Halaman

Tuesday, April 9, 2013

Filsafat Scholastik

Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Apabila ditinjau dari segi sejarah, perkembangan filsafat Barat dapat dikelompokan dalam empat periode. Pembagian periodisasi ini didasarkan kepada corak pemikiran para filusuf sebagai jiwa dari pemikiran yang sedang berkembang pada periode tersebut. Perbedaan corak atau jiwa masing-masing periode didasarkan atas perbedaan dasar dari pemikiran para filosof setiap jaman. Sehingga setiap periode menghasilkan output filsafat yang berbeda-beda. Pengelompokan filsafat kedalam beberapa periode ditarik dari zeitgeist (jiwa jaman) kesamaan karakteristik objek dan dasar dari pemikiran filosof. Dengan tujuan untuk mempermudah identifikasi terhadap pemikiran-pemikiran yang dihasilkan beserta hubungannya dengan berbagai aspek.
Salah satu periode filsafat barat adalah filsafat abad pertengahan atau dikenal juga dengan filsafat Scholastik. Istilah Scholastik berakar dari kata school yaitu sekolah, jadi dapat kita gambarkan bahwa filsafat ini mulai tumbuh dan berkembang di sekolah atau universitas. Hal ini merujuk pada sekolah yang diadakan oleh Kaisar Romawi yaitu Karel Agung (742-814) yang mengajarkan apa yang diistilahkan  sebagai artes liberales (seni bebas) meliputi pelajaran gramatika, geometri, aritmatika, astronomia, musika dan dialektika (logika) dan meliputi seluruh filsafat.[1] Munculnya filsafat ini tidak terlepas dari latarbelakang kondisi sosial masyarakat dimana filsafat itu tumbuh. Filsafat ini merupakan tonggak estafet dari kemajuan filsafat Yunani yang “direbut” oleh peradaban Romawi dan disebarkan ke seluruh kekuasaan Romawi.



Hal yang menarik dari pembahasan filsafat ini sekaligus juga yang membedakan karakteristiknya dengan periode Yunani terletak pada dasar pemikiran yang ditanam oleh emporium Romawi. Perkembangan filsafat ini berbarengan dengan perkembangan agama Nasrani di daratan Eropa Barat, karena sebelumnya agama nasrani berkembang di Romawi Timur (Byzantium). Agama nasrani yang telah dijadikan agama kerajaan oleh Romawi otomatis akan memberikan dampak terhadap seluruh segi kehidupan masyarakat termasuk dalam hal pendidikan dan pemikiran. Menyebarnya agama kristen pada permulaan abad masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan agama. Zaman pertengahan adalah zaman keemasan bagi kekristenan.[2]

Keadaan tersebut mengakibatkan agama nasrani menjadi dasar dari pemikiran masyarakat pada masa itu, tidak terkecuali dalam hal pendidikan. Kurikulum sekolah dan universitas didasarkan pada dogma-dogma nasrani sebagai landasan berfikir. Hal ini berbeda dengan pandangan Yunani Kuno mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal.[3] Sehingga kebebasan berfikir tunduk pada regulasi yang dikeluarkan oleh gereja. Sisi religiusitas lebih ditonjolkan dalam filsafat Scholastik yang menjadi karakteristik dari filsafat ini, berbeda dengan karakteristik filsafat Yunani yang membebaskan akal tanpa harus tunduk terhadap apapun. Sehingga jaman dimana filsafat Scholastik ini berkembang selalu disebut abad kegelapan (The Dark Age) dalam artian pemikiran dan ilmu pengetahuan tunduk pada regulasi gereja, sehingga mengakibatkan tersendatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Augustinus, segala kebenaran bersumber dari Kitab Suci. Oleh karena itu, akal manusia harus ditaklukkan kepada Kitab Suci.[4]
Ciri khas filsafat Abad Pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saint Anselmus, yaitu credo ut intelligam.[5] Credo ut intelligam kurang lebih memliki arti iman lebih dulu, setelah itu mengerti. Di dalam ungkapan itu tersimpan pula pengertian bahwa seseorang tidak boleh mengerti atau paham lebih dulu, dan karena memahaminya lantas ia pantas mengimaninya. Ini iman secara rasional. Dalam ungkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu harus diimani, melainkan orang mengerti karena ia mengimaninya. Sifat ini berlawanan dengan sifat filsafat rasional. Dalam filsafat rasional, pengertian itulah yang didahulukan; setelah dimengerti, barulah mungkin diterima dan, kalau mau, diimani. Namun hal ini tidak berarti seolah-olah dengan pembuktian akal, iman menjadi bertambah. Kepastian iman tetap sama, tanpa ataupun dengan pembuktian akal.[6]
Karakteristik dari filsafat Scholastik antara lain[7] :
a.   Filsafat Scholastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama. Karena Scholastik ini sebagai bagian dan kebudayaan abad pertengahan yang religius.
b.   Filsafat Scholastik adalah filsafat yang mengabdi kepada teologi, atau filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik buruk. Dari rumusan tersebut kemudian muncul istilah: Scholastik Yahudi, Scholastik Arab dan lain-lainnya.
c.   Filsafat Scholastik adalah suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan ke dalam bentuk sintesa yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.
d.   Filsafat Scholastik adalah filsafat Nasrani, karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja.
            Filsafat ini tumbuh dan berkembang di sekolah-sekolah dan universitas dengan para cendekiawan sebagai stekholder nya. Mereka melakukan kajian-kajian terhadap ilmu pengetahuan yang telah diutarakan diatas seperti gramatika, geometri, aritmatika, astronomia, musika dan dialektika (logika) dan tentu saja filsafat. Namun tidak seperti periode sebelumnya, dimana para filosof menempatkan akal berada diatas segala hal, pada periode ini kebebasan akal terbatas oleh dogma agama nasrani.  
Dari karakteristik filsafat Scholatsik diatas, dapat kita gambarkan apa yang menjadi inti dari ajaran filsafat tersebut. Pengetahuan-pengetahuan tentang alam, astronomi, fisika dan lainnya hanya bertujuan sebagai pembuktian bagi kebenaran dogma nasrani. Pada intinya, pengetahuan yang didapatkan di sekolah dan universitas harus mendukung pendapat gereja atau ajaran nasrani. Apabila ada ketidaksesuaian antara ilmu pengetahuan dengan ajaran nasrani, maka ajaran nasrani lah yang dianggap benar, dan pengetahuan tersebut dianggap salah.
Salah satu tokoh besar dari filsafat ini adalah Thomas Aqunias. Dalam segi teologi, dia mencoba untuk merasionalkan keberadaan Tuhan. Menurutnya, keberadaan Tuhan dapat diketahui dan difahami oleh akal manusia tidak hanya dengan iman saja. Keberadaan tuhan dapat dilihat dari apa yang terjadi dialam semesta. Dia menggunakan ilmu pengetahuan dan mencoba menghubungkan fenomena alam dengan kekuasaan Tuhan sebagai bukti eksistensiNya.
Sebagai contoh, dia mengeluarkan argumen tentang pergerakan alam. Menurutnya, isi seluruh alam semesta ini bergerak, dan sesuatu yang bergerak pasti ada yang menjadi penggeraknya. Akan tetapi, timbul persoalan, bila sesuatu bergerak hanya karena ada penggerak yang menggerakkannya, tentu penggerak itu pun memerlukan pula penggerak di luar dirinya. Bila demikian, terjadilah penggerak berangkai yang tidak terbatas. Konsekuensinya ialah tidak ada penggerak. Menjawab persoalan ini, Aquinas mengatakan bahwa justru karena itulah maka sepantasnya kita sampai pada Penggerak Pertama, yaitu Penggerak Yang Tidak Digerakkan oleh yang lain. Itulah Tuhan.[8]
 Dalam hal etika, Aquinas mengemukakan argumen Kebaikan Tertinggi. Kebaikan Tertinggi itu menurut pendapatnya tidak mungkin dapat dicapai dalam kehidupan sekarang. Hal itu harus ditunggu dalam kehidupan kelak, dimana diperoleh pandangan yang sempurna tentang Tuhan. Pandangan etika Aquinas menekankan superioritas kebaikan keagamaan. Ia toleran terhadap orang-orang yang tidak beriman dan bekerja sama dengan mereka, tetapi ia juga terang-terangan menuduh mereka kafir. Orang-orang kafir itu akan mengalami lepas hubungan dengan Tuhan. Bila mereka terus saja demikian, mereka akan mati dalam hukuman. Tentang kematian yang demikian Gereja tidak akan memberikan hukuman, tetapi dunia akan memberikan hukuman.[9]

Dalam segi politik, Aquinas menekankan moralitas dalam sebagai idea dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dia mengajukan empat hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu hukum abadi, hukum alam, hukum Tuhan, dan hukum manusia. Hukum abadi merujuk kepada kepastian dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta. Esensi hukum ini tidak dapat dipahami oleh manusia; bekasnya dapat dilihat pada hukum alam. Hukum alamlah yang menyebabkan semua makhluk mendapat kesempurnaannya mencari kebaikan dan menghindari kejahatan. Hukum alam menyediakan kehidupan bagi manusia dengan segala haknya seperti hak untuk berketurunan dan hak untuk hidup di dalam masyarakat. Hukum Tuhan adalah hukum Kristen yang mempunyai kedudukan yang istimewa. Hukum ini dikenal melalui wahyu Tuhan yang diberikan karena kemurahan-Nya. Sedangkan hukum manusia merupakan hukum yang dibuat oleh manusia sebagai pelengkap dari hukum-hukum lainnya.[10]


Baca juga artikel lainnya terkait Filsafat 

          Dari uraian mengenai buah pemikiran Aquinas diatas, yang dianggap dapat mewakili pemikiran tokoh-tokoh lainnya pada abad pertengahan kita bisa menarik kesimpulan bahwa betapa kuatnya dominasi gereja atas pola pikir masyarakat pada masa itu. Dogma-dogma gereja dianggap ajaran luhur yang tidak bisa diganggu kebenarannya walaupun dengan argumen ilmiah. Justru ilmu pengetahuan digiring oleh gereja supaya menjadi alat pembenaran dogma nasrani. Sebenarnya, pendapat credo ut intelligam itu tidak akan menghambat perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, seandainya dogma atau wahyu yang dijadikan dasar ialah dogma yang selaras dengan rasionalitas. Contoh seperti ini ditemukan dalam Islam. Filsafat Islam berkembang amat pesat karena keyakinan dan ajaran Islam tidak ada yang berlawanan dengan rasionalitas, yang ada ialah bagian-bagian yang disebut normativitas dan universalitas Islam yang tidak dapat dicapai oleh akal. Jadi, dominasi agama pada filsafat sebenarnya tidak harus mengakibatkan filsafat tidak berkembang.





[1] M Syafieh dan Ismail Fahmi Arrauf, MA. Filsafat umum. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis
[2] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009) cet. kesembilan hlm. 66
[3] Ibid hlm. 67
[4] Dr. Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Cet. XII, hlm. 82.
[5] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), Cet . VII, hlm. 114
[6] Dr. Harun Hadiwijoyo, op. cit., hlm. 94.
[7] Drs. Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. IV, hlm. 70.
[8] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, op cit, hlm 100
[9] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Terj. Sigit Jatmiko, dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. I, hlm. 606
[10] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, op cit, hlm 109-110

1 comment: