Halaman

Sunday, October 28, 2012

Nasionalisme Pemuda

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Bertanah air satu, tanah air Indonesia
Berbahasa satu, bahasa Indonesia
Berbangsa satu, bangsa Indonesia

Kalimat-kalimat di atas bukanlah penggalan sebuah puisi dari seorang pujangga terkenal, bukan juga sebuah karya sastra dari sastrawan tersohor. Namun kalimat di atas merupakan kata-kata yang yang disusun dengan sebuah tekad, tekad dari idealisme yang menyala-nyala. Mereka hanyalah sekelompok anak muda dari berbagai wilayah yang tersebar di Hindia Belanda, wilayah yang sangat luas, yang memiliki berbagai suku, budaya, dan agama. Meski mereka terdiri dari berbagai latar belakang, namun pada 28 Oktober 1928 mereka bersama-sama mengucapkan sebuah sumpah tentang cita-cita akan terbentuknya sebuah negara yang terlepas dari cengkraman Belanda.
Adalah mereka anak-anak muda yang berasal dari berbagai pulau di Hindia Belanda, yang ‘merantau’ untuk mencari ilmu ke Jawa dengan gagah berani mengucapkan ikrar tersebut. Mereka datang dari daerah untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dikarenakan sarana pendidikan didaerahnya sangat terbatas. Pada awalnya, mereka telah ‘disiapkan’ oleh pemerintah kolonial untuk mengisi pos-pos pada berbagai bidang pekerjaan pemerintah. Mereka diproyeksikan akan menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial di Hindia Belanda dan menjadi antek-antek pemerintah kolonial. Selanjutnya mereka yang akan menjadi penjajah bagi bangsanya sendiri, menjadi pengkhianat yang menindas saudaranya sendiri.
Memang itulah tujuan dari dibukanya sarana pendidikan di Hindia Belanda yang merupakan bagian dari Politik Etis yang dicetuskan oleh van Deventer dalam artikelnya yang berjudul ‘Een Eereschuld’ (suatu utang kehormatan) pada majalah de Gids. Ia adalah seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Hindia Belanda selama 17 tahun pada 1880-1897[1]. Suatu utang kehormatan menjadi sebuah artikel yang ia tulis setelah ia menyadari bagaimana massif eksploitasi bangsanya terhadap Hindia Belanda, tanpa memperhatikan rakyat pribumi.
Meskipun cita-cita van Deventer tercapai, namun hanya segelintir orang yang dapat mencicipi nyamannya bangku sekolah. Tetap pendidikan tidak mampu merangkul tangan-tangan rakyat miskin. Pendidikan hanya untuk orang-orang asing, terutama untuk anak-anak pegawai Belanda. Kalaupun ada rakyat pribumi yang dapat bersekolah, sudah bisa dipastikan bahwa ia keturunan ningrat, keluarga bupati, anak dari pegawai pemerintah kolonial, atau paling tidak orang terkaya di kampungnya. Akses pendidikan bagi rakyat miskin tertutup.
Meskipun begitu, tersedianya sarana pendidikan di Hindia Belanda memberikan dampak yang sangat positif. Rakyat pribumi, meskipun hanya sebagian kecil, mendapatkan pengetahuan yang sama dengan orang asing. Mereka belajar ilmu bumi, hukum, kedokteran, sastra dan sejarah, politik dan bahasa asing. Sehingga, awal abad ke 20, terjadi perubahan sosial di Hindia Belanda dengan munculnya kaum cendekiawan atau orang berpendidikan barat. Seperti halnya di Eropa pada abad ke 18 terjadi perubahan sosial dengan munculnya kelas sosial baru yaitu borjuis. Kaum borjuis merupakan bagian dari kelas sosial menengah, namun mereka berpendidikan tinggi, dan kaum inilah yang menggelorakan revolusi di Prancis pada tahun 1789.
Ada kata-kata bijak yang menyatakan bahwa ‘sejarah pasti berulang’. Maksud dari kalimat tersebut bukan berarti sejarah secara utuh yang berulang, namun jiwa, ruh dan semangat dari peristiwa sejarah yang akan berulang. Fenomena, jiwa dan spirit revolusi di Eropa ternyata sampai juga di Hindia Belanda pada awal abad ke 20 dengan saluran pendidikan barat. Para pelajar kini memahami arti dari sebuah kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang diajarkan oleh revolusi Prancis. Layaknya kaum borjuis Prancis, mereka menuntut ketiga hal tersebut kepada pemerintah kolonial karena mereka menyadari bahwa hal tersebut merupakan hak asasi bagi setiap rakyat. Bibit-bibit nasionalisme tumbuh subur seiring banyaknya orang pribumi merasakan pendidikan barat. Agaknya, politik etis yang dijalankan oleh pemerintah kolonial menjadi boomerang bagi kelangsungan dan kedudukan pemerintah kolonial di Hindia Belanda. Pendidikan telah membuka mata rakyat pribumi akan pentingya sebuah cita-cita, persaudaraan, perlawanan, keadilan dan lebih jauh membentuk sebuah nation atau bangsa. Penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial menjadi pemicu munculnya ikatan-ikatan yang kuat diantara rakyat pribumi, meskipun mereka tidak satu keturunan, tidak satu agama, juga tidak satu budaya. Namun, keinginan akan hidup bersama tanpa adanya penindasan menjadi sangat penting, dan hal inilah yang kita namakan nasionalisme[2].     
Begitupun dengan anak-anak muda yang berkumpul pada tanggal 28 Oktober, mereka terdiri dari berbagai latar belakang, berbagai suku, berbagai agama, namun ada satu persamaan dari mereka, yaitu mereka adalah orang-orang kaya. Mereka adalah anak muda yang terjamin masa depannya, mereka yang telah dipersiapkan untuk menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial, mereka juga yang akan hidup nyaman dimasa depannya. Mereka yang secara pribadi tidak merasakan pedihnya penjajahan, mereka tidak merasakan bagaimana sakit hatinya dilecehkan, dimaki-maki dan diperintah seenaknya oleh orang Belanda.
Meskipun mereka tidak merasakan pedihnya penjajahan, namun mereka memiliki mata dan telinga yang dapat melihat dan mendengar saudaranya yang memiliki warna kulit, warna rambut serta bahasa yang sama dengan mereka diinjak harga dirinya, dimaki serta diperintah layaknya seekor hewan dengan nama ‘Inlander goblok’. Penindasan yang mereka lihat sehari-hari memupuk kesadaran akan bejatnya perlakuan orang Belanda terhadap saudara mereka.  
Pada dasarnya, manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hasrat membentuk komunitas sosial sebagai wadah untuk bersosialisasi, bertukar pikiran dan penguat rasa persaudaraan merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Terbentuknya suatu komunitas selalu didasari atas sebuah kesamaan, baik itu ekonomi, politik, agama maupun budaya. Keinginan untuk menguatkan persaudaraan yang mendorong para ‘perantau’ di Jawa membentuk suatu komunitas. Sehingga banyak perkumpulan pemuda muncul dengan membawa identitasnya masing-masing.
Selagi kaum tua sudah mulai bergerak pada tahun 1908, dengan berdirinya ‘Budi Utomo’, kaum muda baru bergerak pada bulan Maret 1915 dengan berdirinya perkumpulan pemuda pelajar yang diberi nama ‘Tri Koro Dharmo’ (Tiga Tujuan Mulia) yang pada tahun 1918 dalam Kongresnya yang kedua dirubah menjadi Jong Java dengan tujuan untuk meredam sentimen orang Sunda dan Madura terhadap nama perkumpulan tersebut[3]. Jong Java bukan satu-satunya perkumpulan pemuda di Jawa, namun ada beberapa perkumpulan lain yang menonjolkan identitas kedaerahannya seperti Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa dan Jong Ambon.  Pada awalnya, perkumpulan-perkumpulan tersebut berjalan masing-masing, dengan dibatasi oleh etnosentrisme sebagai azas yang dianut. Mereka menjauhkan diri dari berbagai hal yang berbau politik dalam kegiatannya, namun mereka memiliki cita-cita politik, yaitu Indonesia Merdeka.
Gejala menuju persatuan terlihat pada kongres Jong Java di Solo tahun 1926 yang merubah tujuan perkumpulan menjadi ‘Memadukan rasa persatuan para anggota dengan semua golongan bangsa Indonesia dan dengan bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan pemuda Indonesia lainnya ikut serta dalam menyebarkan dan memperkuat faham Indonesia bersatu’. Namun, Jong Java tidak lantas menjalankan tujuannya tersebut[4]. Jong Java merubah tujuan perkumpulan yang pada awalnya untuk mewujudkan persatuan Jawa menjadi lebih luas, merangkul perkumpulan daerah lainnya yang dianggap sebagai wakil dari daerah-daerah di Hindia Belanda untuk membentuk sebuah nation (bangsa).
Pada waktu yang hampir bersamaan, mahasiswa ‘Rechtshogeschool’ (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia membentuk sebuah perkumpulan pelajar. Azasnya ialah berjuang untuk kemerdekaan bangsa yaitu Indonesia yang Merdeka[5]. Merekalah yang memprakarsai bersatunya perkumpulan-perkumpulan kedaerahan yang ada di Jakarta dan Bandung untuk bersatu dan menyamakan tujuan perkumpulan yaitu Indonesia Merdeka. Mereka juga yang memprakarsai Kongres Pemuda I pada 30 April – 2 Mei di Jakarta yang menghasilkan beberapa poin yang penting, dalam kongres ini pula nama Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia dipilih sebagai nama perkumpulan. Tujuan perkumpulan tidak lain untuk menamkan rasa kebangsaan serta mempersatuakan perkumpulan kedaerahan. Namun, tujuan dari kongres ini tidak dapat dicapai karena masih kuatnya rasa kedaerahan pada setiap perkumpulan[6].
Barulah pada tanggal 27-28 Oktober 1928, PPPI dapat memprakarsai Kongres Pemuda ke II sebagai penguatan serta tindak lanjut dari hasil Kongres I yaitu mempersatukan seluruh perkumpulan pemuda yang bersifat kedaerahan untuk menyamakan tekad berjuang mewujudkan Indonesia Merdeka. Namun tetap saja fusi yang dicita-citakan belum terwujud sepenuhnya, karena persoalan fusi perkumpulan harus berdasarkan keputusan setiap perkumpulan. Tetapi setidaknya Kongres pada tanggal 27-28 Oktober ini menghasilkan sebuah ikrar yang merupakan tekad anak-anak muda dari berbagai golongan dan latar belakang yang berbeda yang kita kenal dewasa ini sebagai Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda merupakan bukti riil perjuangan anak-anak muda dalam partisipasinya untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara. Mereka berikrar tanpa mempersoalkan perbedaan ras, budaya, agama bahkan politik. Ikrar mereka hanya didorong oleh kesadaran akan perlunya persatuan diatas semua perbedaan untuk membentuk sebuah bangsa dan negara.




[1] M. C Ricklef, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008, Hal 328.
[2] Hans Kohn, Nasionalisme, Arti dan Sejarahnya, 1955, hal 12.
[3] L. M. Sitorus, Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia, 1988, hal 35.
[4] Ibid hal 36
[5] Ibid hal 36
[6] M. D. Poespenegoro dan N. Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, 2008, hal 429