Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Sebagaimana kita ketahui agama-agama yang berkembang di Indonesia sekarang adalah agama impor. Seluruh agama yang kita anut sekarang seperti Hindu, Budha, Islam dan Kristen berasal dari luar Indonesia. Agama-agama tersebut masuk ke Indonesia dikarenakan adanya interaksi antara Indonesia dengan Negara tempat kelahiran agama tersebut. Interaksi itu bisa berupa penaklukan wilayah, perdagangan atau dakwah yang dilakukan oleh pemuka-pemuka agama.
Masuknya Islam ke Indonesia sebagai sebuah agama yang memiliki sistem serta nilai untuk mengatur penganutnya dalam hidup. Sistem dan nilai dalam Islam pada awalnya mengalami benturan dengan kebudayaan masyarakat dimana Islam itu berkembang. Pada proses ini terjadi negosiasi antara Islam sebagai agama dengan kearifan lokal yang dianut oleh masyarakat. Pada kelanjutannya, proses negosiasi ini kemudian melahirkan sebuah agama Islam yang mengakomodir kearifan lokal masyarakat dan sebaliknya Islam diterima oleh masyarakat sebagai agama dan kepercayaan baru. Proses tersebut terjadi dengan begitu “mesra” meskipun terkadang terjadi suatu bentrok antara keduanya. Islam sebagai agama toleran hanya mengakomodir kearifan lokal yang dianggap tidak keluar dari koridor keislaman yang sudah digariskan dengan adanya syariat.
Fenomena seperti ini menjadi hal yang wajar dan terjadi setiap daerah dimana Islam masuk. Di daerah Jawa Barat yang yang menjadi daerah suku Sunda, proses ini berlangsung dengan bantuan salah seorang wali songo yaitu Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah (Cirebon) dan keberadaan kerajaan Banten. Terjadinya proses transformasi antara kebudayaan leluhur Sunda dengan agama “baru” (Islam) menghasilkan suatu agama yang lebih toleran dan penganutnya tidak harus meninggalkan kebudayaan leluhurnya. Yang terjadi adalah proses perbaikan sistem sosial masyarakat Sunda dengan adanya nilai-nilai yang diberikan oleh agama Islam. Lebih tegas dikatakan Geertz (1992:13), “bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka”. Masyarakat Sunda atau masyarakat manapun yang pada awalnya memiliki dan memeluk agama lokal tidak menerima secara utuh terhadap agama yang baru, namun mereka berusaha melengkapi agama lokal mereka dengan agama baru tersebut proses inilah yang disebut akulturasi. Agama baru tersebut (dalam hal ini Islam) dijadikan penyempurna bagi agama lokal mereka.
Hal ini menyebabkan batasan antara kebudayaan Sunda dengan Islam menjadi kabur dan tidak disadari oleh masyarakat Sunda itu sendiri. Sebagai contoh seperti yang ditulis oleh Koentjaraningrat dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (2004: 323): Mengenai upacara slamatan itu terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama aspek waktu. Bilamanakah slamatan itu diadakan. Di Priangan biasanya diadakan pada Kamis sore, malam Jum’at. Kemudian mengenai orang-orang yang diundang adalah segi lain. Di desa-desa biasanya pada upacara slamatan yang diundang adalah kaum tetangga…. Pada umunya pakaian yang dikenakan adalah sarung dengan menggunakan kopiah. Slamatan hanya dapat berlangsung kalau ada orang yang menyampaikan doa. Dari kutipan diatas terlihat jelas adanya akulturasi antara budaya slamatan orang Sunda dengan nilai-nilai agama Islam. Pemilihan hari, pakaian dan pembacaan doa adalah bentuk dari transformasi antara Islam dengan kebudayaan Sunda.
Selain itu transformasi yang dilakukan oleh Islam dengan budaya Sunda menghasilkan kebudayaan immaterial tetapi juga menghasilkan kebudayaan material. Geertz menambahkan (1992: 13) “tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan”. Pewayangan yang dahulu dipentaskan dengan ceritera Ramayana dan Mahabrata sebagai kebudayaan Hindu berubah dengan masuknya ceritera-ceritera Islam di dalamnya. Selain itu bangunan mesjid mengalami proses yang sama sehingga melahirkan gaya arsitektur mesjid Agung Banten. Konentjaraningrat juga menambahkan (2004: 309) “ceritera wawacan dalam bahasa Sunda banya diambil dari ceritera-ceritera Islam”. Itu semua menunjukan keberhasilan Islam dalam proses akomodasi terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal sehingga Islam mudah diterima keberadaannya oleh masyarakat Sunda. Islam berubah wajahnya dengan tidak menghilangkan esensinya yaitu syariat. Pengadaptasian tradisi lokal juga mengalami tahapan-tahapan supaya sesuai dengan koridor keislaman.
Sumber Rujukan
Geertz, Clifford. (1992). Kebudayaan dan Agama. Kanisius. Yogyakarta
Koentjaraningrat. (2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta
No comments:
Post a Comment