Halaman

Friday, May 24, 2013

Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre

Oleh Cecep Lukmanul Hakim
man is condemned to be free; because once thrown into the world, he is responsible for everything he does (Sartre)
Filsafat secara harfiah berarti cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Dengan demikian setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis akan memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya baik.
Eksistensialisme merupakan salah satu aliran filsafat yang ada saat ini. Filsafat ini muncul di abad modren yaitu pada abad ke 19 di Eropa. Ditinjau dari segi bahasa eksistensialisme memiliki kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada)[1].
Eksistensialisme memandang bahwa manusia merupakan satu kesatuan utuh antara jasmani dan rohani, kesatuan antara akal fikiran dengan tubuh. Sehingga filsafat ini memandang bahwa manusia merupakan objek sekaligus subjek dari renungan. Sebagai objek, manusia merupakan materi layaknya benda-benda lain seperti pohon, batu, air dan benda lainnya yang bisa dijadikan objek atau bahan renungan. Sebagai subjek, manusia memiliki kelibihan lain dari benda-benda lainnya di dunia yaitu akal fikiran atau idea yang merupakan alat dari perenungan. Sesuai dengan namanya, filsafat ini lebih menekankan kepada perenenungan manusia sebagai subjek (idea) dengan objeknya yaitu manusia sendiri sebagai materi yaitu tubuh yang dinamis. Manusia selalu mengkonstruksi dirinya sendiri tanpa selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu[2].

Baca juga : Filsafat Scholastik

Eksistensialisme merupakan bentuk protes terhadap filsafat-filsafat terdahulu. Eksistensialisme menolak filsafat materialisme yang memandang bahwa manusia itu hanya terdiri dari materi. Materialisme memandang bahwa manusia sama halnya seperti benda-benda lain seperti kayu dan batu yang tidak memiliki kekuatan untuk merubah hidupnya dan tidak dapat menentukan pilihannya. Eksistensialisme juga menolak filsafat idealisme dan rasionalisme yang menempatkan bahwa hanya akal lah yang menjadi pusat penggalian pengetahuan yang memandang materi hanyalah objek dari pembentukan pengetahuan.
Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek, sehingga manusia dianugerahi kebebasan tanpa batas untuk menentukan apa saja yang menyangkut dirinya. Namun, tidak hanya kebebasan yang menjadi ciri filsafat ini, kedewasaan dan tanggungjawab atas kebebasan yang dianugerahkan kepada manusia merupakan hal terpenting. Dalam filsafat ini, manusia tidak harus mematuhi sebuah hukum atau sistem apabila menurutnya sistem itu membawa dia kepada kerugian. Manusia dibebaskan untuk memilih pekerjaan, pendidikan, jodoh bahkan dibebaskan dalam memilih agama. Sesuai dengan Q.S Al Kafirun ayat 6; Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku
Apabila kaum idealis dan rasionalis memiliki semboyan “Aku Berfikir maka Aku Ada”, maka eksistensialis memiliki semboyan “Aku Berkarya maka Aku Ada”. Menurut kaum eksistensialis, manusia itu bukan seutuhnya manusia apabila tidak memiliki karya yang dihasilkan sebagai sebuah output dari perenungan yang telah dilakukannya terhadap dirinya maupun benda disekitarnya.
Selain itu, manusia tidak boleh berpasrah diri dalam dan dituntut untuk berusaha. Manusia sebagai subjek dari perenungan memliki kekuatan untuk merubah keadaan yang menurutnya tidak sesuai dengan kebenaran yang dipegangnya. Sesuai dengan Q.S Ar Ra’d ayat 11; Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.

Baca juga artikel lainnya terkait Filsafat 




[1] Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang. 1974), hlm. 8.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191

1 comment: