Halaman

Monday, September 24, 2012

Undang-Undang Agraria 1870

Oleh Cecep Lukmanul Hakim

Pendahuluan
Berbicara mengenai sejarah Indonesia, masa kolonialisme merupakan salah satu periode terpenting dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Masa kolonialisme menjadi titik balik perjalanan bangsa ini, perubahan dari bangsa tradisional dan bergerak menuju bangsa yang modern. Meskipun dalam prosesnya bangsa ini harus mengorbankan tanah, tenaga bahkan darah. Sehingga periode ini merupakan sejarah yang amat kelam dan penuh emosi bagi bangsa kita.
Transformasi menuju bangsa yang modern dapat dicapai melalui berbagai saluran (aspek) dari sistem sosial masyarakat, salah satunya sistem ekonomi. Sistem ekonomi menjadi salah satu saluran terpenting dalam proses transformasi bangsa Indonesia dari tradisional menjadi bangsa yang modern. Kita tidak dapat mengingkari sejarah, bahwa awal mula kolonialisme di Indonesia berasal dari sistem ekonomi atau lebih tepatnya interaksi perdagangan. Bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang melakukan transaksi perdagangan dengan masyarakat pribumi terhitung setelah jatuhnya kota pelabuhan Malaka pada tahun 1511 sebagai pusat perdagangan internasional, terlebih dengan dikirimnya utusan oleh Albuquerque ke Maluku dan Sunda Kelapa tahun 1512. Menyusul bangsa Belanda yang mendatangi pelabuhan Banten sektiar tahun 1595 yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Melalui interaksi perdagangan lah kolonialisme VOC, dilanjutkan Belanda bercokol di Nusantara sampai tahun 1942.
Pembahasan mengenai sejarah perekonomian telah banyak dilakukan oleh sejarawan Indonesia maupun sejarawan Belanda. Secara garis besar, sejarah perekonomian Indonesia dibagi menjadi beberapa periode mulai dari masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), masa Cultuurstelsel, dan masa ekonomi Liberal. Pembagian tersebut berdasarkan politik ekonomi atau kebijakan ekonomi kolonial Belanda terhadap Hindia Belanda. Setiap periode memiliki ciri khas yang menjadi jiwa zaman dan tentunya memberikan dampak yang berbeda pula bagi perekonomian dan masyarakat Hindia Belanda. Perbedaan jiwa zaman menjadi daya tarik dari sejarah perekonomian Hindia Belanda untuk dibahas. Terlebih mengenai periode ekonomi Liberal, dimana kebijakan ekonomi Liberal diberlakukan dalam sistem kolonialisme. Karena kita tahu bahwa kolonialisme memiliki arti penjajahan dimana bangsa Indonesia berada dibawah kekuasaan Belanda, yang berarti tidak ada kebebasan untuk bangsa Indonesia.

Baca juga : Sistem Tanam Paksa

Tulisan ini hanya akan memfokuskan diri terhadap kebijakan ekonomi liberal yang diterapkan oleh pemerintah kolonial di Hindia Belanda, yaitu Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang termasuk kedalam Open Door Policy. Kebijakan ini mulai diterapkan pada tahun 1870 bersamaan dengan diterapkannya Undang-Undang Gula (Suiker Wet). Tulisan ini membatasi diri hanya pada latar belakang kebijakan diberlakukan serta esensi dari kebijakan tersebut.

Berlakunya Kebijakan Ekonomi Liberal di Hindia Belanda
            Periode tahun 1860-1870 menjadi masa kemenangan bagi Kaum Liberal di parlemen Belanda. Salah satu tokohnya berhasil menjadi Menteri Koloni, yaitu Van de Putte. Dengan direbutnya jabatan tersebut dari kaum Konservatif, maka komando atas negara jajahan berada dalam genggaman kaum Liberal, sehingga keinginan untuk liberalisasi Hindia Belanda mudah dilaksanakan. Langkah yang diambil oleh Van de Putte berkaitan dengan liberalisasi Hindia Belanda adalah memberlakukan Ontewrp Cultuurwet (hukum kultur). Namun usulan ini mendapatkan kecaman dari kaum Konservatif dan dari partainya sendiri, karena Putte memberikan kepada pemodal maupun petani hak penuh dan kebebasan atas tanah mereka[1]. Pemberian hak penuh dan kebebasan terhadap tanah akan merusak pranata-pranata rakya Jawa dengan banyaknya tanah komunal (tanah yang dimiliki bersama atau tanah adat) beralih menjadi hak milik pribadi karena keinginan rakyat untuk mendapatkan keuntungan. Keadaan ini menyebabkan Van de Putte mengundurkan diri dan diganti oleh Meijer dari partai Konservatif[2].
            Namun, kemunduran kaum Liberal dalam parlemen yang ditandai oleh mundurnya Putte bukan berarti semangat perubahan dan liberalisme berhenti. Meskipun kontrol negara koloni berada di tangan kaum Konservatif, namun semangat perbaikan dan perubahan nasib rakyat koloni tetap berjalan. Tujuan-tujuan kaum Liberal terus maju bahkan dibawah kepemimpinan musuh-musuhnya (Konservatif)[3].
            Ditariknya kebijakan Ontwerp Cultuurwet menyebabkan rakyat menuduh anggota parlemen dari Kaum Konservatif tidak bersungguh-sungguh melaksanakan liberalisasi di Hindia Belanda. Untuk meredam gejolak politik  tersebut parlemen mengirimkan tim untuk melakukan survey mengenai sistem kepemilikan tanah di Hindia Belanda yang diperintahkan dan dicantumkan dalam Pengumuman Raja 1866 kepada Gubernur Jenderal Hindia Timur Belanda. Pelaksanaan survey tersebut dilakukan pada tahun 1876 dengan keluarnya Dekrit Pemerintah Hindia Timur no. 2 dan 34 tahun 1876. Survey tersebut dilakukan terhadap 808 desa yang ada di pulau Jawa[4]. Pelaksanaan survey pada tahun 1876 bertujuan untuk mengakomodir sistem pertanahan tradisional sebagai persiapan kebijakan pengganti Ontwerp Cultuurwet.
            Keinginan untuk liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda tetap menjadi cita-cita rakyat pada saat itu terutama para pengusaha. Meskipun Cutuursteslel memberikan keuntungan yang sangat besar bagi perekonomian Belanda, namun kemakmuran bagi rakyat Hindia Belanda tidak tercapai, hal ini yang menimbulkan kritik terhadap kebijakan tersebut. Liberalisme menghendaki kegiatan ekonomi swasta tanpa campur tangan dari pemerintah sehingga kemakmuran rakyat dengan sendirinya dapat tercapai. Orang-orang liberal berkeyakinan bahwa perkembangan ekonomi yang pesat yang dicetuskan oleh kegiatan usaha swasta akan membawa kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyat Indonesia tanpa tindakan khusus dari pihak pemerintah Hindia Belanda[5].
Kegiatan ekonomi yang bebas dengan mekanisme sewa tanah dan sistem upah kerja akan menumbuhkan kesejahteraan bagi rakyat. Pendapatan dari hasil sewa tanah dan upah kerja akan meningkatkan taraf hidup bagi rakyat, sehingga terbukalah akses-akses untuk untuk mendapatkan fasilitas seperti pendidikan dan kesehatan. Jika fasilitas-fasilitas tersebut sudah bisa dijangkau oleh rakyat, maka kemakmuran bagi rakyat sudah tercapai.
Meskipun liberalisme menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah terhadap perekonomian, namun pemerintah diwajibkan menyelenggarakan fasilitas-fasilitas penunjang ekonomi. Fungsi pemerintah bukan hanya sebagai penjaga malam yang mengawasi kegiatan ekonomi saja. Beberapa orang dari mereka beranggapan bahwa kepada negara lebih banjak diserahkan tugas-tugas selain dari pada hanja memainkan peranan sebagai seorang pendjaga malam[6].  Pemerintah diharuskan membangun akses-akses bagi lancarnya arus produksi dan distribusi seperti pembangunan sarana transportasi (jalan raya, kereta api dan pelabuhan). Selain itu pemerintah juga harus menyediakan akses kesehatan bagi para buruh perkebunan supaya proses produksi lebih lancar.
Meskipun hasil survey tahun 1876 belum dilaporkan kepada parlemen Belanda, namun dorongan-dorongan kaum Liberal dan pengusaha swasta semakin kuat. Sehingga tujuan dari liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda pada tahun 1870 dapat tercapai dengan diberlakukannya kebijakan ekonomi liberal yang dikenal sebagai Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Pelaksanaan kebijakan ini ditandai oleh disahkannya dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) dan Undang-Undang Gula (Suiker Wet)[7].
Undang-Undang Agraria 1870 merupakan tambahan lima ayat baru pada Regerings Reglement no. 2 art. 62 tahun 1854 yang berjumlah tiga ayat. Kelima ayat tersebut disahkan oleh menteri koloni yang berasal dari kaum Konservatif yaitu De Wall pada tanggal 9 April 1870 dan tercantum pada Staatsblad van Nederlansche Indie no 55. Undang-Undang Agraria 1870 mengatur sistem kepemilikan dan persewaan tanah bercorak barat yang diterapkan di Hindia Belanda. Berbeda dengan kebijakan Cultuurstelsel, peraturan ini tidak hanya mengatur cara eksploitasi di Hindia Belanda, namun juga mengatur objek ekspolitasi dalam hal ini tanah. Pemerintah Belanda rupanya ingin menanamkan pengaruhnya sampai ke tingkat paling bawah dalam sistem sosial masyarakat Hindia Belanda yang sebelumnya hanya terbatas pada pimpinan feodal seperti raja atau bupati. Hubungan-hubungan administratif sebelumnya hanya sampai pada tingkat bupati atau regent, sehingga pengaruh kolonial tidak sampai pada tingkat masyarakat paling bawah. Dalam pemerintahan kolonial, bupati adalah objek kekuasaan gubernur jenderal/residen, tapi dalam struktur pemerintahan tradisional dan dalam kehidupan masyarakat pribumi, bupati berkedudukan sebagai kepala daerah/pemimpin tradisional. Dalam kedudukan itu, pengaruh bupati terhadap rakyat (objek kekuasaan bupati) sangat kuat[8].
Kemunculan peraturan ini menimbulkan sifat dualistis pada sistem perekonomian Hindia Belanda, maksudnya terdapat dua sistem yang berlaku yakni sistem ekonomi bercorak “barat” dalam hal ini Undang-Undang Agraria 1870 dan sistem ekonomi tradisional atau sistem adat yang berlaku disetiap daerah. Sifat dualistis tersebut diakibatkan adanya dua penentu kebijakan dalam satu wilayah, yakni pemerintah kolonial dan penguasa tradisional. Menurut Boeke maka sistem ekonomi suatu masyarakat itu dapat homogen atau dualistis. Masyarakat sebaliknya disebut dualistis atau pluralistis apabila di masyarakat tersebut sekaligus terdapat secara terpisah dua sistem atau lebih dan dengan demikian dapat dibedakan dengan jelas yang satu dengan yang lain[9].
Undang Agraria 1870 memiliki dua esensi yang menjadi tujuan dikeluarkannya peraturan tersebut. Pertama, Undang-Undang tersebut memberikan perlindungan hukum terhadap hak milik tanah pribumi yang tercantum dalam art 3, 5, 6, 7 dan 8. Hak eigendom yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Agraria 1870 art 7 menyangkut hak kepemilikan tanah pribadi yang berasal dari tanah komunal atau tanah ulayat dan lebih dikenal dengan istilah agrarische eigendom. Hak agrarische eigendom ini berasal dari hak milik adat yang atas permohonan pemiliknya, melalui suatu prosedur tertentu, diakui keberadaannya oleh pengadilan[10]. Peraturan ini memberikan jalan bagi rakyat pribumi untuk mendapatkan surat hak kepemilikan tanah yang sebelumnya hanya bersifat klaim sesuai dengan hukum adat yang berlaku.   
Tanah yang tidak dapat dibuktikan hak kepemilikannya dalam arti bukan milik pribumi dinyatakan hak milik negara (domein van de Staat). Pernyataan kepemilikan tersebut dikenal dengan nama Domein Verklaring (pernyataan kepemilikan) diatur dalam Koninklijk Besluit yang dikenal dengan nama Agrarische Besluit dan tercantum dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1870 yang berbunyi:
  ”Behaoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde Wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is”[11].
Terjemahannya:
  “Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya adalah domein (milik) negara”[12].
Definisi dari tanah negara (domein van de Staat) mencakup tanah yang dimiliki oleh rakyat pribumi atau tanah adat, sehingga muncul istilah tanah bebas dan tanah tidak bebas. Tanah bebas mengandung pengertian bahwa tanah negara yang bebas dari hak-hak rakyat pribumi, baik kepemilikan secara pribadi maupun secara adat dan tanah ini disebut woeste gronden. Sedangkan tanah tidak bebas mengandung pengertian tanah negara yang berada dibawah hak-hak rakyat pribumi, maksudnya tanah yang dimiliki rakyat secara adat[13].
Kedua, Undang-Undang Agraria 1870 merupakan peraturan bagi persewaan dan jual beli tanah di Hindia Belanda. Peraturan tersebut adalah suatu bentuk nyata kesungguhan dari pemerintah Belanda untuk melibatkan pengusaha swasta dalam perekonomian Hindia Belanda. Persewaan dan jual beli tanah hanya berlaku bagi tanah woeste gronden serta memliki hak guna. Untuk tanah domein lebih luas ada kesempatan bagi non-pribumi memiliki hak guna, ialah:
a.       Sebagai tanah dan hak membangun (recht van opstal, disingkat RVO);
b.      Tanah sebagai erfpacht (hak sewa serta hak mewariskan) untuk jangka waktu 75 tahun”[14].
Adanya hak erfpacht yang berjangka waktu 75 tahun bagi pengusaha swasta memberikan kemudahan untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda dengan bentuk membuka perkebunan-perkebunan. Menurut pasal 720 dan 721 KUHPerdata, hak erfpacht merupakan hak kebendaan yang memberikan kewenangan paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain. Pemegang hak erfpacht boleh menggunakan semua kewenangan yang terkandung dalam hak eigendom atas tanah. Selain itu, hak erfpacht dapat dibebani hypotheek, hingga terbuka kemungkinan bagi pengusaha untuk memperoleh kredit yang diperlukan dengan menunjuk tanahnya sebagai agunan...(pasal 724 dan 1164 KUHPerdata)[15]
Hak erfpacht merupakan keistimewaan dari Undang-Undang Agraria 1870, yang memberikan jangka waktu sewa tanah yang panjang sekaligus memberikan hak penuh bagi penyewa atas tanahnya seperti layaknya pemilik tanah. Berbeda dengan peraturan yang terdapat pada Regerings Reglement 1854[16] yang hanya memberikan jangka waktu sewa 20 tahun tanpa adanya hak erfpacht. Lamanya jangka waktu penyewaan tanah serta keistimewaan yang terdapat dalam hak erfpacht mendorong pengusaha swasta Belanda menanamkan modalnya di Hindia Belanda dalam bentuk membuka perkebunan.

Baca juga : Sistem Sewa Tanah

Peraturan mengenai hak erfpacht lebih lanjut diatur dalam Agrarische Besluit 1870 nomor 118 dan hanya berlaku di daerah Jawa dan Madura. Untuk daerah selain Jawa dan Madura diatur pada tahun-tahun selanjutnya seperti untuk daerah Sumatera diatur dalam Staatsbald tahun 1874, untuk keresidenan Menado diatur dalam Staatsbald tahun 1877 nomor 55 dan untuk daerah Borneo diatur dalam Staatsblad tahun 1888 nomor 58[17] (Harsono, 2008: 39). Pemberian hak erfpacht dari pemerintah kolonial hanya terbatas pada golongan tertentu saja, sesuai dengan Agrarische Besluit nomor 118 art. 11:
    Als erfpachters worden togelaten:
a.      Nederlanders,
b.      Ingezeten van Nederland
c.       Ingezeten van Nederland Indie
d.      Vennootschappen van koophandel, gevestigd in Nederland of in Nederland Indie[18].
Terjemahannya:
Penyewa diperbolehkan jika:
a.       Warga Belanda
b.      Panduduk negeri Belanda
c.       Penduduk Hindia Belanda
d.      Perusahaan yang terdaftar di negeri Belanda dan Hindia Belanda
Menurut penulis, ketentuan diatas diberlakukan untuk mencegah masuknya perusahaan dan pengusaha non Belanda dalam perekonomian di Hindia Belanda. Pemerintah Belanda tidak mau mengambil resiko terlalu jauh dengan membuka Hindia Belanda bagi pemodal non Belanda. Pemerintah kolonial khawatir jika pemodal non Belanda dilibatkan, keuntungan dari perkebunan Hindia Belanda akan jatuh ketangan negara lain. Keadaan seperti ini menggambarkan tujuan dari Undang-Undang Agraria 1870, yaitu tetap menempatkan Hindia Belanda sebagai sumber keuntungan Belanda, yang berbeda adalah ketika Cultuurstelsel Hindia Belanda dijadikan staatsbedrijf (perusahaan negara), Undang-Undang Agraria 1870 menempatkan Hindia Belanda sebagai bedrijf (perusahaan).    
Selain itu, pemerintah kolonial tidak sembarangan memberikan hak erfpacht kepada pengusaha swata. Pemberian hak erfpacht diberlakukan khusus pada tanah-tanah yang diperuntukan perkebunan swasta. Para pengusaha swasta mengajukan keinginan hak erfpacht atas sebidang tanah kepada pemerintah kolonial. Sebelum hak erfpacht tersebut diberikan, tanah yang diajukan harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana tercantum dalam Agrarische Besluit 1870 nomor 118 art 9, yang berisi:
In de erfpacht worden niet begrepen:
a.         Gronden, waarp anderen regt hebben, indien zij ongenegen zijn zich van hun regt te ontden;
b.        Gronden, naar de inzettingen der inlanders als gewijde beschouwd;
c.         Gronden, voor openbare markten afgezonderd of voor de openbare dienst bestemd;
d.        Gouverments koffijtuinen;
e.         Djati en andere houtbosschen, de laatste voor zoover zij onder geregeld beheer zijn gebragt;
f.          Gronden, gelegen binnen een door den Gouverneur Generaal voor elk gewest vast te stellen afstand van gouverments aanplantingen;
g.        Gronden, gelegen in door Ons aan te wijzen streken, die beshikhaarmoeten blijven voor de uitbreiding der op hoog gezag ingevoerde koffijkultuur[19].
Terjemahannya:
Dalam sewa yang tidak dimengerti (tidak diizinkan):
a.       Tanah, yang dimiliki orang lain dan tidak ingin melepaskannya atau menyewakannya.
b.      Tanah, yang dianggap oleh rakyat pribumi suci (tanah adat).
c.       Tanah yang diperuntukan membuka pasar atau membuka pelayanan publik.
d.      Perkebunan kopi pemerintah.
e.       Kayu jati dan kayu lainnya, sepanjang tanah tersebut dibawah kuasa pemerintah.
f.       Tanah yang terletak di setiap wilayah dan diperuntukan perkebunan pemerintah.
g.      Tanah yang khusus diperuntukan bagi perluasan perkebunan kopi pemerintah.
Pengusaha swasta bisa mendapatkan hak erfpacht dengan luas lahan tidak melebihi 500 bau, namun satu penyewa bisa mendapatkan lebih dari satu lahan penyewaan. Kemudian, pemerintah mengenakan pajak atas lahan tersebut, nilai sewa (cannon) berkisar antara f. 1 sampai f. 6 perbau yang dibayarkan setelah lima tahun penyewaan[20].
Dari uraian diatas, penulis mendapatkan gambaran bahwa pemerintah kolonial mengakui hak-hak rakyat pribumi, baik hak secara personal maupun hak secara adat. Pemerintah melakukan perlindungan terhadap hak pribumi dan hak adat yang tercantum dalam poin pertama dan kedua dengan melarang pihak swasta menekan dan memaksa rakyat untuk mendapatkan sewa tanah. Selain itu, pemerintah juga memperhatikan pembangunan disetiap daerah, dengan melarang pemberian hak erfpacht terhadap tanah yang diperuntukan kepentingan umum. 
Syarat-syarat pemberian hak erfpacht diatas hanya berlaku bagi tanah-tanah yang dikuasai oleh negara yang tidak dimiliki dan dipergunakan oleh rakyat (woeste gronden), sehingga pemerintah mengeluarkan perlindungan bagi tanah milik pribadi pribumi dan milik adat. Ketentuan penyewaan tanah milik pribadi pribumi dan milik adat ditetapkan dengan Ordinasi Sewa yang dikeluarkan pemerintah kolonial tahun 1871. Seperti yang dijelaskan oleh Furnival (2009: 192), bahwa: “...untuk tanah pribumi yang dimiliki berdasarkan adat istiadat, periode maksimum penyewaan ditetapkan lima tahun, dan untuk tanah yang dimiliki pribumi sebagai hak milik pribadi, periode maksimum ditetapkan 20 tahun; dan kontrak harus terdaftar”[21].
Meskipun Undang-Undang Agraria 1870 ditujukan untuk membuka Hindia Belanda bagi investasi modal swasta, salah satunya dalam bentuk perkebunan, namun pemerintah kolonial tidak mau menyerahkan Hindia Belanda seluruhnya kepada swasta. Monopoli tanaman kopi yang sangat menguntungkan pemerintah tetap dilakukan, bahkan ini terjadi sudah lama sejak masa Preanger Stelsel dan baru berakhir sekitar tahun 1916. Pemerintah kolonial tidak ingin melepaskan sumber penghasilan kopi yang selama kurang lebih dua abad menjadi tanaman ekspor paling penting di Eropa.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870, lalulintas modal dari Belanda semakin meningkat. Modal-modal tersebut diinvestasikan dengan membentuk perusahaan-perusahaan yang bergerak diberbagai bidang, seperti perkebunan, penyedia sarana transportasi dan penyedia layanan publik. Namun, modal swasta yang terbesar dialokasikan dalam bidang perkebunan. Maka sejak 1870 kebutuhan investasi modal mencari penyalurannya ke perusahaan perkebunan[22].

Baca juga artikel lainnya terkait Sejarah 





[1] Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, 2008, hal 37.
[2] Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, 2008, hal 343.
[3] Furnivall, Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk, 2009, hal 176.
[4] Kano, Sistem Kepemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa Abad ke XIX, dalam Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, 2008, hal 39.
[5] Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, 1993, hal 123.
[6] Giersch, Politik Ekonomi, 1961, hal 160.
[7] Simbolon, Menjadi Indonesia, 2006, hal 124.
[8] Hardjasaputra, Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906, 2002, hal 11.
[9] Boeke dan Burger, Ekonomi Dualistis: Dialog antara Boeke dan Burger, 1973, hal 41-42.
[10] Muchsin et al, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, 2010, hal 17.
[11] Lihat Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1870 nomor 118 art 1.
[12] Ibid hal 15.
[13] Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk, 2009, hal 192.
[14] Kartodirdjo dan Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, 1994, hal 80.
[15] Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, 2008, hal 38.
[16] Lihat Regerings Reglement 1854 art 62.
[17] Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, 2008, hal 39.
[18] Lihat Staatsblad van Nederlansch-Indie Over Het Jaar 1870 No. 118 art 11.
[19] Staatsblad van Nederlansch-Indie Over Het Jaar 1870 No. 118 art 9
[20] Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk, 2009, hal 192.
[21] Ibid hal 192.
[22] Kartodirdjo dan Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, 1994, hal hal 80.

4 comments:

  1. mas bisa dapat kumpulan Staatsblad van Nederlansch-Indie dari mana? ANRI atau ada yang online? terimakasih

    ReplyDelete
  2. maaf baru balas mas, soalnya jarang buka. he
    stastblad ada juga versi pdf bisa di download. tapi lupa link nya. di anri juga ada mas.
    biasanya staatsblad itu per tahun.

    ReplyDelete