Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Ada banyak organisasi Islam yang hidup di Indonesia, dari yang bercorak konservatif, moderat hingga radikal. Munculnya fenomena ini tidak terlepas dari partisipasi demokrasi yang dianut oleh negara kita. Pasca reformasi tahun 1998, munculnya ormas-ormas ini bak jamur di musim hujan, seperti fenomena awal kemerdekaan negara ini. Disisi satu sisi ini adalah efek positif yang dihasilkan oleh sistem demokrasi dengan membebaskan seluruh warganya untuk berserikat dan berkumpul sesuai dengan Undang-Undang dasar 1945 pasal 28. Namun, efek negatif pun lebih besar dengan kebebasan yang cenerung kebablasan ini sehingga organisasi-organisasi underground mulai bisa bergerak dengan leluasa tanpa takut akan diberangus lagi oleh pihak yang berwajib.
Salah satu organisasi yang baru-baru ini hangat diperbincangkan oleh media dan menjadi headline dalam media-media nasional selama berbulan-bulan adalah Negara Islam Indonesia yang dikenal dengan NII. Secara historis, nama NII tidak bisa dilepaskan dengan salah satu nama pada periode revolusi fisik di Jawa Barat yaitu S. M Kartosuwirjo (1905-62). Berlatar belakang sakit hati karena laskar-laskar didikannya tidak dimasukan dalam komposisi tentara Indonesia dan memanfaatkan moment perjanjian Renville yang memaksa wilayah RI diperkecil, hanya tinggal Yogyakarta saja. Keadaan ini digunakan untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Cisayong, Tasikmalaya pada bulan Mei 1948 dengan menjunjung syariat Islam sebagai dasar negara.
Setelah diberangus tahun 50-an oleh pemerintahan Sukarno dengan bantuan Divisi Siliwangi yang menggunakan strategi pagar betis, kini organisasi ini booming kembali, namun dengan corak yang sangat berbeda dari pendahulunya. Kini organisasi ini begerak secara diam-diam atau underground termasuk dalam recruitment anggota.
Dewasa ini, strategi recruitment organisasi NII biasanya terpusat di kampus, yang kita tahu beratmosfir demokratis dalam segala hal. Pemilihan kampus sebagai fokus hegemoni dan kaderisasi organisasi sangat masuk akal karena dari kampuslah kemudian akan lahir kader-kaer yang militan. Kampus dijadikan basis kekuatan masa dan diproyeksikan menjadi kader-kader militan NII yang intelektual.
Atmosfir kampus yang demokratis dan lingkungan pendidikan membebaskan mereka untuk melakukan perekrutan tanpa takut akan diendus oleh pihak berwajib ataupaun masyarakat sekitar. Mereka menyadari peluang dari pola masyarakat perkotaan yang cenderung individualisitis yang acuh tak acuh bisa dijadikan “tanah untuk digarap” oleh mereka. Apalagi kenyataan bahwa kebanyakan mahasiswa-mahasiswa itu tinggal nge-kost, jauh dari rumah menjadikan mereka leluasa mencuci otak mahasiswa dan mencetak kader militan yang lebih banyak.
Bebasnya kehidupan mahasiswa rantau, benar-benar dimanfaatkan oleh mereka untuk merekrut kader militan yang bisa melebarkan ideologi dan menggenjot finansial organisasi. Tidak adanya kontrol orang tua mereka, ditambah dengan kenyataan bahwa pola lingkungan yang individualistis menjadikan mahasiswa rentan terpengaruh. Sasaran mereka adalah mahasiswa baru yang cenderung belum memiliki teman dan masih mencari jati diri dan pendangan hidup. Keadaan labil seperti ini memudahkan mereka untuk mencekoki mahasiswa tersebut dengan faham-faham mereka.
Strategi recruitmen mereka adalah menjemput bola dengan artian mendatangi mahasiswa yang dianggap bisa direkrut oleh mereka. Biasanya mereka mencari kesamaan dengan calon kader mereka seperti satu jurusan dan menggunakannya sebagai jalan untuk mendekati calon kader. Awalnya mereka memberikan bantuan dalam hal perkuliahan seperti membantu mengerjakan tugas dan meminjamkan buku-buku untuk bahan kuliah.
Biasanya, pendekatan yang mereka lakukan pada awalnya bersifat pendekatan personal, dengan cara memberikan bantuan terhadap mahasiswa baru yang kebanyakan belum tahu keadaan kampus. Mereka menggunakan kelemahan mahasiswa baru untuk melakukan pendekatan dengan jalan membantu mencarikan kostan, membantu menunjukan keadaan sekitar kampus, membantu menyediakan perlengkapan kuliah dan lainnya. Berawal dari itu kemudian mereka lebih intens mendatangi kostan mahasiswa dengan dalih untuk bermain ataupun membantu mengerjakan tugas kuliah.
Setelah cukup dekat dan akrab, biasanya mereka mengajak untuk berdiskusi agama. Diskusi agama hanyalah kedok yang dipakai mereka untuk mencuci otak calon kader. Diskusi agama ini dijadikan mereka sebagai alat doktrin terhadap calon kader. Dalam diskusi tersebut, mereka memasukan faham-faham mereka dengan menyitir ayat al-Quran sebagai dasar dari pendapat mereka. Mereka menghubungkan fenomena seperti bencana alam, sebagai akibat dari kebobrokan sistem negara ini. Mereka berusaha untuk memaksakan pendapat mereka supaya bisa diterima oleh logika agama mahasiswa tersebut. Pada akhirnya mereka mengajak untuk mengucapkan syahadat kembali dengan dalih untuk berhijrah dari golongan kiri menuju golongan kanan. Golongan kiri yang mereka sebut adalah golongan diluar mereka yang kafir dan golongan kanan adalah mereka yang benar dan akan masuk surga.
Namun, tidak semua mahasiswa dapat direkrut oleh mereka, hanya mahasiswa yang cenderung “kupu-kupu” (kuliah pulang) yang notabene terpengaruh, berbeda dengan mahasiswa yang aktif berorganisasi dan sering berdiskusi yang cenderung jarang terpengaruh oleh mereka. Selain itu, pendidikan Islam juga berpengaruh dalam menghentikan laju perkembangan organisasi ini. Diskusi-diskusi terutama diskusi agama harus lebih di bangkitkan kembali dalam kalangan mahasiswa supaya bisa menumbuhkan sikap kritis terhadap doktrin-doktrin menyimpang.
Kenyataan itu sangat masuk akal, karena mahasiswa yang sering berkumpul baik itu hanya nongkrong maupun berorganisasi lebih memiliki pikiran yang terbuka. Biasanya mereka tidak langsung menerima informasi baru dan lebih kritis atau malah cenderung skeptis. Ini yang menjadi kesulitan NII dalam merekrut mahasiswa, sehingga mereka lebih memfokuskan terhadap mahasiswa yang cenderung individual.
Wallahua'lam bisshowab