Halaman

Sunday, February 26, 2012

Kebenaran Sejarah

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Apakah ada kebenaran dalam sejarah ? apakah yang diuraikan dalam buku ini adalah benar-benar peristiwa yang terjadi ?, pertanyaan mendasar seperti ini seringkali timbul ketika kita membaca sebuah uraian sejarah tentang sebuah peristiwa. Namun kita seringkali mengabaikan arti dari ‘kebenaran’ dalam sebuah sejarah atau cenderung menganggap ‘kebenaran sejarah’ itu adalah apa yang diuraikan dalam uraian sejarah yang kita baca. Ketika anggapan kita sebagai pembaca seperti itu, maka keadaan tersebut akan menimbulkan suatu pandangan subjektif terhadap suatu peristiwa dan lebih parah lagi akan menimbulkan fanatisme terhadap suatu ‘kebenaran’ dari satu atau sekelompok sejarawan. Hal seperti ini menyebabkan pandangan keliru khalayak terhadap peristiwa tanpa melihat sudut pandang lain sebagai pembanding. Selain itu, paradigma seperti ini memberikan ruang untuk ‘memalsukan’ sejarah dengan mempergunakan sejarah sebagai alat propaganda dalam peneybaran ideologi maupun dalam usaha menjatuhkan lawan politik.
Kekhawatiran itu wajar, karena itu adalah kenyataan dan sudah terbukti dalam historiografi (penulisan sejarah) Indonesia. Jika pembaca lebih teliti dan lebih faham dalam membaca sebuah tulisan sejarah maka akan terlihat jalur kemana kita sebagai pembaca akan dibawa oleh penulis. Jika kita terbang ke masa orde lama, ketika character and national building sedang di gembor-gemborkan oleh Soekarno dengan massif, kita bisa melihat karakteristik dalam historiografi Indonesia pada waktu itu yang menekankan nasionalisme. Mulai dari Boedi Oetomo yang dijadikan tonggak lahirnya kebangkitan nasional yang masih dipertanyakan, sampai pada penganugrahan ‘gelar’ pemberontak terhadap Aru Palaka karena telah melawan dari raja Hasanudin dari kerajaan Gowa Tallo yang padahal dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat Bugis.


Melompat pada masa rezim Soeharto, ketika sejarah diseragamkan. Pada masa Orde Baru penulisan sejarah harus mendapatkan ‘restu’ dari Soeharto supaya tidak menimbulkan instabilitas politik dan ekonomi. Para sejarawan yang memiliki pandangan yang berbeda ‘diamankan’ dan hasil dari karyanya ‘dirapikan’. Selain itu tekanan-tekanan terus diberikan terhadap lawan politiknya melalui penulisan sejarah yang ‘menyimpang’. Contoh yang lumrah adalah politik Orde Baru yang mendeskriditkan eks anggota PKI, bukan hanya eks anggota PKI namun sampai keturunannya diberi label ‘anak komunis’ sehingga seolah-olah menjadi dosa turunan.
Tetapi keadaan sekarang cenderung berbeda dengan masa lalu, kita setelah reformasi dibebaskan dalam berkarya dan mengeluarkan pendapat. Kita mengharapkan tuah reformasi untuk medapatkan sejarah yang kritis, yang objektif tanpa ada sebuah fakta yang ditutup-tutupi atau bahkan dihilangkan. Sekarang sudah terbukti, para sejarawan yang dahulu bungkam atau dipaksa bungkam berlomba-lomba menyajikan suatu kebenaran tentang masa lalu, seperti jamur yang tumbuh di musim hujan. Terlepas dari keragaman sejarah tersebut, semuanya adalah khazanah yang pantas untuk dibaca dalam berusaha menemukan kembali kebenaran sebuah peristiwa.

               Baca juga : Setiap Manusia adalah Sejarawan
   
Sebenarnya sebelum melangkah lebih jauh kita harus membedakan antara benar dalam arti yang sesungguhnya (mutlak) dengan benar dalam pandangan sejarah atau kebenaran sejarah. Benar dalam arti mutlak berarti suatu pendapat yang telah disepakati oleh seluruh orang dalam masyarakat dan kebenaran dogma sebuah agama. Sedangkan kebenaran di dalam sejarah adalah menyangkut objektifitas seorang sejarawan yang menuliskan kembali peristiwa sejarah. Menurut Frederick bilamana objektif diartikan hanya dengan maksud yang sama seperti ‘benar’ dalam arti yang mutak, maka kita terpaksa menyimpulkan bahwa objektivitas itu tidak pernah dapat dicapai (Frederick 1988: 10).
Historia rerum gestarum, bahwa sejarah adalah kisah masa lalu yang dijelaskan, bukan res gestae, kejadian masa lalu itu sendiri secara utuh. Sejarawan tidak bisa menjelaskan secara lengkap bagaimana kronologis terjadinya perang Diponegoro secara lengkap dan utuh (res gestae) karena seorang sejarawan tidak dapat kembali ke masa lalu untuk menuliskan peristiwa tersebut. Dalam menjelaskan masa lalu itu, sejarawan hanya berpijak pada rekaman sejarah baik itu arsip, catatan dan naskah yang berhubungan dengan peristiwa yang dijelaskan (historia rerum gestarum). Dari rekaman sejarah tersebut, sejarawan mencari data atau evidensi yang telah mengalami kritik sumber dan kemudian diolah menjadi fakta, selanjutnya sejarawan merekonstruksi peristiwa tersebut dengan menggunakan fakta-fakta yang telah didapatkan. Sejarawan dituntut kritis dan menggunakan analisis untuk menghasilkan sintesis dari seluruh penelitiannya dalam bentuk tulisan utuh yang disebut historiografi. Hasil rekonstruksi itu disebut sejarah dan dianggap mewakili masa lalu dan sejarah merupakan wujud masa lalu yang berbentuk tulisan.
Kaitan Metodologi dengan Objektifitas Sejarah
Keobjektifan sejarah bisa kita lihat dari penggunaan metodologi sejarah dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu. Sebagai sebuah ilmu, sejarah memiliki perangkat metodologi yang dipergunakan ketika sejarawan meneliti sampai merekonstruksi peristiwa masa lalu. Sedangkan menurut kamus Webster’s Third New International Dictonary of The English Language dalam bukunya Helijus Sjamsudin definisi dari metodologi adalah suatu prosedur, teknik, atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang dipakai oleh atau yang sesuai untuk suatu ilmu (sains), seni, atau disiplin tertentu: Metodologi… Metodologi meliputi keseluruhan penelitian sejarah dari tahap heuristik (pengumpulan sumber), kritik sumber, historiografi, interpretasi, eksplanasi sampai tahap ekspose (penyajian sejarah) serta mengatur apa yang seharusnya dilakukan oleh sejarawan di dalam tahapan-tahapan tersebut. Kedudukan metodologi sangat penting dalam sebuah ilmu, karena merupakan perangkat ilmiah dalam suatu penelitian sehingga mendapatkan kebenaran (objektif) dalam penelitian tersebut.


Untuk mendapatkan kebenaran (objektif) dalam sejarah, sejarah hanya bisa menyandarkan keobjektifannya dalam penggunaan metodologi. Maksudnya, kebenaran dalam sejarah ditentukan penggunaan metodologi oleh sejarawan dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu. Dalam merekonstruksi sebuah peristiwa, sejarawan dituntut menggunakan tahapan-tahapan metodologi dari mulai tahap pengumpulan sumber, kemudian kritik sumber, interpretasi, eksplanasi sampai tahap ekspose. Selain itu, sejarawan harus bisa memposisikan dirinya seobjektif mungkin dengan tidak berfihak terhadap sebuah golongan, dengan melepaskan keterkaitannya terhadap sebuah golongan dalam objek penelitiannya.
Memang pada awalnya sejarawan didorong oleh perasaan, baik itu perasaan iba maupun perasaan benci terhadap suatu golongan untuk menuliskan suatu peristiwa. Walaupun rasa empati (iba) itu penting sebagai dorongan sejarawan untuk melakukan penelitian terhadap sebuah peristiwa, namun jika empati itu berlebihan terhadap pelaku atau golongan dalam sebuah peristiwa maka keobjektifan dalam metodologi tidak akan tercapai dan dalam penyajian sejarah pun tidak akan berimbang.
Hal ini menjadi sangat penting karena sejarah hanya sebuah uraian sistematis kronologis dari sejarawan terhadap sebuah peristiwa masa lalu. Para sejarawan hanya berpijak pada fakta-fakta yang didapatkan melalui dokumen, arsip atau wawancara. Fakta-fakta yang didapatkan menjadi dasar pijakan sejarawan untuk melakukan tafsiran (interpretasi) terhadap fakta-fakta tersebut sehingga menjadi suatu uraian sejarah. Helijus Sjamsudin (2007:343) dalam bukunya menuliskan :
Status dari pengetahuan sejarah tidak didasarkan atas kebenaran dan akurasi dalam hubungan masa lalu itu sendiri melainkan pada historisasi dari masa lalu yang dibangun atas dasar jejak-jejak (traces) yang ditinggalkannya. Hasil rekonstruksi itu dianggap mewakili (representasi) masa lalu yang disebut ‘sejarah’ dan ini merupakan medium dari masa lalu dalam bentuk teks (historiografi). (Jenkins, 1995: 18)
Namun sebelum pada tahap interpretasi, sejarawan harus melakukan kritik terhadap fakta yang didapatkannya, kritik tersebut meliputi kritik eksternal dan kritik internal. Tahap ini penting karena menyangkut pemilihan sumber yang akan digunakan sejarawan. Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan fakta yang kredibel dan dapat dipertanggung jawabkan dari sebuah sumber. Menurut Helijus Sjamsudin (2007: 132) :
Kritik Sumber umumnya dilakukan terhadap sumber pertama. Kritik ini menyangkut verifikasi sumber yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan krtitik internal.
Sejarawan tidak mungkin kembali ke masa lalu untuk menuliskan bagaimana peristiwa sejarah itu berlangsung dan sejarawan tidak mungkin melakukan eksperimen terhadap suatu peristiwa. Sejarawan hanya bersandar pada fakta-fakta yang ditinggalkan oleh peristiwa masa lalu yang diolah dalam metodologi kemudian melakukan interpretasi terhadap fakta. Interpretasi dari fakta-fakta bertujuan untuk mendapatkan kesesuaian dan kesinambungan dari peristiwa masa lalu. Interaksi sejarawan dengan faktanya ini pada akhirnya akan menjadi uraian sejarah secara sistemais dan kronologis sehingga menjadi penyajian sejarah (eksplanasi). Pengolahan dari fakta-fakta kedalam metodologi sehingga menghasilkan suatu eksplanasi adalah keobjektifan dalam sejarah.


Metodologi sejarah yang membuka ruang bagi sejarawan untuk mengambil fakta yang mana saja yang dianggap kredibel dari sebuah peristiwa yang ditelitinya dan kebebasan penggunaan imajinasi dalam tahap interpretasi menimbulkan munculnya ‘keragaman’ sejarah. Seperti peristiwa Gerakan 30 Sepetember yang memiliki ‘keragaman’ mulai dari versi PKI, Suharto, Sukarno sampai CIA. Sebenarnya hal seperti ini wajar jika sejarawan yang menuliskannya memenuhi kaidah metodologi yang digariskan dalam sebuah penelitian sejarah karena kembali lagi sejarah hanya tafsiran terhadap fakta-fakta dari peristiwa masa lalu bukan masa lalu yang sesungguhnya.
Atas dasar itu, objektivitas sejarah dilihat dari penggunaan metodologi sejarah oleh sejarawan dalam merekonstruksi peristiwa masa lalu. Meskipun dalam sejarah terdapat ‘keragaman’, tetapi keragaman tersebut didukung oleh kebenaran metodologi yang dipakai sejarawan. Kita sebagai pembaca dibebaskan untuk menilai kebenaran dalam suatu sejarah. 

               Baca juga artikel lainnya terkait Sejarah     

Sumber
Sjamsudin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta. Ombak
Frederick, William H. 1988. Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta. LP3ES

Sunday, February 5, 2012

Peran Diplomasi dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Lebih Baik di Atom daripada Tidak Merdeka 100%...!!!
Itulah pekik semangat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika periode (menurut George Kahin) sebagai internal dynamic in the revolution. Periode ini adalah periode dimana para pemimpin perjuangan memperdebatkan jalan perjuangan yang harus ditempuh untuk mempertahankan Indonesia. Titik pangkal perdebatan ini dimulai ketika perang Surabaya pada 10 November 1945 yang mengakibatkan jatuhnya korban yang sangat banyak dari rakyat Indonesia. Dua opsi yang menjadi perebatan yaitu perjuangan lewat perjuangan fisik atau perjuangan lewat diplomasi?. Para pemimpin Indonesia mulai memperdebatkan jalan terbaik untuk mempertahankan kedaulatan Republik. Perdebatan sengit diantara pemimpin yang mendukung jalan perang fisik dengan tokohya seperti Tan Malaka, M Yamin dan Jenderal Sudirman sedangkan pendukung jalan diplomasi dengan tokohnya yaitu Sukarno, Hatta dan Sjahrir.

Jika dilihat sekilas memang itulah slogan yang populer dalam periode itu. Tetapi jika kita melihat keadaan pada waktu itu, kita sebenarnya tidak cukup mampu untuk melawan Belanda dan Sekutu melalui jalan perang fisik. Ada 3 alasan mendasar mengapa Indonesia lemah apabila melanjutkan pertempuran fisik. Pertama, logistik persenjataan Indonesia kalah telak dengan persenjataan Belanda dan Sekutu. Ini menjadi kekhawatiran para pemimpin Indonesia karena berpotensi jatuhnya korban yang besar. Apabila begitu, siapa yang akan melanjutkan perjuangan Indonesia???. Yang kedua, Republik ini baru merdeka dan belum memiliki garis komando yang lengkap antara pusat dengan daerah. Yang ketiga, Indonesia adalah negara bekas jajahan Belanda yang kemudian dikuasai oleh Jepang, ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II otomatis seluruh negara yang dikuasai oleh Jepang (termasuk Indonesia) diserahkan kepada sekutu. Disinilah fungsi diplomasi sebagai salah satu jalan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, karena suatu negara tidak bisa mengklaim merdeka tanpa pengakuan dari dunia Internasional.

Sebenarnya peran diplomasi yang digagas oleh Sukarno dan Hatta yang kemudian dijabarkan oleh Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri pertama pada waktu itu sangatlah penting. Karena diplomasi itu adalah jalan satu-satunya bagi Indonesia yang baru merdeka untuk mendapatkan status de jure dari dunia Internasional. Hasan Wirajuda berkata, 'pada waktu itu Indonesia bukan hanya sedang menghadapi Belanda (penjajah) tapi Indonesia juga sedang menghadapi sistem internasional yang sulit ditembus'. Jalan satu-satunya adalah dengan cara berdiplomasi baik itu diplomasi dengan Belanda, Sekutu ataupun dengan dunia Internasional. Jadi jangan lupakan peran diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Jika dilihat secara sekilas, dampak diplomasi yang dijalankan oleh Indonesia seperti Linggarjati, Renville dan Roem Royen sangat merugikan pihak Indonesia dengan menyusutnya wilayah Indonesia. Jika kita melihat lebih dalam tentang diplomasi kita akan melihat betapa besarnya peran diplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta pada saat memproklamasikan Indonesia dianggap oleh Sekutu sebagai penjahat perang. Ada beberapa alasan mengapa Sukarno Hatta dianggap sebagai penjahat perang:

1. Sukarno dan Hatta adalah kolaborator pada saat Jepang berkuasa di Indonesia. Sukarno Hatta adalah dua tokoh yang bekerjasama dengan Jepang
2. Teks Proklamasi di buat di rumah pejabat Jepang
3. Undang-Undang Dasar 1945 dibuat oleh badan-badan bentukan Jepang BPUPKI dan PPKI
4. Republik Indonesia adalah negara yang tidak demokratis karena bentukan Jepang

Untuk menghilangkan tuduhan Sekutu dan dunia Internasional, maka Sukarno mengeluarkan strategi berupa :

1. Rapat raksasa di lapangan Ikada (lapangan Banteng)
2. Berubahnya bentuk pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer
3. Menunjukan eksistensi di dunia Internasional dengan mengadakan perundingan dengan Belanda dan Sekutu seperti perundingan Linggarjati, Renville, Roem Royen dan KMB.
4. Mengirimkan beberapa diplomat ke negara-negara tetangga.

Dampak dari diadakannya Rapat Raksasa di Ikada adalah penagkuan tentara Sekutu terhadap Sukarno sebagai pemimpin Indonesia yang dipatuhi oleh rakyatnya. Ketika rapat Ikada berlangsung dengan dijaga ketat oleh tenatar sekutu dan Jepang, Sukarno bisa menunjukan bahwa dia adalah pemimpin Republik Indonesia yang diakui dan dipatuhi oleh rakyatnya. Kemudian dengan adanya diplomasi Indonesia dengan Sekutu dan Belanda secara tidak langsung Sekutu dan Belanda mengakui eksistensi Republik Indonesia. Selain itu Sukarno dan Hatta tidak lagi menjadi penjahat perang karena mereka sudah diakui lewat pelaksanaan diplomasi sebagai pemimpin Republik Indonesia.

Langkah selanjutnya yang ditempuh Sukarno untuk melepaskan anggapan Indonesia adalah negara yang tidak demokratis dan bentukan Jepang adalah merubah bentuk pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer. Sukarno sengaja memilih Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri pada saat itu, karena Sutan Sjahrir tidak bekerja sama dengan Jepang pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia. Selain itu Sutan Sjahrir memiliki pandangan bahwa perjuangan tidaklah harus dengan jalan perang fisik, tetapi jalan diplomasi juga sangat penting.

Apabila Sukarno menginginkan perang fisik diutamakan, maka tentulah Sukarno akan memilih Tan Malaka untuk jadi Perdana Menteri pada saat itu. Tan Malaka adalah tokoh yang banyak dikagumi oleh rakyat Indonesia pada waktu itu karena beliau heroik dalam perjuangannya. Tetapi Sukarno pada saat itu bisa melaihat lebih dalam strategi perjuangan yang harus ditempuh oleh bangsa ini.

Sebenarnya, perjuangan fisik dengan perjuangan diplomasi bagaikan dua sisi dalam satu mata uang. kedua jalan ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena keduanya memiliki fungsi dan peran masing-masing dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.