Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda. Sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda diataranya pelabuhan Chiamo, Xantra, yang juga disebut Caravam, Tangaram, Cheiguide, Pondang dan Bantam (Djajadiningrat, 1983:83). Pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Dan sebagai konsekuensi logisnya, Islam diyakini telah masuk dan berakulturasi dengan budaya setempat sebagaimana diceritakan dalam berita Tome Pires pada tahun 1513.
Pelabuhan Banten menjadi pelabuhan yang sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang baik pedagang lokal maupun internasional, hal ini dikarenakan jatuhnya pusat perdagangan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Para pedagang, terutama pedagang muslim mengalihkan jalur perdagangannya menjadi ke selatan, yaitu pelabuhan Banten. Posisi Banten yang berada di ujung pulau Jawa, menjadi pintu gerbang perdagangan ke India dan Timur Tengah.
Kesultanan Banten dibentuk oleh Sunan Gunung Jati yang melakukan syiar Islam ke daerah Pajajaran yaitu Banten. Kedatangan Sunan Gunung Jati ke Banten disambut baik oleh bupati Banten pada saat itu dan mengawinkan anaknya yaitu Ratu Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati (Djajadiningrat, 1983:161). Setelah menetap cukup lama di Banten, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon untuk meneruskan pemerintahan di Cirebon dan menyerahkan kekuasaannya di Banten kepada anaknya yaitu Hasanudin dan menjadi raja pertama Banten.
Menurut historiografi Banten, Hasanuddin dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten (Kartodirdjo 1993: 34). Hal ini dikarenakan Sunan Gunung Jati meninggal di Cirebon dan Hasanudin meninggal di Banten, sehingga tidak aneh jika tradisi menempatkan Hasanuddin sebagai yang nomor satu dalam daftar raja-raja Banten.
Tradisi-tradisi lainnya kita maklumi dengan lebih baik dengan jalan menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan. Demikianlah tradisi memandang Sunan Gunung Jati sebagai pendiri sebuah kerajaan besar yang meliputi seluruh Jawa Barat. Penandaan kesamaan Tagaril dengan Sunan Gunung Jati menyebabkan kita untuk menempatkan menetapnya Sunan Gunung Jati di Carebon, di mana ia dikuburkan setelah tahun 1546 (Djajadiningrat, 1983:172). Jika sekarang kita perbandingkan dengan ini apa yang kiranya dapat kita simpulkan dari berita-berita lokal tentang Demak dan Cirebon dan dalam Sajarah Banten, mengatakan dengan jelas bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang dari Pasai, dalam hubungan apa yang dikatakan Barros tentang asal Faletehan, maka haruslah kita sampai kepada kesimpulan, bahwa Faletehan, Tagaril dan Sunan Gunung Jati adalah nama-nama yang lain bagi seseorang yang itu-itu juga. Dalam sumber sejarah Banten namanya ialah Faletehan atau Tagaril (Kartodirdjo 1993: 32).
Pada awalnya Kesultanan Banten hanya kerajaan vassal dari Kerajaan Demak sebagai ekspansi yang dilakukan oleh Demak ke seluruh Jawa. Usaha Demak dalam ekspansinya kearah barat berupa pemukiman perintis yang dipimpin oleh Nurullah tersebut diatas. Peristiwa ini terjadi kira-kira pada tahun 1525 dan dapat dianggap sebagai pendirian kerajaan Banten (Kartodirdjo 1993: 33). Sunan Gunung Jati mengambil alih Banten dari penguasa setempat dan mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakerta atau Surakarta. Banten diperintah oleh Gunung Jati sebagai vassal Demak, tapi keturunanya kelak bebas dari kekuasaan Demak (Ricklefs, 2008:72).
Kira-kira pada tahun 1568, di bawah Hasanudin Kerajaan Banten melepaskan ikatan dengan Demak dan menajdi kerajaan yang merdeka. Tahun 1568 adalah tahun dimana Kerajaan Demak mulai bergeser menajdi Kerajaan Pajang. Masa peralihan politik di Demak ini yang dijadikan peluang oleh Hasanudin untuk memerdekakan Banten dari Demak. Akibat kegagalan intervensi Jepara ialah bahwa Cirebon dan Banten dapat menegakan kedudukannya, bebas dari pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa Tengah. Pergolakan serta pergeseran kekuasaan di Jawa Tengah sendiri menjadi faktor penyebab, Demak dapat ditundukan oleh Pajang (1581) dan Pajang oleh Mataram (Kartodidjo 1993: 34).
Pada tahun 1568, di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Hasanuddin memerdekakan Banten. Itulah sebabnya oleh tradisi ia dianggap sebagai raja Islam yang pertama di Banten. Banten sejak semula memang merupakan vassal dari Demak. Hasanuddin mangkat kira-kira tahun 1570 dan diganti oleh anaknya, Maulana Yusuf. Setelah sembilan tahun memegang tampuk kekuasaan, tahun 1579, Yusuf menaklukan Pakuwan yang belum Islam yang waktu itu masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Sesudah kerajaan itu runtuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Mereka diperbolehkan tetap menyandang pangkat dan gelarnya.
Banten, daerah yang paling membuat ngiler penguasa Mataram, sulit diserbu. Kekuatan Mataram pelan-pelan melebar sampai kedaerah pegunungan di selatan Jakarta yang membentuk semacam daerah tak bertuan diantara kedua Negara itu (Vlekke, 2008: 146). Sudah sering Mataram mengancam akan menyerang Banten. Karena itu Banten mengadakan persiapan-persiapan besar untuk menangkis serangan itu. Malahan diceritakan pula pada sebuah buku harian perjalanan dari tahun 1598-1599, bahwa Mataram dengan sesuatu kekuatan besar telah menyerang Banten dari laut, tetapi tanpa hasil. Dalam dasawarsa pertama abad ke 17 kita lihat Banten senantiasa berjaga-jaga dengan penuh kecemasan demi kepentingan kemerdekaannya.
Sumber
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta: KITLV
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indoesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta: Gramedia
Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
Vlekke, Bernard H. M. 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG
Sumber
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta: KITLV
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indoesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta: Gramedia
Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
Vlekke, Bernard H. M. 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG