Halaman

Monday, March 26, 2012

NII dan Kampus

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Ada banyak organisasi Islam yang hidup di Indonesia, dari yang bercorak konservatif, moderat hingga radikal. Munculnya fenomena ini tidak terlepas dari partisipasi demokrasi yang dianut oleh negara kita. Pasca reformasi tahun 1998, munculnya ormas-ormas ini bak jamur di musim hujan, seperti fenomena awal kemerdekaan negara ini. Disisi satu sisi ini adalah efek positif yang dihasilkan oleh sistem demokrasi dengan membebaskan seluruh warganya untuk berserikat dan berkumpul sesuai dengan Undang-Undang dasar 1945 pasal 28. Namun, efek negatif pun lebih besar dengan kebebasan yang cenerung kebablasan ini sehingga organisasi-organisasi underground mulai bisa bergerak dengan leluasa tanpa takut akan diberangus lagi oleh pihak yang berwajib.
Salah satu organisasi yang baru-baru ini hangat diperbincangkan oleh media dan menjadi headline dalam media-media nasional selama berbulan-bulan adalah Negara Islam Indonesia yang dikenal dengan NII. Secara historis, nama NII tidak bisa dilepaskan dengan salah satu nama pada periode revolusi fisik di Jawa Barat yaitu S. M Kartosuwirjo (1905-62). Berlatar belakang sakit hati karena laskar-laskar didikannya tidak dimasukan dalam komposisi tentara Indonesia dan memanfaatkan moment perjanjian Renville yang memaksa wilayah RI diperkecil, hanya tinggal Yogyakarta saja. Keadaan ini digunakan untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Cisayong, Tasikmalaya pada bulan Mei 1948 dengan menjunjung syariat Islam sebagai dasar negara.
Setelah diberangus tahun 50-an oleh pemerintahan Sukarno dengan bantuan Divisi Siliwangi yang menggunakan strategi pagar betis, kini organisasi ini booming kembali, namun dengan corak yang sangat berbeda dari pendahulunya. Kini organisasi ini begerak secara diam-diam atau underground termasuk dalam recruitment anggota.
Dewasa ini, strategi recruitment organisasi NII biasanya terpusat di kampus, yang kita tahu beratmosfir demokratis dalam segala hal. Pemilihan kampus sebagai fokus hegemoni dan kaderisasi organisasi sangat masuk akal karena dari kampuslah kemudian akan lahir kader-kaer yang militan. Kampus dijadikan basis kekuatan masa dan diproyeksikan menjadi kader-kader militan NII yang intelektual.
Atmosfir kampus yang demokratis dan lingkungan pendidikan membebaskan mereka untuk melakukan perekrutan tanpa takut akan diendus oleh pihak berwajib ataupaun masyarakat sekitar. Mereka menyadari peluang dari pola masyarakat perkotaan yang cenderung individualisitis yang acuh tak acuh bisa dijadikan “tanah untuk digarap” oleh mereka. Apalagi kenyataan bahwa kebanyakan mahasiswa-mahasiswa itu tinggal nge-kost, jauh dari rumah menjadikan mereka leluasa mencuci otak mahasiswa dan mencetak kader militan yang lebih banyak.
Bebasnya kehidupan mahasiswa rantau, benar-benar dimanfaatkan oleh mereka untuk merekrut kader militan yang bisa melebarkan ideologi dan menggenjot finansial  organisasi. Tidak adanya kontrol orang tua mereka, ditambah dengan kenyataan bahwa pola lingkungan yang individualistis menjadikan mahasiswa rentan terpengaruh. Sasaran mereka adalah mahasiswa baru yang cenderung belum memiliki teman dan masih mencari jati diri dan pendangan hidup. Keadaan labil seperti ini memudahkan mereka untuk mencekoki mahasiswa tersebut dengan faham-faham mereka.
Strategi recruitmen mereka adalah menjemput bola dengan artian mendatangi mahasiswa yang dianggap bisa direkrut oleh mereka. Biasanya mereka mencari kesamaan dengan calon kader mereka seperti satu jurusan dan menggunakannya sebagai jalan untuk mendekati calon kader. Awalnya mereka memberikan bantuan dalam hal perkuliahan seperti membantu mengerjakan tugas dan meminjamkan buku-buku untuk bahan kuliah.
Biasanya, pendekatan yang mereka lakukan pada awalnya bersifat pendekatan personal, dengan cara memberikan bantuan terhadap mahasiswa baru yang kebanyakan belum tahu keadaan kampus. Mereka menggunakan kelemahan mahasiswa baru untuk melakukan pendekatan dengan jalan membantu mencarikan kostan, membantu menunjukan keadaan sekitar kampus, membantu menyediakan perlengkapan kuliah dan lainnya. Berawal dari itu kemudian mereka lebih intens mendatangi kostan mahasiswa dengan dalih untuk bermain ataupun membantu mengerjakan tugas kuliah.
Setelah cukup dekat dan akrab, biasanya mereka mengajak untuk berdiskusi agama. Diskusi agama hanyalah kedok yang dipakai mereka untuk mencuci otak calon kader. Diskusi agama ini dijadikan mereka sebagai alat doktrin terhadap calon kader. Dalam diskusi tersebut, mereka memasukan faham-faham mereka dengan menyitir ayat al-Quran sebagai dasar dari pendapat mereka. Mereka menghubungkan fenomena seperti bencana alam, sebagai akibat dari kebobrokan sistem negara ini. Mereka berusaha untuk memaksakan pendapat mereka supaya bisa diterima oleh logika agama mahasiswa tersebut. Pada akhirnya mereka mengajak untuk mengucapkan syahadat kembali dengan dalih untuk berhijrah dari golongan kiri menuju golongan  kanan. Golongan kiri yang mereka sebut adalah golongan diluar mereka yang kafir dan golongan kanan adalah mereka yang benar dan akan masuk surga.
Namun, tidak semua mahasiswa dapat direkrut oleh mereka, hanya mahasiswa yang cenderung “kupu-kupu” (kuliah pulang) yang notabene terpengaruh, berbeda dengan mahasiswa yang aktif berorganisasi dan sering berdiskusi yang cenderung jarang terpengaruh oleh mereka. Selain itu, pendidikan Islam juga berpengaruh dalam menghentikan laju perkembangan organisasi ini. Diskusi-diskusi terutama diskusi agama harus lebih di bangkitkan  kembali dalam kalangan mahasiswa supaya bisa menumbuhkan sikap kritis terhadap doktrin-doktrin menyimpang.
Kenyataan itu sangat masuk akal, karena mahasiswa yang sering berkumpul baik itu hanya nongkrong maupun berorganisasi lebih memiliki pikiran yang terbuka. Biasanya mereka tidak langsung menerima informasi baru dan lebih kritis atau malah cenderung skeptis. Ini yang menjadi kesulitan NII dalam merekrut mahasiswa, sehingga mereka lebih memfokuskan terhadap mahasiswa yang cenderung individual. 
Wallahua'lam bisshowab

Friday, March 2, 2012

Islam Kaffah ??

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Jargon Islam Kaffah sering kali kita temukan disekitar kita baik dibuletin, surat kabar, majalah dan lainnya baik itu di kota maupun di desa dan terutama sekali di wilayah kampus. Jargon ini berasal dari kutipan salah satu ayat Al-Quran dalam surat Al-Baqarqah: 208 yang berbunyi “Udkhulu fis silmi Kaffah” yang memiliki arti “Masuklah kamu semua ke dalam agama Islam secara keseluruhan”. Jargon “Islam kaffah” yang menjadi alat hegemoni salah satu kelompok Islam secara sekilas sangat baik, dengan mengajak seluruh umat Islam untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), tidak setengah-setengah.
Namun sebagai seorang akademisi, selayaknya kita harus berfikir kritis dan analitis dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap pernyataan jargon mereka. Kita harus memiliki filter yang tentu saja pengetahuan kita terhadap sebuah berita yang kita terima, jangan lantas kita percaya begitu saja tanpa mempersoalkan isi dari berita tersebut. Pola berfikir kritis analitis harus kita bangun sebagai masyarakat akademis, hendaklah kita meyakini karena kita tahu, bukan malah tahu karena kita meyakini terkait kondisionalitas dalam Islam bukan masalah normativitasnya.
Kita kembali lagi dalam Islam kaffah, KH. Muchith Muzadi menegaskan bahwa umat Islam tidak bisa menjadi kaffah, karena hanya nabi Muhammad Saw yang kaffah. Kaffah yang berarti keseluruhan hanya bisa dilakukan oleh pembawa Islam itu sendiri sebagai penyebar ajaran Islam. Islam sebagai sebuah agama tidak melulu mengajarakan ibadah yang berarti ritual, namun Islam juga mengajarkan ibadah sosial sehingga dalam Islam kita kenal hablumminallah dan hablumminannas (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia). Jika konteks kaffah yang mereka maksudkan sesuai dengan terjemahan ayat diatas, maka timbul pertanyaan, bisakah seorang manusia melakukan hal tersebut? Tanpa melakukan dosa terhadap tuhan dan terhadap manusia?sedang kita tahu ada hadis yang menyatakan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang kepada manusia sebelum yang bersangkutan memaafkannya. Sungguh berat.....
Substansi dari Islam kaffah yang mereka yakini adalah memurnikan agama Islam dari prilaku-prilaku yang menyimpang yang disebabkan oleh adat istiadat masyarakat. Islam kaffah juga diartikan sebagai sifat agama yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dari dahulu hingga sekarang, sehingga seluruh permasalahan umat bisa diselesaikan dengan merujuk kamus Islam dalam pengertian Islam secara tekstual. Mereka adalah gelombang kesekian dari gerakan wahabisme yang ingin memurnikan kembali ajaran  Islam. Lalu bagaimana bentuk murni dari ajaran Islam?. Dengan berbagai tafsiran al-Quran dari para sahabat, tabi’in dan ulama yang kadang-kadang berbeda, juga tata cara ibadah yang seringkali berbeda. Atau apakah Islam harus bersifat eksklusif? Dengan tidak menyentuh aspek sosiologis dalam masyarakat, sedangkan tiap masyarakat akan melahirkan sebuah budaya. Kita kenal dalam ushul fiqh sebuah kalimat yang berbunyi “Al adah muhakkamah” yang berarti tradisi (adat) bisa menjadi hukum. Betapa Islam sangat menghargai sebuah adat dalam masyarakat, tinggal kita sebagai penganutnya harus berlaku akomodatif, selektif dan proposional dalam memilih adat.
Kita jangan terjabak dalam pola pikir bahwa Arab itu Islam dan Islam itu Arab yang nantinya berujung dalam Arabisasi bukannya Islamisasi. Jelas sekali perbedaannya antara kedua konsep terebut, Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin berlaku untuk seluruh alam bukan hanya berlaku bagi bangsa arab saja. Maka Islam juga mengakomodir seluruh hasil pola pikir masyarakat dan lebih jauhnya mengakomodir hasil budaya masyarakat secara keseluruhan. Tanah arab yang menjadi tempat kelahiran Islam memang menjadi dasar diterapkannya hukum Islam, namun jika menyimpulkan bahwa Islam itu adalah Arab maka kita telah mengingkari Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Mereka mempersoalkan budaya dzikir bersama, salaman setelah salat dan qasidahan yang justru tidak kita temukan madharatnya hanya karena tidak tercantum dalam hadits. Mereka lupa bahwa keberadaan pesantren tidak dikenal di tanah arab, justru pesantren adalah hasil kebudayaan yang berasal dari budaya Hindu, dalam sistem pengajaran Hindu dikenal padepokan sebagai tempat belajar mengajar. Pesantren yang asal katanya santri berasal dari kata cantrik yang berarti seorang murid (agama Hindu) yang selalu melayani gurunya.
Mereka melakukan justifikasi teologis terhadap kelompok Islam yang berbeda dengan mereka sebagai sinkretis, tidak otentik atau yang lebih ekstrem sebagai kafir. Stigma seperti itu diawali oleh doktrin Islam kaffah yang berubah menjadi sebuah ideologi dan diartikulasikan kedalam sebuah gerakan sebagai pemurnian terhadap Islam. Mereka melarang adanya paham-paham luar yang masuk ke dalam Islam, justru dengan begitu mereka telah merubah Islam menjadi eksklusif dan kaku. Yang seharusnya Islam bisa lebih mesra berdampingan dengan adat sebagai identitas masyarakat dan jalan untuk memajukan Islam.
Wallahu’alam bisshawab