Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Konflik TNI AD-PKI dan Anti Klimaks Pemerintahan Soekarno
Pada dekade tahun 60-an, peta politik Indonesia sudah meruncing dan menimbulkan tiga kekuatan politik, Soekarno, PKI dan tentara AD. Antara PKI dengan tentara AD timbul persaingan politik. Persaingan antara PKI dengan AD memuncak pada tanggal 30 September 1965 dengan diculiknya tujuh perwira AD oleh anggota PKI dari resimen Cakrabirawa di bawah komando Letnan Kolonel Untung. Ketujuh perwira tinggi AD ini dibawa ke daerah Lobang Buaya dan ditemukan tewas semuannya. PKI juga menyusup ke tubuh ABRI dengan menghasut perwira-perwira rendah ABRI yang tidak puas dengan atasannya.
Kepentingan Soekarno terhadap PKI dan TNI sangat besar. PKI sebagai Partai Komunis memberikan suara terhadap Soekarno ketika Soekarno mengeluarkan kebijakan dengan landasan sosialis. Dukungan penuh selalu diberikan oleh PKI kepada Soekarno dikarenakan kesamaan pandangan politik kiri. Namun Soekarno juga tidak bisa melepaskan peranan TNI terutama AD. TNI adalah militer yang memiliki kekuasaan untuk mengamankan Negara. Maka Soekarno berusaha untuk tetap menyeimbangkan politik terhadap TNI-PKI agar salah satu dari mereka tidak berperang secara terbuka. Karena jika salah satu dari mereka menjadi “pemenang” maka kekuasaan Soekarno akan hancur. Jika TNI menang dan PKI kalah, maka pendukung dari kebijakan Soekarno akan habis diberangus. Sebaliknya jika PKI menang dan TNI kalah, maka Soekarno akan kewalahan dengan ambisi PKI dengan revolusi nya untuk mencapai tatanan masyarakat sosialis (Negara Komunis) dan tetap saja posisi Soekarno akan hilang.
Permusuhan anatara PKI dan AD sudah dimulai sejak lama, peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948 adalah salah satu contoh. PKI yang secara massif terus mendekati Presiden Soekarno dengan persamaan ideologinya yaitu Sosialis. Manuver-manuver dilakukan oleh PKI demi kelancaran politknya. Penyusupan kedalam tubuh TNI dilakukan oleh Sjam Kamaruzaman. Kemudian PKI juga membentuk sayap-sayap ormas seperti Lekra (bidang kebudayaan), Partai Buruh Indonesia, SOBSI, Partai Sosialis, PESINDO, BTI dan Lasykar Rakyat.
Permusuhan ini meruncing ketika Perdana Menteri Cina Chou En Lai datang ke Indonesia dan menyerahkan sumbangan senjata ke Indonesia. PKI menghendaki senjata tersebut diserahkan kepada buruh tani dan membentuk Angkatan Kelima selain dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Darat dan Angkatan Kepolisian. Namun, pihak tentara AD yang sudah faham dengan strategi yang dilancarkan oleh PKI menolak dengan keras pembentukan Angkatan Kelima tersebut dengan alasan sulitnya jalur koordinasi.
Pembentukan Angkatan Kelima ini menurut PKI sangat diperlukan untuk mempersejatai relawan-relawan yang akan dikirim untuk mengganjang Malaysia. Pada 17 Maret 1961 Soekarno mengumumkan konfrontasi dengan Malaysia. Menurut Soekarno, Malaysia itu adalah proyek Nekolm dari Inggris.
Selain itu, faktor yang selanjutnya adalah ditemukannya dokumen Gilcrist oleh simpatisan PKI. Dokumen ini ditemukan ketika simpatisan PKI membakar gedung keduataan Inggris dalam rangka demonstrasi. Menurut dokumen itu, tentara AD membentuk Dewan Jenderal yang akan melakukan coup d’etat atas kekuasaan Soekarno pada hari ulang tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI dengan alibi ingin menyelamatkan Negara dari rencana kudeta militer, maka PKI mendahului gerakan mereka dengan menculik tujuh perwira tinggi AD pada tanggal 30 September 1965.
Penculikan perwira AD oleh PKI menimbulkan instabilitas politik dan ekonomi di Indonesia. Pada tanggal 2 Oktober 1965 Mayjen Soeharto diserahi tugas oleh Soekarno untuk mengambil alih komando tentara. Kekuasaan ini dilembagakan dengan pembentukan Kopkamtib (Komando Oprasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Tujuannya adalah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban pasca penculikan perwira AD.
Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Mayjen Soeharto yang disebut dengan SUPERSEMAR untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan untuk mengembalikan kestabilan politik. Namun dengan berbekal Surat Perintah yang berisi kewenangan Soeharto melakukan tindakan apa saja demi kestabilan Negara, tindakan yang pertama Soeharto adalah membubarkan PKI. Pembubaran PKI berarti pelemahan terhadap Soekarno, karena dukungan terbesar dari Soekarno adalah PKI.
Peristiwa G30S dan proses penanganannya yang dilakukan oleh TNI-AD telah terbangun persepsi dalam masyarakat bahwa terjadi dualisme kepemimpinan yakni, Mayjen Soeharto yang pada waktu itu sebagai Panglima Kostrad yang mencanangkan tema melaksanakan Pancasila dan dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen seperti berada di atas angin karena momentum dan sepertinya mengambil alih dalam melakukan pembantaian terhadap PKI, karena PKI yang dituduh merongrong Pancasila harus dilawan. Namun disisi lain Presiden Soekarno sebagai pemimpin negara yang seharusnya diminta pendapat tidak dilibatkan.
Ditambah dengan munculnya sosok Soeharto sebagai penyelamat bangsa dari kehancuran oleh PKI. Rakyat larut dalam euforia kemenangan dari PKI dan melupakan Presiden Soekarno. Dukungan muncul dari seluruh rakyat kepada Soeharto untuk membubarkan PKI dengan gerakan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Dari situlah kekuasaan Soekarno menurun dan rakyat lebih patuh kepada kekuasaan Soeharto. Selain itu, rakyat sudah muak dengan konsepsi-konsepsi yang terus dikeluarkan oleh Soekarno seperti Nasakom, Manipol Usdek, Berdikari dan lainnya. Namun di sisi lain kemerosotan ekonomi yang mengalami inflasi 600% menyengsarakan rakyat tanpa ada perbaikan dari pemerintah Soekarno.
Pada tahun 1967, MPRS yang diketuai oleh A.H. Nasution mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno selama menjabat Presiden. Pada pertanggungjawaban, laporan yang diberikan oleh Soekarno yang dirangkum dalam Nawaksara akhirnya ditolak oleh Sidang Istimewa MPRS 1967. Dengan ditolaknya laporan itu maka kekuasaan Soekarno sebagai Presiden berakhir dengan dikeluarkannya Tap MPR(S) Nomor XXXIII Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan dari Presiden Soekarno.
Peristiwa G30S ikut melemahkan posisi Soekarno sebagai Presiden dengan dilanjutkan oleh kecerdasan Soeharto menghambil tindakan yang dianggap perlu dari SUPERSEMAR sehaingga menjadi seorang pahlawan kala itu karena telah membubarkan PKI. Dengan penolakan SI MPRS tahun 1967, maka secara resmi Presiden Soekarno tidak menjabat lagi sebagai kepala Negara.