Halaman

Monday, July 1, 2024

Best Practice : Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching Learning Berbantuan Media Google Earth untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Sejarah Pada Siswa Kelas X 1 Madrasah Aliyah Negeri 2 Ciamis

Proses pembelajaran di kelas menjadi kunci keberhasilan terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Pembelajaran di kelas memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan siswa secara akademis maupun non akademis. Interkasi dan komunikasi yang aktif antara guru dan siswa dapat memudahkan transfer ilmu sehingga pemahaman siswa terhadap materi dapat dicapai. Selain itu melalui proses interaksi dan komunikasi tersebut dapat membentuk kemampuan berfikir kritis, kemampuan memecahkan masalah dan dan kemampuan bekerjasama.

Proses belajar di kelas tidak hanya berorientasi terhadap akademis saja, namun lebih jauh harus bisa mempersiapkan siswa dalam menghadapi masa depannya. Kemampuan dan keterampilan dasar yang diperlukan siswa dalam bermasyarakat dan mengahadapi dunia kerja harus dipersiapkan. Melalui proses pembelajaran yang aktif, siswa dimotivasi untuk belajar berkomunikasi dengan baik dan benar dan mampu menyampaikan ide dan gagasan dengan percaya diri. Selain itu siswa dituntut untuk berprilaku jujur, disiplin dan menghargai perbedaan dan keberagaman.  

Pelajaran sejarah sebagai salah satu mata pelajaran pada kurikulum Merdeka tingkat SMA/MA/Paket C dituntut untuk dapat mengkontekstualisasikan berbagai peristiwa yang terjadi dimasa lalu dengan peristiwa yang dialami sekarang, untuk kita dapat saling merenungi, mengevaluasi, membandingkan atau mengambil keputusan, sekaligus sebagai orientasi untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. Muara dari pembelajaran sejarah yang berorientasi pada keterampilan berpikir secara alamiah akan mendorong pembentukan manusia merdeka yang memiliki kesadaran sejarah dan selaras dengan profil pelajar Pancasila (Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Indonesia, 2022 : 6).

Dengan pentingnya pelajaran sejarah di atas, guru sebagai fasilitator pembelajaran di kelas harus memiliki kompetensi dan kreatifitas dalam memandu proses pembelajaran. Materi sejarah tidak boleh diajarkan secara sempit dan faktual terpaku pada kronologi, tempat, waktu dan tokoh sejarah. Namun, sejarah harus diajarkan dengan memadukan kerangka berfikir diakronis dan sinkronis. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam Aman (2015 : 83) sejarah dapat menggunakan dua pendekatan diakronis dan sinkronis, terutama apabila objek studi sejarah ditunjukkan pada suatu masyarakat atau lembaga sosial, maka untuk melacak perkembangan historis strukturnya mau tidak mau diperlukan kedua pendekatan tersebut.  

Kerangka berfikir diakronis berarti mempelajari sejarah secara berurutan waktu dengan memperhatikan hubungan kausalitas peristiwa serta transformasinya (perubahannya). Sedangkan berfikir sinkronis berarti mempelajari suatu persitiwa sejarah dengan sangat mendalam melibatkan aspek latar belakang, sosial masyarakat dan budaya namun terbatas dalam waktu. Kemampuan berfikir diakronis dan sinkronis diperlukan dalam mencapai rasionalitas mata pelajaran sejarah di atas.

Mengkontekstualisasikan berarti menghadirkan peristiwa masa lalu ke masa sekarang dengan cara mempelajari fenomena-fenomena sejarah sebagai perbandingan supaya siswa dapat merenungi, mengevaluasi dan mengambil keputusan untuk masa depan. Oleh karena itu, guru juga dituntut untuk lebih peka terhadap peristiwa-peristiwa masa kini untuk diambil fenomenanya dan dibandingkan dengan materi yang dipelajari. Dengan melibatkan pengetahuan siswa terhadap peristiwa yang dialami sekarang dan dikaitkan dengan peristiwa sejarah yang dipelajari, maka pembelajaran sejarah akan lebih bermakna. Siswa merasa materi yang dipelajari sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari sehingga dapat meningkatkan semangat dan motivasi siswa dalam mempelajari sejarah. Selain itu kemampuan siswa dalam berfikir kritis dan memecahkan masalah dapat tumbuh karena materi sejarah “dihadirkan” lebih dekat dalam kehidupan mereka.

Untuk menghadirkan materi sejarah supaya lebih dekat dengan siswa, diperlukan juga media pembelajaran yang menunjang. Materi sejarah yang berupa uraian peristiwa masa lalu sangat membosankan apabila tidak didukung dengan visualisasi materi. Penggambaran terhadap peristiwa sejarah apabila hanya berupa uraian kata dalam tulisan panjang hanya akan membuat siswa bosan dan mengantuk. Maka dari itu diperluka penggambaran atau visualisasi yang mendukung terhadap materi. Visualisasi tersebut bisa berupa gambar, foto, rekaman suara dan video peristiwa sejarah.

Pada umumnya, pembelajaran sejarah di kelas masih dilakukan dengan metode konvensional. Komunikasi hanya dilakukan satu arah saja dengan guru sebagai pusat belajar atau teacher centred. Siswa hanya dijadikan objek dalam proses pembelajaran, menerima materi dari guru tanpa memahami secara mendalam materi tersebut. Guru tidak menciptakan suasana belajar yang kondusif yang merangsang perkembangan akademis dan non akademis siswa. Suasana belajar yang tidak kondusif akan berdampak terhadap motivasi siswa dalam belajar sejarah, sehingga menganggap belajar sejarah membosankan karena harus menghafal tempat, waktu dan tokoh perstiwa sejarah. Bahkan diantara siswa akan menganggap pelajaran sejarah itu tidak penting karena tidak ada korelasinya dengan kehidupan masa sekarang.

Pengetahuan guru yang terbatas terhadap isu-isu dan peristiwa yang terjadi sekarang, terhadap kebiasaan dan budaya masyarakat setempat menyulitkan guru untuk menghubungkan fenomena peristiwa masa lalu dengan peristiwa sekarang. Sehingga belajar sejarah akan terpaku pada fakta-fakta saja tanpa menggunakan analisis sebagai kerangka berfikir tentang peristiwa masa lalu. Pentingnya mengaitkan fenomena peristiwa masa lalu dengan masa sekarang untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar sejarah. Sehingga sejarah tidak dipandang “jauh dimasa lalu” namun tetap dekat karena memiliki hubungan dengan masa sekarang. 

Selain itu, suasana belajar yang tidak kondusif juga akan berdampak negatif terhadap perkembangan kemampuan non akademis siswa. Keterampilan berfikir kritis, berfikir kronologis, kemampuan mengemukakan pendapat dengan percaya diri dan kemampuan menghargai perbedaan tidak akan terbentuk. Padahal hal tersebut seharusnya tidak terlepas dari proses belajar sejarah karena merupakan rasional dan karakteristik mata pelajaran sejarah. Disamping itu kemampuan non akademis tersebut sangat dibutuhkan siswa untuk menghadapi tantangan kehidupan pada masa mendatang di era keterbukaan informasi dan komunikasi.

Guru harus “melek” teknologi dan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang tersedia untuk menunjang lingkungan belajar yang kondusif. Namun, kenyataannya masih terdapat guru yang tidak mau dan tidak mampu untuk memanfaatkan terknologi untuk proses belajar di kelas. Tidak memiliki kemampuan untuk mengoprasikan perangkat laptop, proyektor dan internet, tidak mau repot membuat media pembelajaran dan sudah terbiasa mengajar dengan metode ceramah menjadi alasan enggannya memanfaatkan teknlogi dalam proses pembelajaran. Padahal salah satu tujuan penting memanfaatkan teknlogi untuk proses pembelajaran yaitu untuk menghadirkan peristiwa sejarah dalam bentuk foto atau gambar, rekaman suara dan video sehingga motivasi dan rasa ingin tahu siswa dalam belajar sejarah akan meningkat.

Untuk menciptakan suasana belajar di kelas yang kondusif, diperlukan suatu kerangka pembelajaran yang tersusun secara sistematis, efektif dan efisien dengan beroreintasi terhadap siswa dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai yang dikenal dengan model pembelajaran. Pengertian model pembelajaran berdasarkan Permendikbud Nomor 103 Tahun 2014 dalam Abas Asyafah (2019 : 21) Model pembelajaran adalah kerangka konseptual dan operasional pembelajaran yang memiliki nama, ciri, urutan logis, pengaturan, dan budaya.

Terdapat banyak pilihan model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran. Setiap model pembelajaran memiliki krakterisitik dan kelebihannya masing-masing sesuai dengan nama dan sintaksnya. Model pembelajaran ini yang akan menjadi acuan guru sebagai fasilitator dalam melaksanakan proses pembelajaran. Dalam pelaksanaannya, guru dituntut untuk mempertimbangkan aspek-aspek yang akan dicapai dari proses pembelajaran sebelum memilih model pembelajaran yang akan digunakan.

Salah satu model pembelajaran yang sangat cocok digunakan untuk belajar sejarah adalah model pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL). Hal ini sesuai dengan rasionalisasi mata pelalajaran sejarah pada Kurikulum Merdeka yang menekankan aspek kontekstualisasi peristiwa masa lalu dengan peristiwa sekarang, sehingga siswa dapat merenungi, mengevaluasi, membandingkan atau mengambil keputusan untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. Menurut Nurhadi dalam Hasnawati (2006: 56) contextual teaching and learning merupakan konsep belajar mengajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan di kelas dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupannya sebagai individu, anggota keluarga, dan masyarakat.

Untuk menerapkan model Contextual Teaching Learning guru harus memiliki kepekaan terhadap situasi masa sekarang dan memiliki pengetahuan yang luas terhadap permasalah-permasalahan yang ada. Pengetahuan terhadap kebiasaan dan budaya masyarakat dimana siswa tinggal juga sangat diperlukan untuk menghadirkan fenomena peristiwa masa lalu kedalam kehidupan sehari-hari siswa. Karena dalam model pembelajaran ini interaksi harus dimulai dengan memanfaatkan pengetahuan siswa atau hal-hal yang terjadi disekitar siswa dengan tujuan untuk meningkatkan motivasi belajar. Selain itu, dengan menghubungkan fenomena masa lalu dengan peristiwa masa kini diharapkan kemampuan berfikir kritis, analitis dan kontrukstif siswa akan terbangun.  

Karakteristik atau komponen utama dalam model pembelajaran Contextual Teaching Learning menurut Nurhadi dalam Hasnawati (2006 : 58) diantaranya :

1.    Konstruktivistik (constructivism), mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

2.     Menemukan (inquiry), laksanakan sejauh mungkin kegiatan inqury untuk semua topik.

3.     Bertanya (questioning), kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.

4.   Masyarakat belajar (learning community), ciptakan masyarakat belajar dengan membentuk kelompok-kelompok belajar.

5.       Pemodelan (modeling), hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.

6.       Refleksi (reflection), lakukan refleksi di akhir pertemuan.

7.       Penilaian yang riil (authentic assessment), lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

Pelaksanaan model pembelajaran Contextual Teaching Learning menekankan siswa untuk belajar mandiri secara berkelompok dengan mengkontruksi pengetahuan dan keterampilanya sendiri. Pengetahuan didapat dari interaksi antar siswa dalam masyarakat belajar yang dibentuk secara heterogen supaya terjadi keseimbangan dan pemerataan dalam proses belajar. Guru hanya sebatas sebagai fasilitator yang menjelaskan langkah-langkah pembelajaran diawal pertemuan, menghadirkan suatu model atau contoh dalam menghubungkan peristiwa masa lalu dengan peristiwa masa sekarang dan bersama-sama siswa melakukan refleksi pada akhir pembelajaran.

Selain itu, penggunaan media pembelajaran berbasis teknologi dan informasi dalam pembelajaran sangat penting. Arief S. Sadiman dalam Hamzah Pagarra dkk (2022 : 5) menjelaskan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim kepenerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, minat, serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Media pembelajaran digunakan untuk menyampaikan materi yang bersifat abstrak menjadi konkret. Sehingga siswa mendapatkan visualisasi yang nyata dari uraian materi yang dipelajari.

Begitu pentingnya media pembelajaran dalam belajar sejarah karena materi sejarah secara umum merupakan uraian tentang peristiwa masa lalu, hasil kebudayaan masa lalu dan kehidupan manusia masa lalu. Apabila tidak ditunjang dengan media pembelajaran, guru akan mengalami kesulitan dalam mendeskripsikan konsep-konsep dan peristiwa dalam materi. Sehingga proses pembelajaran kurang maksimal dan berdampak pada motivasi siswa yang kurang dan tujuan pembelajaran yang tidak tercapai.

Sebagai contoh dalam pembelajaran sejarah pada Fase E (kelas X) pada elemen capaian Asal Usul Nenek Moyang dan Jalur Rempah di Indonesia, guru bisa membuat media pembelajaran berbaisis teknologi informasi dengan memanfaatkan aplikasi google earth. Pada aplikasi tersebut, guru membuat peta jalur masuknya nenek moyang bangsa Indonesia lengkap beserta wilayah, jalur kedatangan, tempat kedatangan, nama suku serta kebudayannya. Selain itu guru juga dapat membuat jalur perdagangan rempah-rempah serta menunjukan tempat penghasil rempah-rempah di Indonesia.

Dikaitkan dengan model pembelajaran Contxtual Teaching Learning (CTL), pembelajaran bisa diawali dengan guru bertanya kepada siswa tentang apa alasan suku bangsa, kebudayaan dan bahasa daerah yang beragam. Siswa diajak untuk menginventarisir suku bangsa, kebudayaan dan bahasa daerah yang mereka ketahui. Selain itu untuk materi jalur rempah, guru dapat menghadirkan jalur rempah dengan terlebih dahulu menayangkan dan bertanya kepada siswa mengenai jenis-jenis rempah dan kegunaannya dikaitkan dengan kondisi pada saat itu dimana teknologi belum maju seperti sekarang. Melalui diskusi siswa dapat menemukan betapa pentingnya rempah-rempah pada saat itu, sehingga mereka menjadi faham mengapa bangsa Eropa sampai datang ke Nusantara untuk membeli rempah-rempah.

Proses pembelajaran sejarah menggunakan model Contextual Teaching Learning dengan ditunjang penggunaan media berbasis teknologi berhasil menarik minat dan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar sejarah. Siswa terlibat secara langsung dalam proses pencarian pengetahuan melalui diskusi kelompok dengan berbagai macam sumber belajar yang tersedia seperti buku teks, jurnal, gambar, video dan lain-lain yang tersedia secara online di internet. Keterampilan berfikir kritis, analitis, menyampaikan pendapat dan menghargai perbedaan diasah dalam diskusi kelompok serta presentasi hasil diskusi kelompok yang disajikan didepan kelas.

Menghadirkan peristiwa masa lalu untuk lebih dekat dengan kehidupan siswa menjadi titik tolak meningkatnya minat dan motivasi siswa dalam belajar sejarah. Karena ternyata belajar sejarah tidak hanya belajar tentang masa lalu, namun belajar sejarah adalah belajar mengenai fenomena kehidupan yang akan terus berulang pada masa yang akan datang. Sehingga kita bisa memperbaiki kesalahan kita dimasa lalu dan menyempurnakan kehidupan dimasa mendatang.

 

Daftar Pustaka

Buku

Aman. (2015). Penilaian Otentik: Teori dan Praktik dalam Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: UNY Press.

Anonim. (2022).  Capaian Pembelajaran Mata Pelajaran Sejarah Fase E – Fase F Untuk SMA/MA/Paket C. Jakarta: Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Indonesia.

Pagarra, Hamzah dkk (2022). Media Pembelajaran. Malang: Badan Penerbit UNM

Jurnal

Asyafah, Abas (2019). Menimbang Model Pembelajaran (Kajian Teoritis-Kritis atas model Pembelajaran dalam Pendidikan Islam). Tarbawy: Indonesian Journal of Islamic Education. 6 (1). 19-32.

DOI: https://doi.org/10.17509/t.v6i1.20569

Hasnawati (2006). Pendekatan Contextual Teaching Learning Hubungannya dengan Evaluasi Pembelajaran. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan. 3 (1). 53-62.

DOI 10.21831/jep.v3i1.635

Friday, December 18, 2020

RAPORT ONLINE KELAS XI IPS 2 MAN 5 CIREBON

Wednesday, June 12, 2019

Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah

Tugas Negara sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam usaha itu, Pemerintah menyelenggarakan pendidikan berjenjang mulai dari pendidikan pra sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi.
Mencerdaskan bangsa itu bisa dalam dua hal, yang pertama mencerdaskan secara intelektual dan yang kedua mencerdaskan mental dari bangsa itu sendiri. Mencerdaskan intelektual sangat penting dalam era globalisasi ini untuk modal persaingan IPTEK dengan negara lain.
Output dari pendidikan intelektual mampu membangun bangsa ini menjadi lebih maju dan lebih sejahtera. Namun sebenarnya pendidikan mental  atau disebut pendidikan karakter juga tidak kalah penting. Salah satu kepentingan masyarakat/bangsa yang harus diperhatikan pendidikan adalah jati diri bangsa.