Halaman

Monday, May 23, 2011

Sekilas tentang Keraton Ratu Boko dan Borobudur dalam Sejarah

Sebuah Catatan bagi Fahmi Basya

Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Dalam deskripsi Fahmi Basya tentang singgasana ratu Saba yang diasumsikan sebagai Candi Borobudur yang terletak di kota Magelang Jawa Tengah disebutkan ada beberapa keterangan yang menunjukan bahwa Candi Borobudur adalah singgasana ratu Saba yang hidup pada zaman nabi Sulaiman. Pendapat Fahmi Basya didasarkan pada ayat al Quran yang menunjukan tempat yang bernama Saba berikut keterangannya. Dari keterangan tersebut Fahmi Basya menghubungkan antara Saba dengan Wonosobo, Istana Ratu Boko, Borobudur dan Majapahit. Fahmi menarik fakta yang menurutnya berhubungan sehingga membuat deskripsi tentang singgasana ratu Saba itu adalah candi Borobudur.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus pahami terlebih dahulu bagaimana sebuah sejarah di tulis. Suatu peristiwa yang ditulis menjadi sejarah harus didasarkan pada bukti-bukti yang valid dan kuat. Untuk menghasilkan sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah kita harus menjalani tahapan-tahapan (metodologi) dalam penelitian sejarah mulai dari heuristik (pencarian sumber), kritik sumber, baru historiografi (penyajian kedalam tulisan). Setelah melewati tahapan-tahapan tersebut sebuah narasi baru bisa dikatakan sejarah, sebaliknya apabila tidak melewati metodologi tersebut tidak bisa dikatakan sebagai sejarah hanya bisa dianggap asumsi belaka.
Dalam deskripsi Fahmi Basya tentang singgasana Saba terdapat banyak sekali kekeliruan yang menyebabkan deskripsi tersebut tidak layak untuk disebut sejarah. Menurutnya di Saba ada istana yang hilang yang diasumsikan sebagai Istana Ratu Boko. Jika dilihat dari sejarah, Istana Ratu Boko adalah peninggalan kerajaan Mataram Kuno (Jawa Tengah) yang bercorak Hindu meskipun ada beberapa rajanya yang beragama Budha. Istana Ratu Boko adalah keraton Kerajaan Mataram Kuno yang dibuat oleh dinasti Saylendra pada abad ke 9 Masehi yang berfungsi sebagai pertahanan dan tempat tinggal raja. Hal ini didasarkan pada bukti yang kuat yaitu prasasti (batu tulis) Ratu Boko. Hal ini juga diperkuat oleh demografi (tata letak) keraton Ratu Boko didasarkan pada kosmis ajaran Hindu yaitu terletak didataran tinggi. Alasannya, raja/keluarga raja harus tinggal di tempat yang tinggi sesuai dengan status sosialnya sebagai pemimpin. Bukan hanya dalam hal tempat tinggal tetapi juga dalam hal pemakamannya, sehingga raja-raja Jawa suka dimakamkan di dataran tinggi sebagai contoh dataran tinggi Imogiri yang menjadi kompleks pemakaman raja Mataram Islam. Hal ini dapat dimengerti karena mistik Hindu sampai sekarang masih kental dalam kehidupan masyarakat Jawa sehingga ada istilah Islam kejawen yang masih melakukan praktek-praktek agama Hindu seperti bakar kemenyan dll.
Didalam kompleks keraton ini terdapat prasasti (batu bertulis) yang dikenal sebagai prasasti Ratu Boko yang dibuat pada pertengahan abad ke 9 yang memuat tentang peperangan antara raja Mataram Kuno yaitu Balaputra Dewa dari keluarga Saylendra dengan Jatiningrat (Rakai Pikatan) dari keluarga Sanjaya. Dilihat dari segi nama raja, yaitu Balaputra Dewa, nama raja ini sudah mirip dengan nama orang India, berbeda dengan nama asli orang Jawa atau orang Indonesia sebagai contoh nama raja dari kerajaan Kutai yang pertama yaitu Kudungga. Nama Kudungga diasumsikan adalah jenis nama asli orang Indonesia berbeda dengan nama-nama raja selanjutnya seperti Purnawarman, Mulawarman dll. Hal ini dikarenakan pengaruh budaya India yang kuat termasuk masuknya agama Hindu dan Budha yang masuk ke Indonesia yang berasal dari India bukan nama yang berasal dari bahasa Arab sebagaimana bahasa al Quran. Namun ketika Islam masuk ke Indonesia dan membentuk suatu kerajaan baru nama-nama raja berasal dari bahasa Arab seperti nama raja Demak yaitu Raden Patah, raja Cirebon yaitu Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), raja Banten Sultan Maulana Yusuf, raja Gowa Tallo Hasanudin dll.
Selain dilihat dari segi nama raja, dalam kompleks Ratu Boko terdapat arca-arca (patung) yang bercorak Hindu dan Budha. Karena kerajaan ini diperintah oleh dua dinasti yaitu Saylendra (Budha) dan Sanjaya (Hindu). Arca-arca tersebut sama dengan arca yang ditemukan didalam candi-candi Hindu Budha lainnya bahkan sama dengan arca-arca yang ditemukan di India sebagai asal dari kedua agama tersebut seperti arca dewa Siwa, Brahma, Wisnu dan patung Sidharta Gautama atau sang Budha. Selain itu letak Ratu Boko yang diatas pegunungan sehingga dapat melihat keberbagai wilayah yang terdapat candi-candi seperti candi Kalasan, candi Ceto, candi Prambanan dan Borobudur. Sehingga diasumsikan bahwa pada waktu itu toleransi beragama sangat kuat antara agama Hindu dan Budha.     
Borobudur
Kata candi berasal dari kata candika yaitu nama lain dari istri dewa Siwa (Hindu) yaitu Dewi Durga Mahesasuramardini yang dilambangkan sebagai dewi kematian. Jadi fungsi candi di Indonesia khususnya candi Hindu selain untuk beribadah tetapi juga sebagai pemakaman raja atau tempat menyimpan abu jenazah raja. Berbeda dengan fungsi candi di India yang hanya untuk beribadah saja sehingga penamaannya juga bukan candi tapi kuil.
Berbeda dalam candi Budha yang kemungkinan hanya untuk beribadah saja karena tidak ada tempat didalamnya untuk menyimpan abu jenazah. Dalam candi Hindu abu jenazah disimpan di dalam badan candi (bagian bawah candi) di dalam yoni yang ditutup oleh lingga yang diatas lingga terdapat patung dewa. Yoni adalah sebuah batu berbentuk persegi yang memiliki lubang ditengah dan lingga adalah batu panjang bulat yang nantinya dimasukan kedalam lubang yoni. Yoni adalah perlambangan perempuan dan lingga adalah perlambangan laki-laki keduanya adalah perlambangan kesuburan dalam agama Hindu.
Borobudur dibangun antara tahun 780 M dan 825 M oleh dua raja Saylendra yaitu Wisnu dan Samaratungga. Makna dari nama Borobudur diturunkan dari nama Bhumisambharabhaudara yang berarti ‘Gunung kumpulan kebajikan pada tahap’. Maksudnya gunung kebajikan pada 10 tahap untuk menjadi Bodhisatva. Penyebutan gunung pada Borobudur sesuai dengan letaknya yang berada diatas bukit.
Borobudur memiliki tinggi 34,5 m. Bentuk bagian dasarnya adalah bujursangkar dengan sisi berpanjang 123 m. Borobudur ini memiliki keunikan-keunikan tertentu. Selain melambangkan agama Budha, Borobudur juga mengakomodasi ritual-ritual agama nenek moyang dengan bentuknya yang berteras-teras mirip dengan punden berundak yang digunakan untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang ( kepercayaan animisme dan dinamisme).
Jika dilihat dari atas, Borobudur akan terlihat seperti persegi yang memiliki tiga tingkatan. Tiga tingkatan dalam borobudur memiliki arti :
a.       Tingkat paling bawah (kamadhatu), menunjukan dimana manusia didominasi oleh hasrat nafsunya. Ini didasarkan pada relif yang terdapat di dinding tingkat paling bawah.
b.      Tingkat tengah (rupadhatu), menunjukan dimana manusia dapat mengalahkan hasrat nafsunya namun masih tergantung kepada bentuk fisiknya. Ini sesuai dengan relif yang terdapat di dinding tingkat tengah.
c.        Tingkat atas (arupadhatu), menunjukan dimana manusia bebas dari semua ikatan fisik dan emosi. Hal ini sesuai dengan tiga teras yang melingkar dan stupa tengah yang terbesar.
Patung-patung di Borobudur tidak mungkin patung nabi Sulaiman alaihisalam karena wujud patung tersebut adalah patung Budha yang sama dengan patung-patung Sidharta Gautama (Budha) yang lainnya di seluruh dunia. Namun nilai penting dari patung Budha yang belum terselesaikan di stupa tengah tetap menjadi sebauh misteri. Selain itu ajaran-ajaran yang terdapat dalam relif Borobudur adalah ajaran Budha.
Tambahan
Fahmi Basya juga mengasumsikan bahwa buah pahit yang terdapat dalam al Quran adalah buah Maja yang diidentikan dengan kerajaan Majapahit. Yang selanjutnya dijadikan buah bibir atau pembicaraan (buah mulut). Dalam hal ini Fahmi Basya menyiratkan bahwa keberadaan Majapahit hanya diketahui dari buah bibir saja (cerita rakyat). Menurut hemat saya, buah mulut berarti cerita atau legenda yang diturunkan secara turun temurun yang faktanya tidak ada seperti cerita Sangkuriang dan Malin Kundang. Namun kerajaan Majapahit memiliki bukti yang sangat kuat bukan hanya cerita legenda dengan ditemukannya prasasti-prasasti keraton dan candi-candi. Jadi pendapat Fahmi Basya tentang Majapahit sebuah legenda adalah salah karena terdapat bukti-bukti yang kuat.
Kemudian tentang banjir besar yang diturunkan Allah dihubungkan dengan gletser (es) yang mencair di kutub utara dan kutub selatan sehingga menenggelamkan sebagian negri saba kurang tepat. Secara kronologis (urutan waktu) mencairnya gletser (es) terjadi beberapa ribu tahun sebelum masehi sedangkan candi Borobudur dan istana Ratu Boko dibuat pada abad ke 8 masehi dan 9 masehi. Jadi antara banjir dalam al Quran tidak ada hubunganya dengan dibangunnya Borobudur.

                                                                                                                                               

Saturday, May 14, 2011

Prasasti-Parasasti Kerjaan Tarumangara

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

1.      Prasasti Ciaruteun

Prasasti ini ditemukan pada alur sungai Ciaruteun, kira-kira 100 meter ke arah hilir dari tempat asal batu itu berada, aliran sungai Ciaruteun bermuara ke Cisadane. Prasasti Ciaruteun ditulis dengan huruf Wenggi atau Pallawa dalam bahasa Sangsakerta seanyak empat baris, masing-masing delapan suku kata. Bunyi bacaannya:

vikkrantasyavanipateh
crimatah purnavarmmanah
tarumanagararendrasya
vishnovira padadvayam

Terjemahannya: Kedua jejak telapak kaki yang seperti jejak telapak kaki Wisnu ini kepunyaan penguasa dunia yang gagah berani yang termasyhur Purnawarman raja Tarumanagara. (Prof. Vogel)

2.      Prasasti Kebon Kopi

Prasasti ini terletak di kampung Muara tidak jauh dari tempat prasasti Ciaruteun. Penamaan kebon kopi, dikarenakan pada waktu dulu daerah ini merupakan lahan perkebunan kopi milik Jonathan Rig. Ia juga yang melaporkan adanya kedua prasasti tersebut (Ciaruteun dan Kebon Kopi) kepada Dinas Purbakala di Jakarta. Namun, penduduk setempat biasa menyebutnya dengan prasasti batu tapak gajah, karena pada prasasti tersebut terdapat dua buah ukiran telapak gajah. Isi prasasti hanya satu baris, ditulis dengan huruf Pallawa dalam bahasa Sansakerta. Bunyi bacaannya:
Jayavicalasya tarumendrasya hastinah – airavatabhasya vibhatidam padadvayam

Terjemahannya: (ini) dua jejak telapak kaki Airwata yang perkasa dan cemerlang, gajah kepunyaan penguasa Taruma yang membawa kemenangan. (Prof. Vogel)

3.      Prasasti Jambu

Prasasti ini terdapat di pucak bukit Koleangkak, Kecamatan Leuwi Liang di Kabupaten Bogor,. Pada kaki bukit mengalir sungai kecil Cikasungka. Dahulu daerah itu termasuk tanah perkebunan Jambu sehingga prasasti ini dikenal dengan Prasasti Jambu. Isinya ada dua baris dalam huruf Pallawa dan bahasa Sansakerta. “Diatas” bagian yang ditulis terdapat lukisan sepanjang telapak kaki. Bacaannya:
-    criman data krtajnyo narapatir asamo yah pura tarumayan namma cri purnnavarmma pracuraripucarabedyavikhyatavarmmo
-  tasydam padavimbadvyam arinagarotsadane nityadaksham bhaktanam yandripanam bhavati sukhakaram calyabhutam ripunam

Artinya: Lukisan dua telapak kaki ini kepunyaan yang termasyhur setia dalam tugasnya (yaitu) raja tanpa tandingan yang dahulu memerintah Tarumanagara bernama Sri Purnawarman yang baju perisainya tidak dapat ditembus oleh tombak musuh-musuhnya, yang selalu menghancurkan kota(benteng) musuh, yang gemar menghadiahkan makanan dan minuman lezat kepada mereka (yang setia kepadanya) tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya. (Prof. Vogel)

4.      Prasasti Cidangiang
Prasasti ini baru ditemukan (dilaporkan) tahun 1950 an. Letaknya pada aliran sungai Cidangiang di desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Pada prasasti ini juga terdapat lukisan telapak kaki. Bacaannya:
vikrantayam vinapateh
prabbhuh satyaparakramah
narendraddhvajabutena crimatah
purnnavarmmanah

Artinya: (Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyhur Purnawarman. (Prof. Vogel)

5.      Prasasti Tugu 

Prasasti ini ditemukan di kampung Batutumbu, desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya (dahulu Cilincing) di Kabupaten Bekasi. Batu yang digunakan berbentuk blat hampir menyerupai kerucut sehingga baris-baris hurufnya dituliskan melingkat. Keseluruhannya ada lima baris berhuruf Pallawa berbahasa Sansakerta. Pada batutulis ini tidak terdapat lukisan telapak kaki. Bacaannya:



 pura rajadhirajena guruna pinabahuna khata khyata puri prapya
candrabhagarnna yayau // pravarddhamana dvavinca dvatsare crigunaujasa narendradhvajabutena
crimata purnnavarmmana // prarabhya phalgunemase khata krsna tsamitithau caitracukla trayodacya dinai siddhaika vincakai
ayata shatsahasrena dhanusha(m)sa catena ca dvavincacena nadi ramya gomati nirmalodakna // pitamahasya rajasher vvidarya cibiravani
brahmanair ggosahasrena prayati krtadakshino//

 Artinya: Dahulu sungai Candrabaga digali oleh Rajadirajaguru yang berlengan kuat (besar kekuasaannya), setelah mencapai kota yang ashur, mengalirlah ke laut. Dalam tahun ke 22 pemerintahannya yang makin sejahtera, panji segala raja, yang termasyhur Purnawarman, telah menggali saluran sungai Gomati yang indah, murni airnya, mulai tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna dan selesai tanggal 20 bagian terang bulan Caitra, selesai dalam 20 hari. Panjangnya 6122 busur mengalir ke tengah-tengah tempat kakeknya, Sang Rajesi. Setelah selesai dihadiahkan 1000 ekor sapi kepada brahmana. (Prof Vogel)
Menurut Prof Vogel, panjang 6122 busur itu kira-kira sama dengan 11 kilometer. Menurut pendapatnya, bila saluran sepanjang itu dapat diselesaikan dalam waktu hanya 20 hari, tentu itu hanya “salura kecil” saja.

Patut disayangkan, bahwa tidak ada satupun diantara prasasti diatas yang menyebutkan angka tahun. Prasasti tugu hanya menampilkan tanggal dan masa pemerintahan Purnawarman tahun ke 22. Dari bentuk huruf dan bahasanya Prof. Vogel memperkirakan bahwa prasasti-prasasti Purnawarman berasal dari pertengahan abad ke 5. Akan tetapi kemudian Prof. Casparis memudakannya menjadi abad ke 6.

Sumber
Danasasmita, Saleh. Sejarah Jawa Barat: Jilid Kedua. Kerta Mukti Gapuraning Rahayu: Bandung

Monday, May 2, 2011

Téks Carita Parahyangan

Terjemahan bahasa Sunda Sekarang :


I

Enya kieu Carita Parahiyangan teh.
Sang Resi Guru boga anak Rajaputra.
Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk.
Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja.
Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati,
oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung.
Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun.

II

Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si Naragati, nyayang di pangjarahan Bagawat Resi Makandria. Anakna dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna.
Carek bikangna: "Kacida hinana, lamun urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh
Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara da henteu boga anak."
Carek Bagawat Resi Makandria: "Kumaha rek boga anak. Da kawin oge henteu."
Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: "Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka
Kendan."
Manehna datang ka Kendan.
Carek Sang resi Guru: "Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak
datang ka dieu?" "Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun
pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati.
Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak."
Carek Sang resi Guru: "Jig hidep ti heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu
geuwat susul Bagawat Resi Makndria. Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh,
anaking."
Pwah Rababu terus nyusul, dating ka patapan Sang Resi Makandria, teu diaku rabi.
Kabireungeuheun aya widadari geulis, ngarupakeun Pwah Mandjangandara, nya geuwat
Rasi Makandria ngajadikeun dirina Kebowulan. Terus sanggama.
Carek Sang Resi Guru: "Enten, anaking Pwah Sanghiang Sri! Jig hidep indit ngajadi ka
lanceuk hidep, ka Pwah Aksari Jabung."
Ti dinya Pwah Sanghiang Sri indit sarta terus nitis, nya lahir Pwah Bungatak
Mangalengale.

III

Carek sang Mangukuhan: "Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan."
Sadatang ka tegalan, kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan.
Diudag ku limaan, sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna
numbakna, nya manehna piratueun.
Keuna ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh.
Kebowulan lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh.
Ku Sang Wretikandayun dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur
nyusu ka Pwah Manjangandara.
Pwah Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka
Rahiangta di Medangjati.

IV

Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang
Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale.
Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang
Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang.
Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli,
Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang
Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit.
Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan
sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumenbumen,
harita teh nya nyusun Purbatisti.
Lawasna jadi ratu salapanpuluh taun. Diganti ku Rahiang Kulikuli, lawasna jadi ratu
dalapanpuluh taun. Diganti ku Rahiangtang Surawulan, lawasna jadi ratu genep taun,
katujuhna diturunkeun, lantaran goring lampah. Diganti ku Rahiangtang Pelesawi,
lawasna jadi ratu saratusdualikur taun, lantaran hade lampah. Diganti ku Rahiangtang
Rawunglangit, lawasna geneppuluh taun.

V

Diganti ku Rahiangtang Mandiminyak.
Anak Rahiangta di Menir teh aya tiluan, nu cikal nya Rahiang Sempakwaja, ngadeg
Batara Dangiang Guru di Galunggung; Rahiangtang Kidul, ngadeg Batara Hiang Buyut
di Denuk; Rahiangtang Mandiminyak ngadeg ratu di Galuh.
Carek Sang Resi Guru: "Karunya aing ku Rahiang Sempakwaja henteu boga pamajikan.
Anaking Pwah Rababu! Hidep leumpang ungsi Rahiang Sempakwaja, lantaran aya
manehna pibatureun hidep tatapa."
Sang Resi Guru ngagesek totopong jadi jaralang bodas, nya indit nyampeurkeun
Rahiang Sempakwaja, nu harita kabeneran keur ngawelit.
Carek Sanghiang Sempakwaja: "Na naha nya aya jaralang bodas etah?"
Cop nyokot sumpit, terus diudag rek disumpit. Pwah Rababu kapanggih eukeur mandi
di talaga Candana.
Carek Rahiang Sempakwaja: "Ti ma etah nu mandi?" Sampingna dileled ku sumpit,
beunang. Aya baturna para Pwah Aksari, tuluy lalumpatan ka tegalan.
Pwah Rababu dibawa ku Rahiang Sempakwaja, dipirabi. Kacida dipikaasihna. Nya lahir
anakna lalaki duaan, nya eta Rahiang Purbasora jeung Rahiang Demunawan.

VI

Barang ngadenge tatabeuhan ngaguruh teu puguh rungukeuneunana, tatabeuhan di
Galuh, Pwah Rababu terus mulang ka Galuh di dinya teh taya kendatna nu ngigel.
Sadatangna kaburuan ageung, cek Rahiangtang Mandiminyak: "Patih, na naon eta
ateh?"
"Bejana nu ngigel di buruan ageung!"
"Eta bawa pakean awewe sapangadeg, sina marek ka dieu. Keun tanggungan aing.
Geuwat bawa sacara paksa!"
Patih indit ka buruan ageung. Pwah Rababu dibawa ka kadaton. Dipirabi ku
Rahiangtang Mandiminyak. Kacida bogohna ka Pwah Rababu. Tina sapatemonna, nya
lahir anak lalaki dingaranan Sang Sena.

VII

Carek Rahiang Sempakwaja: "Rababu jig indit. Ku sia bikeun eta budak ka Rahiangtang
Mandiminyak, hasil jinah sia, Sang Salahlampah."
Rababu tuluy leumpang ka Galuh.
"Aing dititah ku Rahiang Sempakwaja mikeun budak ieu, beunang sia ngagadabah aing
tea."
Carek Rahiangtang Mandiminyak: "Anak aing maneh teh, Sang Salah?"
Carek Rahiangtang Mandiminyak deui: "Patih ku sia budak teh teundeun kana
jambangan. Geus kitu bawa kategalan!"
Dibawa ku patih ka tegalan, Samungkurna patih, ti eta tegalan kaluar kila-kila nepi ka
awang-awang. Kabireungeuh ku Rahiangtang Mandiminyak.
"Patih teang deui teundeun sia nu aya budakna tea!"
Ku patih diteang ka tegalan, kasampak hirup keneh. Terus dibawa ka hareupeun
Rahiangtang Mandiminyak. Dingaranan Sang Sena.

VIII

Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang
Sena. Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora.
Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri.
Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta
dibunikeun.
Carek Rahiangtang Kidul: "Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku
ti Galuh. Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
sarta anak saha sia teh?"
Carek Rakian Jambri: "Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku
Rahiang Purbasora."
"Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga
ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka
tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda."
Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti dinya
ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.
Carek Rabuyut sawal: "Sia teh saha?"
"Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh,
'retuning bala sarewu', anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang
Resi Guru."
Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang
ka Galuh.
Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan
tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya.

IX

Carek Rahiang Sanjaya: "Patih, indit sia, tanyakeun ka Batara Dangiang Guru, saha
kituh anu pantes pikeun nyekel pamarentahan di urang ayeuna."
Sadatangna patih ka Galunggung, carek Batara Dangiang Guru: "Na aya pibejaeun
naon, patih?"
"Pangampura, kami teh diutus ku Rahiang Sanjaya, menta nu bakal marentah, adi
Rahiang purbasora."
Hanteu dibikeun ku Batara dangiang Guru.
Carek Batara Dangiang Guru: "Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan.
Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji
Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang
Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian,
nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu
kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti."
Rahiang Sanjaya tuluy perang ka Kuningan. Eleh Rahiang Sanjaya diubeuber, nepi ka
walungan Kuningan. Rahiang Sanjaya undur.
"Teu meunang hanteu aing kudu ngungsi ka dieu, lantaran diudag-udag, kami kasoran."
Ti dinya Rahiang Sanjaya mulang deui ka Galuh, Sang Wulan, Sang Tumanggal mulang
deui ka Arile.
Rahiang Sanjaya tuluy marek ka Batara Dangiang Guru, Carek Batara Dangiang Guru:
"Rahiang Sanjaya, naon pibejaeun sia, mana sia datang ka dieu?"
"Nya eta aya pibejaeun, apan kami dipiwarang, tapi kami eleh. Ti mana kami unggulna,
anggur kami diuber-uber ku Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di
Kuningan." Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.

X

Carek Sang Wulan, Sang Tumanggal, sang Pandawa di Kuningan: "Mawa pisajieun,
urang miang ka Galunggung, pakean lalaki sapangadeg, pangcalikan, munding sarakit
(?), beas sacukupna pikeun dahar."
Sadatang ka Galunggung, eureun di Pakembangan. Kasampak ku (Sang) Pakembangan.
tuluy popojan ka Batara Dangiang Guru.
Carek Batara Dangiang Guru: "Aya beja naon?"
"Pun Batara Dangiang Guru! Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di
Kuningan."
"Kacida bagjana sia datang ka dieu. Jung miang ka Galuh. Ondang Rahiang Sanjaya,
caritakeun, kudu mawa pisajieun, pakean lalaki sapangadeg, pangdiukan wulung,
munding sarakit (?), kawali beusi jeung beas sacukupna pikeun dahar."
Sadatang sia ka Galuh, carek Rahiyang Sanjaya: "Aya pibejaeun naon, sia
Pakembangan?"
"Kami teh dititah ku Dangiang Guru. Rahiang Sanjaya supaya mawa pisajieun
salengkepna. Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan."
Rahiang Sanjaya indit.
Barang nepi ka hareupeun Dangiang Guru, carek Dangiang Guru: "Rahiang Sanjaya!
Lamun kaereh ku sia Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,
aing bakal nurut kana sagala ucapan sia. Da beunang ku aing kabawah. Turut kana
ucapan aing. Da aing wenang ngelehkeun, hanteu kasoran. Da aing anak dewata."
Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan kabawah ku Batara
Dangiang Guru.
Sang Wulan dijenengkeun Guruhaji di Kajaron.
Sang Tumanggal dijieun Guruhaji Kalanggara di Balamoha.
Sang Pandawa di Kuningan jadi Guruhaji Lajuwatang.
Sang Puki jadi Guruhaji di Pagerwesi.
Sang Manisri dijadikeun Buyuthaden Rahesa di Puntang.
Buyuthaden Tujungputih di Kahuripan.
Buyuthaden Sumajajah di Pagajahan.
Buyuthaden Pasugihan di Batur.
Buyuthaden Darongdong di Balaraja.
Buyuthaden Pagergunung di Muntur.
Buyuthaden Muladarma di Parahiangan.
Buyuthaden Batuhiang di Kuningan.

XI

Rahiyang Sanjaya tumetep di Medang Ratu di Galuh, Sang Seuwakarma.
Ari adina Ratu Galuh, miara sabaraha hiji anak munding, nyieun padumukan pikeun
muja. Pindah-pindah tempat, sewabakti ka Batara Upati.
(Nelah) Rahiang Wereh, nu matak disebut kitu, waktu ditilar, adi lanceuk masih laleutik
keneh.
Teu tulus jadi ratu, lantaran (huntuna) rohang, mangkana katelah Rahiang
Sempakwaja. Rahiyang Kidul oge hanteu bisa jadi ratu sabab burut, nya jadi Wikuraja.
Sang Seuweukarma jadi Tohaan di Kuningan, lahirna di patapan, enya eta anak Rahiang
Sempakwaja.
Cek Rahiang Sanjaya: "Atuh masih pernah dulur aing, aki! Lamun kitu mah karah. Ulah
weleh mere bantuan ka aing, aki patih!"
Cek patih: "Muga-muga bae bisa deui urang ngamalkeun Sanghiang Darmasiksa. Ulah
teu digugu!"
Omongan para patih ka Rahiang Sanjaya: "Lamun haying unggul perang, geura
mangkat ti Galuh!" Prang ka Mananggul, eleh sang ratu Mananggul, Pu Anala
pamanggul juritna. Tuluy ka Kahuripan, diperangan, eleh Kahuripan, Rahiangtang
Wulukapeu taluk. Tuluy ka Kadul, diperangan eleh Rahiang Supena, taluk. Tuluy ka
Balitar, diperangan, eleh sang ratu Bima.
Ti dinya Rahiang Sanjaya nyabrang ka wilayah Malayu. Kemir diperangan, eleh
Rahiangtang Gana. Perang deui ka Keling, eleh Sang Sriwijaya. Perang ka Barus, eleh
ratu Jayadana. Perang ka Cina, eleh pati(h) Sarikaladarma.
Mulang Rahiang Sanjaya ka Galuh ti sabrang.
Tunda.

XII

Rahiangtang Kuku, Sang Seuweukarma di Arile, ngayakeun gempungan jeung para
patih; raja dicaritakeun hal pangajaran kaparamartaan.
"Nam urang rek marek, mawa kiriman ka Rahiang Sanjaya. Cokot emas sakati, lima
boehna, bawaeun urang ka Rahiang Sanjaya."
Dina danget eta, oge di Galuh ngayakeun kumpulan jeung para patih sakabeh.
"Nam urang nyieun labur di jalan gede pakeun ngabageakeun Sang Seuweukarma,
lantaran enya eta Rahiang Kuku."
"Barang datang ka sisimpangan ka Galuh jeung ka Galunggung, dipapag, dihormat
disayagian cai pikeun sibanyo."
Carek Rahiangtang Kuku: "Sang patih, bawa kami marek ka rahiang Sanjaya. Tah emas
sakati, lima boehna."
Carek sang patih: "Pun Tohaan! Boh emas boh beusi henteu diajenan ku Rahiang
Sanjaya. Nu diajenan teh ngan huripna jalma rea."
Rahiangtang Kuku jadi kabingungan. Terus mulang deui ka Arile. Carek Rahiangtang
Kuku: "Na naon pakeun urang bakti ka Rahiang Sanjaya?"

XIII

Sakitu mulyana, ieu tangtu Rahiang Sempakwaja. Ayeuna urang caritakeun
Rahiangtang Kuku, indit ka Arile, ngababakan di Kuningan.
Kasohor Rahiangtang Kuku, enya eta Sang Seuweukarma, ngadeg di Kuningan, anakna
Rahiang Sempakwaja. Indung bapana teh tempat panyaluuhan jalma rea.
Dayeuh, desa, pulo jeung sakurilingna: ti Keling bakti ka Rahiangtang Kuku;
Rahiangtang Luda di puntang; Rahiangtang Wulukapeu di Kahuripan; Rahiangtang
Supremana di Wiru; Rahiang Isora di Jawa sang ratu Bima di Bali (tar); di Kulon di
Tu(n)tang Sunda nyabrang ka wilayah Malayu. Rahiangtang Gana ratu di Kemir; Sang
Sriwijaya di Malayu, Sang Wisnujaya di Barus, Sang Bramasidi di Keling. Patihna Sang
Kandarma di Berawan; Sang Mawuluasu di Camara Upatah; Sang Pa(n)cadana ratu di
Cina.
Kabeh kabawah ku Rahiangtang Kuku. Kabeh ngaku ratu ka nu calik di Saunggalah.
Kabawah ku Sang Seuweukarma, sabab Ngukuhan ajaran Dangiang Kuning.
Di Galuh Rahiang Sanjaya nanyakeun: "Kumaha sang patih, pilukeun urang? Urang
hanetu dianggap kulawarga ku Rahiangtang Kuku. Sang patih! Jig indit sidikkeun ku
sorangan ka Kuningan. Bisa jadi urang dipajarkeun turut campur kana karia, padahal
urang henteu dibejaan, daek indit."
Sang patih nepi ka Kuningan, marek ka kadaton, terus ngabakti ka Rahiangtang Kuku.
Carek Rahiangtang Kuku: "Oh sang patih!Na naon bejana, mana dating ka dieu?"
Carek sang patih: "Kami dititah ku Rahiang Sanjaya. Diparentah nyidikkeun ka dieu.
Saha nu dijungjung, nu dijenengkeun ratu?"
Carek Rahiang Kuku: "Eh sang patih! Pantesna nya aing dijungjung dijenengkeun ratu
ku balarea. Ngan ti Rahiang Sanjaya mah henteu diharepkeun, lantaran kulawarga,
jeung moal ka kami mah, sabab dianggapna resep maehan kulakadang baraya. Malah
aing ditempatkeun ka Kuningan oge ku Rahiang Sempakwaja. Aing beunang Rahiang
Sempakwaja nempatkeun ka Kuningan ieu teh.
Mana aing teyu diganggu ku Rahiang Sanjaya."
Sang patih mulang ka Galuh.
Ditanya ku Rahiang Sanjaya: "Aki, kumaha carek Rahiangtang Kukuka urang?" "Pun,
Rahiang Sanjaya! Rahiangtang Kuku teh tapana kataekan. Ngagem Sanghiang Darma
kalawan Sanghiang Siksa. Tumut kana wisik Sang Rumuhun, jadi lulugu dina Hirup
kumbuh. Kukituna ku urang turut tanpa rasa gigis. Tembongkeun ku urang, da urang
jeung Tohaan teh saturunan, kabeh ge pada-pada turunan dewata."
Geuwat dicokot pustaka ku Rahiang Sanjaya. Barang nepi terus diungkab eta pustaka
teh. Unina kieu: "Ong awignam astu, kretajugi balam raja kretayem rawanem sang tata
dosamem, sewa ca kali cab pratesora sang aparanya retuning dewata, sang adata
adining ratu dewata sang sapta ratu na caturyuga. Sang Resi Guru tipekur di nu suni
ngayuga Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati. Nya puputra Rahiangtang Kulikuli,
Rahiangtang Surawulan, Rahiangtang Pelesawi, Rahiangtang Rawunglangit, bungsuna
Sang wretikandayun.
Sang Wretikandayun boga anak Rahiang Sempakwaja, Rahiang Kidul, Rahiangtang
Mandiminyak. Rahiangtang Mandiminyak boga anak Sang Sena, sang Sena boga anak
Rahiang Sanjaya."
Awewe geulis, Dobana mawa parahu, panjangna tujuh deupa, dibagian hareupna
dimomotan rupa-rupa pakarang.
"Urang ka nusa Demba!" Nya terus maranehanana balayar.
Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek ngamuatkeun Pwah Sangkari Pucanghaji
Tunjunghaji, ditumpakkeun dina gajah putih. Kakara ge leumpang sapanjang buruan.
Teu disangka-sangka Rahiangtang Kuku, Sang Seuweukarma cunduk ka nusa Demba,
tuluy ka kadaton, diuk tukangeun Sang Siwiragati.
Rahiangtang Kuku diudag ku gajah putih, lumpat ka buruan mawa Pwah Sangkari.
Henteu aya balik deui ka kadaton gajah putih teh, ngawula ka Rahiangtang Kuku.
Rahiangtang Kuku mulang deui ka Arile, dibawa dina gajah putih jeung Pwah Sangkari.
Pwah sangkari teh ngomong: "Naha henteu aya emas saguri, sapotong sapaha jeung
salengkepna papakean?"
Tuluy bae ka Galuh, ka Rahiang Sanjaya, henteu nyimpang ka Arile. Dibawa na gajah
putih ditutup ku lungsir putih tujuh kayu diwatangan mas mirah komara inten.
Barang dating ti nusa Demba, tuluy ka kadaton, sanggeus cunduk, Rahiangtang Kuku
nyarita ka Rahiang Sanjaya, naha resep mireungeuh gajah putih.
Tanyana: "Mana?"
Tuluy gajah putih teh ditumpakan, Pwah Sangkari disanghareupkeun ka Rahiyang
Sanjaya. Sanggeus nepi ka padaleman, henteu balik deui.
Carek Rahiang Sanjaya: "Na naon nu jadi karempan teh? Ayeuna aing hayang runtut
raut. Aing jeung bapa, Rahiang Kuku, Sang Seuweukarma. Ayeuna aing moal ngalawan.
Ayeuna urang tetepkeun: tanah bagaian Dangiang Guru di tengah, bagian Rangiang
Isora ti Wetan; jauhna nepi ka kalereun Paraga jeung Cilotiran, ti Kulon Tarum, ka
Kulon bagian Tohaan di Sunda."
Sanggeus Rahiangtang Kuku mulang ka Arile, sadatangna ka Arile, putus hancana di
dunya, hilang dina umur nu kacida kolotna.
Rahiang Sanjaya sasauran, ngawulang anakna, Rakean Panaraban, enya eta Rahiang
Tamperan: "Ulah arek nurutan agama aing, lantaran eta aing dipikasieun ku jalma rea."
Lilana jadi ratu salapan taun, diganti ku Rahiang Tamperan.

XV

Mimiti Sang Resi Guru ngawangun kuta pulo Jawa, kutana teh nyaeta Galunggung, ti
wetana Jawa.
Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala.
Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung
dulurna Rahiang Banga.
Sang manarah males pati.
Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, ku Sang Manarah. Dipanjara beusi Rahiang
Tamperan teh.
Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu kana panjara beusi tea.
Kanyahoan ku Sang Manarah, tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna
Rahiang Banga ku Sang Manarah.
Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa persembahan.
Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran
polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.
Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh taun, lantaran tabeatna hade.
Sang Manisri lilana jadi ratu geneppuluh taun, lantaran pengkuh ngagem Sanghiang
Siksa.
Sang Tariwulan lawasna jadi ratu tujuh taun.
Sang Welengan lawasna jadi ratu tujuh taun.

XVI

Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang
Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Haluwesi, nu nyaeuran
Sanghiang Rancamaya.
Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar.
"Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati."
Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga
Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima-untarayana
madura-suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata.
Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka
bukti raja utama.
Lilana ngadeg ratu saratus taun.

XVII

Rahiang Banga lawasna ngadeg ratu tujuh taun, lantaran polahna hanteu didasarkeun
kana adat kabiasaan anu bener.
Rakean di Medang lilana ngadeg ratu tujuh taun.
Rakeanta Diwus lilana jadi ratu opatlikur taun.
Rakeanta Wuwus lilana jadi ratu tujuhpuluh dua taun.
Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun, kaopatna teu cucud, lantaran salah
lampah, daek ngala awewe ku awewe.
Rakean Gendang lilana jadi ratu tilulikur taun.
Dewa Sanghiang lilana jadi ratu tujuh taun.
Prebu Sanghiang lilana jadi ratu sawelas taun.
Prebu Datia Maharaja lilana jadi ratu tujuh taun.
Nu hilang di winduraja lilana jadi ratu tilulikur taun.
Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu salapanpuluhdua taun, lantaran ngukuhan kana
lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah.
Diganti deui ku nu hilang di Winduraja, henteu lila ngadegna ratu ngan dalapanwelas
taun.
Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun
sanghiang binajapanti.
Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan
tina parahiangan.
"Tina naon berkahna?" Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang
Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.
Boga anak nu hilang di Taman, lawasna jadi ratu genep taun.
Boga anak deui nu hilang di Tanjung, lilana jadi ratu dalapan taun.
Boga anak nu hilang di Kikis, lilana jadi ratu dualikur taun.
Nu hilang di Kiding, lilana jadi
ratu tujuh taun.
Boga anak Aki Kolot, lilana jadi ratu sapuluh taun.

XVIII

Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat,
Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di
Majapahit.
Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem
di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade
ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.
Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu
eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara
Guru di Jampang.
Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak
diangkat jadi ratu.
Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta
anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang
ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu
ngasuh.
Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun
palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati 35). Dukun-dukun kalawan
tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan,
ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya
karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.
Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
Ngukuhan angger-angger raja 36), ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya
wates wangenna.
Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang
Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh
taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.

XIX

Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di
Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana
henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah
Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku
ngalanggar Sanghiang Siksa.

XX

Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh
jeung gede wawanen.
Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan
baladna aya sarewu jiwa.
Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka
Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung.
Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan.
Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka
Madangkahiangan.
Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui. Ratu tilar dunya. Lawasna jadi
ratu opatwelas taun.

XXI

Prabu Ratudeawata, enya eta nu hilang kasawah-tampian-dalem.
Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah Susu.
Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor ari dikumbah, disunat ku
tukangna, pituin Sunda eta teh.
Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana asalna. Perang di buruan ageung.
Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.
Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang pandita di Ciranjang dipaehan
tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri digubruskeun ka sagara.
Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang ngaranna, digubruskeun ka sagara,
henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun ragana di dunya. Katelah
ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang
kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh.
Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.

XXII

Diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. Enya eta anu hilang ka
Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran ratu lampahna cilaka ku awewe.
Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng maehan jalma tanpa dosa,
ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot, ngahina pandita.
Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah kitu riwayat sang ratu teh.


XXIII

Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu cicing di kadaton. Manehna nu
nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj diatur mirupa taman mihapitkeun
panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas jajar, diukir diparada
diwujudkeun rupa-rupa carita.

XXIV

Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan disebutna jaman kreta.
Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat.
Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti ka jaman kali, jaman beusi,
Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina kasenangan, ngumbar hawa napsu.
Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya, nya nurunkeun pertapa, incu
pateterean.
Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan napsu. Jelema nu ngahuma
rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan. Lila ratu ngalajur napsu dina
barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning ngumbar kasenangan borakborak
da nganggap saluyu jeung kabeungharanana.
Lilana jadi ratu genepwelas taun.

XXV

Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan.
Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam.
Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan,
perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang ka
Jawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeh
eleh ku urang Islam.
Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.

Atja .1968. Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda. Jajasan Kebudayaan Nusalarang: Bandung