraj dan tiga dari kaum Aus. 
Setelah kaum musyrikun Quraisy mengetahui adanya perjanjian antara Nabi dan orang-orang Yastrib itu, mereka kian gila melancarkan intimidasi termidasi kaum muslimin.  Hal ini membuat Nabi segera memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke Yastrib. Dalam waktu dua bulan, hampir semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota Mekah. Hanya Ali dan Abu Bakar yang tetap tinggal di Mekah bersama Nabi. Keduanya membela dan menemani Nabi sampai ia pun berhijrah ke Yastrib karena kaum Quraisy sudah merencanakan akan membunhnya.
Hijrahnya Muslimin ke Yastrib
Kejamnya gangguan yang didapatkan oleh kaum Muslimin di Makah memaksa Nabi memerintahkan mereka untuk hijrah ke Yastrib untuk melindungi jiwa serta agama Islam. Dipilihnya Yastrib sebagai tujuan hijrah adalah adanya perjanjian antara Nabi dengan kaum muslimin Yastrib yang tertuang dalam ikrar Aqabah I dan Aqabah II. Selain itu, kaum muslimin Yastrib (Ansor) memang meminta Nabi untuk berhijrah ke Yasrib dan menyebarkan Islam disana dan membentuk kekuasaan politik. Selain keadaan sosial dan politik di Yastrib cenderung aman, di sana juga tanahnya lebih subur dibandingkan dengan Makah. Di Yastrib terdapat pertanian, kebun kurma, kebun anggur dan lainnya. Sehingga penduduk Yastrib lebih makmur bila dibandingkan dengan penduduk Makah.
Untuk mengelabui kaum Quraisy, kaum muslimin melakukan hijrah secara sendiri-sendiri atau dengan kelompok-kelompok kecil. Namun, strategi tersebut tercium oleh kaum Quraisy. Mereka berusaha menahan orang muslim yang hendak hijrah dengan melakukan penangkapan terhadap mereka. Kaum Quraisy membujuk orang muslim untuk kembali ke agama nenek moyangnya, apabila tidak mereka tidak segan-segan menyiksa kaum muslimin. Bahkan, kaum Quraisy menahan istri-istri kaum muslimin yang akan berhijrah. Namun, usaha tersebut kembali gagal dengan alasan, jika penahanan tetap dilanjutkan, khawatir timbulnya peperangan antar kabilah di Makah. Sehingga proses hijrah dapat dilakukan dengan aman.
Rute Hijrah Nabi Muhammad SAW
Namun diantara kaum Quraisy masih ada yang berkeinginan untuk membunuh Muhammad supaya agama Islam ikut musnah. Mereka berpendapat bahwa, jika Muhammad masih hidup dan ikut hijrah ke Yastrib, mereka kuatir penduduk Yastrib itu kelak akan menyerbu Makah, atau akan menutup jalur perjalanan perdagangan mereka ke Syam atau akan membuat mereka mati kelaparan seperti yang pernah mereka lakukan dulu terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya tatkala mereka membuat perjanjian pemboikotan terhadap keluarga Muhammad, sehingga memaksa mereka untuk tinggal di celah-celah gunung selama tiga puluh bulan.
Namun, apabila Muhammad masih tinggal di Makah dan berusaha akan meninggalkan tempat itu, maka mereka masih terancam oleh adanya tindakan pihak Yastrib dalam membela Nabi. Jadi tidak ada jalan keluar bagi kaum Quraisy selain membunuh Muhammad. Dengan begitu mereka lepas dari segala bencana dan kekacauan yang ditimbulkan oleh Muhammad. Tetapi kalau juga mereka membunuhnya, tentu keluarga Hasyim dan keluarga Muttalib akan menuntut balas. Sehingga perang saudara di Makah bias terjadi.
Untuk mengatasi permasalahan ini, kaum Quraisy mengadakan pertemuan di Dar’n Nadwa. Mereka melakukan rapat untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ditimbulkan oleh Muhammad. Diantara mereka ada yang mengusulkan untuk memasukan Muhammad dalam kurungan besi. Namun saran tersebut tidak mendapatkan tanggapan. Yang lain mengusulkan untuk mengasingkan Muhammad dari Makah. Usul itu pun tidak mendapat persetujuan karena mereka takut Muhammad akan menyusul ke Yastrib. Akhirnya mereka memutuskan bahwa mereka akan membunuh Muhammad. Pembunuhan itu dilakukan dengan cara mengambil utusan dari setiap kabilah seorang pemuda yang tegap. Kemudian pemuda itu akan diberikan senjata dengan sebilah pedang yang tajam, yang secara bersama-sama dan sekaligus mereka akan membunuh Muhammad. Dengan cara ini Bani Abd Manaf dan Bani Hasyim tidak dapat melakukan balas dendam terhadap mereka.
Pada hari yang sudah ditentukan, para pemuda utusan kabilah tersebut mulai mengepung rumah Muhammad. Namun Nabi Muhammad sudah memprediksi siasat yang akan dilakukan kaum Quraisy terhadapnya. Maka Nabi memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib supaya memakai mantelnya dan tidur di ranjangnya. Sehingga Nabi dapat melarikan diri ke rumah Abu Bakar dan pergi berdua ke gua Thaur.
Nabi Muhammad dan Abu Bakar tinggal di gua Thaur selama tiga hari. Sementara kaum Quraisy setelah melakukan salah penangkapan terhadap Ali bin Abi Thalib, mereka melakukan pencarian terhadap Nabi dengan keras, bahkan mereka mencarinya disiang dan malam. Dalam gua tersebut Nabi Muhammad tidak henti-hentinya meminta pertolongan dan perlindungan dari Allah swt. Kemudian pemuda-pemuda utusan kabilah tersebut sampai didekat gua. Mereka membawa pedang serta tongkat sambil mencari jejak Muhammad. Diantara mereka ada yang mendekati mulut gua, namun dia kembali lagi.
“Kenapa kau tidak menjenguk ke dalam gua?” Tanya kawan-kawannya.
Gua Tsur
Ada sarang laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir”. Jawabnya. “Saya melihat dua ekor burung dara hutan di lubang gua itu. Jadi saya mengetahui tak ada orang disana”. Orang-orang Quraisy makin yakin bahwa dalam gua itu tak ada manusia tatkala dilihatnya ada cabang pohon yang terkuali di mulut gua. Tak ada jalan orang akan dapat masuk ke dalamnya tanpa menghalau dahan-dahan itu. Sarang laba-laba, dua ekor burung dara dan pohon. Inilah mukjizat yang diberikan Allah kepada utusannya untuk melindungi Nabinya dari gangguan orang kafir Quraisy.
Setelah tiga hari didalam gua, datanglah orang yang disewa oleh Abu Bakar untuk membawakan unta serta Asma’ putrid Abu Bakar yang membawakan makanan. Kemudian mereka berangkat dengan Abdullah bin ‘Uraiqit dari bani Du’il sebagai petunjuk jalan. Mereka mengambil jalan yang lain yang tidak biasa dilewati orang untuk ke Yastrib. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kepungan yang akan dilakukan oleh kaum Quraisy. Mereka mengambil jalan ke selatan kemudian menuju Tihama didekat pantai Laut Merah lalu menuju ke utara.
Jalan-jalan yang dilalui oleh mereka bukanlah jalan yang mudah. Keadaan alam yang mempersulit perjalanan mereka. Mereka melintasi batu-batu karang dan lembah-lembah yang sangat curam. Dan sering pula mereka tidak mendapatkan sesuatu yang akan menaungi diri mereka dari panasnya matahari, tidak ada tempat bernaung untuk istirahat pada malam hari dan juga tidak ada tempat berlindung dari ancaman binatang buas.

Mesjid Quba
Dalam perjalanan, Nabi singgah terlebih dahulu di daerah bernama Quba- dua farsakh jauhnya dari  Madinah. Empat hari Nabi tinggal disana, ditemani oleh Abu Bakar. Selama tinggal disana, Nabi membangun sebuah Masjid yang diberi nama Quba. Setelah itu, datanglah Ali bin Abi Thalib setelah menyelesaikan urusan di Makah. Ali bin Abi Thalib berangkat dari Makah ke  Madinah dengan berjalan kaki. Malam hari ia berjalan, sementara siangnya ia bersembunyi.
Sementara di Yastrib, penduduk Yastrib sudah menantikan kedatangan Nabi mereka. Berita-berita mengenai hijrahnya Nabi yang akan menyusul rombongan yang lain sudah menyebar di Yastrib. Penduduk kota ini sudah mengetahui, betapa kedua orang ini mengalami kekerasan dari Quraisy yang terus menerus membuntuti. Oleh karena itu semua kaum Muslimin tetap tinggal di tempat itu menantikan kedatangan Nabi dengan hati penuh rindu ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya. Banyak diantara mereka yang belum pernah melihantnya, meskipun sudah mendengar tentang keadaannya dan mengetahui pesona bahasa serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat merka rindu sekali ingin bertemu dan melihatnya.
 Akhirnya pada hari jum’at Muhammad tiba di Madinah. Orang-orang yang terkemuka di di Medinah menawarkan diri supaya ia tinggal pada rumah mereka dengan segala persediaan dan persiapan yang ada. Tetapi Nabi meminta maaf kepada mereka. Kemudian Nabi menaiki untanya kembali melalui jalan-jalan di Yastrib, di tengah-tengah kaum muslimin yang ramai menyambutnya dan memberikan jalan sepanjang jalan yang dilewatinya. Seluruh penduduk Yastrib dan Yahudi maupun orang-orang pagan menyaksikan adanya hidup baru yang bersemarak dalam kota mereka itu, menyaksikan kehadiran seorang pendatang baru, orang besar yang telah mempersatukan kaum Aus dan kaum Khazraj, yang selama itu saling bermusuh-musuhan, saling berperang.
Supaya adil, Nabi membiarkan unta itu tetap berjalan itu sehingga berjalan. Sesampainya ke sebuah tempat penjemuran kurma kepunyaan dua orang anak yatim dari Bani Najjar, unta itu berlutut (berhenti). Ketika itulah Nabi turun dari unta dan memilih tempat itu sebagai tempat tinggal Nabi dan akan dibangun Masjid yang diberi nama Masjid Nabawi.
Keadaan Sosial  Masyarakat  Madinah
Secara geografis,  Madinah merupakan dataran yang dikelilingi oleh gunung-gunung dan perbukitan serta beriklim gurun.  Madinah merupakan pusat permukiman masyarakat Arab yang telah ada sebelum agama Islam datang. Nama pemukiman tersebut adalah Yastrib. Dalam pandangan bangsa Arab, Yastrib tidak mempunyai kedudukan apa-apa. Ia tidak sepenting kedudukan kota Mekah yang di dalamnya terdapat baitullah yang disakralkan oleh seluruh masyarakat Arab.
Dilihat dari komunitas sosialnya, penduduk Madinah sangat heterogen.[5] Secara keseluruhan, penduduk  Madinah terdiri dari sebelas kelompok. Delapan kelompok itu berasal dari bangsa Arab. Adapun yang paling dominan diantara mereka ada dua suku yaitu suku Khazraj dan suku Aus yang berasal dari Arab bagian selatan. Mereka adalah masyarakat yang menguasai lahan pertanian di  Madinah[6]. Selain delapan kelompok bangsa Arab tersebut terdapat juga tiga kelompok asing yang tinggal di  Madinah, mereka adalah suku Nadir, Qainuqa, dan Khuraizah yang waktu itu diperkirakan jumlah lelaki dewasa mereka lebih dari 2.000 orang. Mereka adalah orang-orang Yahudi yang berhijrah ke Jazirah Arabia sejak abad pertama masehi. Mereka hijrah ke  Madinah setelah berkahirnya peperangan antara abngsa Yahudi dan bangsa Romawi di tahun 70 Masehi dengan hancurnya Palestina dan pusat peribadatan Yahudi di Baitul Maqdis. Sehingga banyak bangsa Yahudi terpencar ke seluruh pelosok dunia, termasuk sebagian besar mereka berhijrah ke Jazirah Arab[7]. Mereka lebih menguasai dunia perdagangan karena mereka tinggal di pusat pemukiman Yastrib. Selain berdagang, penduduk  Madinah juga ada yang melakukan pertanian. Hal tersebut dikarenakan keadaan wilayah kota  Madinah adalah lembah yang subur.
Sesampainya Nabi di  Madinah, Nabi segera menegakan masyarakat Islam yang kokoh dan toleran, dan sebagai langkah pertama kearah itu, Nabi membangun Masjid yang diberi nama Masjid Nabawi. Tidak heran kalau Masjid merupakan asas utama dan terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam, karena masyarakat Islam tidak akan terbentuk kokoh dan rapi kecuali dengan adanya komitmen terhadap aqidah, dan tatanan Islam, hal ini bias ditumbuhkan melalui pembangunan dan penggunaan Masjid sebagai tempat ibadah[8]. Dalam membangun Masjid tersebut Nabi juga ikut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum Muslimin dari kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula bersama-sama membangun. Selesai Masjid tersebut dibangun, disekitarnya dibangun pula tempat tinggal Nabi.
Mesjid Nabawi
Masjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas, keempat temboknya dibuat dari batu bata dan tanah. Atapnya sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi dibiarkan terbuta, dengan salah satu bagian lagi digunakan tempat orang-orang fakit miskin yang tidak punya tempat tinggal. Tidak ada penerangan dalam Masjid tersebut pada malam hari.
Sebagai langkah selanjutnya, Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya dari kaum Muhajirin (orang yang berhijrah) dan Anshar (masyarakat Yastrib). Sebab masyarakat manapun, tidak akan berdiri tegak, kokoh tanpa adanya kesatuan dan dukungan anggota masyarakatnya. Sedangkan dukungan dan kesatuan tidak akan lahir tanpa adanya persaudaraan dan saling mencintai.
Mesjid Nabawi sekarang
Dalam ajaran Islam, kesempurnaan seseorang selaku individu akan memberikan dampak yang sangat besar pada berbagai aspek kehidupan sosial karena individu merupakan anggota pokok dalam struktur masyarakat. Tidak ada dinding pemisah antara kualitas kehidupan individu dan kualitas kelompok masyarakatnya. Dan pada realitasnya Islam menempatkan keseimbangan diantara kemashlahatan keduanya.[9] Diantara yang dipersaudarakan adalah Abu bakar Ash Shiddiq dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khattab dengan Utbah bin Malik, Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Rabi, Ammar bin Yasir dengan Hudzaifah bin Yaman, Abu Dzar dengan Al Munzir bin Amr, Hamzah bin Abdul Muthalib dengan Zaid bin Haritsah, Bilal bin Raba dengan Abu Ruwaihah Abdullah bin Abdurrahman al Khats’ami dan sahabat-sahabat lainnya yang mencapai 90 orang[10].
Persaudaraan yang dilakukan oleh Rasulullah diantara kaum muslimin tersebut tidak hanya antara Muhajirin dan Anshar saja, tetapi lebih luas dari itu, yakni dilakukan antara sesama orang-orang Muhajirin, dan sesama orang-orang Anshar. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah dengan maksud merekatkan hubngan antara kabilah-kabilah kaum Muhajirin dan lebih khusus merekatkan hubungan suku Aus dan suku Khazraj yang sering berperang sebelum kedatangan Rasulllah ke  Madinah. Menurut Imam Abdur Rahman al-Khats'ami dalam kitabnya Ar-Raudhul Unuf menyebutkan: "Maksud dari persaudaraan ini adalah untuk menghilangkan kesepian lantaran meninggalkan kampong halaman mereka, dan menghibur karena berpisah dengan keluarga, disamping agar mereka  saling membantu satu sama lain"[11].
Kaum Anshar memerima tali persaudaraan dari kaum Muahjirin yang sejak semula sudah mereka sambut dengan penuh gembira. Sebabnya ialah, mereka telah meninggalkan Mekah, dan bersama itu mereka tinggalkan pula segala yang mereka miliki, harta benda dan semua kekayaan. Sebagian besar ketika mereka memasuki  Madinah sudah hamper tak ada lagi yang akan dimakan disamping mereka bukan orang yang berada dan berkecukupan selain Usman bin Affan. Sedangkan yang lain sedikit sekali yang dapat membawa sesuatu yang berguna dari Mekah.
Persaudaraan antara Muhajirin dengan Anshor diabadikan oleh Allah dalam Al Quran surat Al Hasyr ayat 9 :
Artinya "Dan orang-orang yang telah menempati kota  Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”.




[1] Ahmad Syalabi, Mausu’at al tarikh al Islami wa al Hadharat al Islamiyyah 87-90.
[2] Ahmad Syalabi, Mausu’at Al-Tarikh Al Islami Wa Al-Hadharat Al-Islamiyah,  104-5.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 25-26.
[4] ibid hal 26
[5] Ajid Tohir, Kehidupan Umat Islam Pada Masa Rasulullah, hlm 86
 [6] Tanah kota Yastib sangat subur untuk bercocok tanam, itulah sebabnya kebanyakan penduduknya menyandarkan hidupnya dari bercocok tanamn. Hasil utamanya adalah buah kurma, anggur dan sayur mayor. Jika musim hujan hasil kebun penduduk yastrib sangat melimpah sehingga digunakan sebagai alat tukar menukar pengganti uang. Lihat Abu Hasan Ali Al Hasany An Nadwy, As-Sirah An Nabawiyyah, Terj Bey Arifin, Surabaya: Bina Ilmu 1983 hlm 165.
[7] Ibid hlm 151.
[8] Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Rabbani Press, 2001, hlm 171.
[9] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Qur’an Al-Karim Bunyatuhu Al-Tasyri’iyyat Wa Khashaisuhu Al Hadlariyyat, Dar Fikr Al-    Mu’ashir, Beirut , Libanon, 1993;162.
[10] Lihat Ahzami Saimun Jazuli, Hijrah dalam Pandangan Al Quran, Jakarta: Gema Insani Press. 2006. Hlm 262.
[11] Ahmad Shalaby, Masyarakat Islam, Jogjakarta: tanpa penerbit hlm 41-42.

1 comment: