Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Pendahuluan
Berbicara mengenai sejarah Indonesia, masa
kolonialisme merupakan salah satu periode terpenting dalam perjalanan sejarah
bangsa ini. Masa kolonialisme menjadi titik balik perjalanan bangsa ini,
perubahan dari bangsa tradisional dan bergerak menuju bangsa yang modern.
Meskipun dalam prosesnya bangsa ini harus mengorbankan tanah, tenaga bahkan
darah. Sehingga periode ini merupakan sejarah yang amat kelam dan penuh emosi
bagi bangsa kita.
Transformasi menuju bangsa yang modern dapat dicapai
melalui berbagai saluran (aspek) dari sistem sosial masyarakat, salah satunya
sistem ekonomi. Sistem ekonomi menjadi salah satu saluran terpenting dalam
proses transformasi bangsa Indonesia dari tradisional menjadi bangsa yang
modern. Kita tidak dapat mengingkari sejarah, bahwa awal mula kolonialisme di
Indonesia berasal dari sistem ekonomi atau lebih tepatnya interaksi
perdagangan. Bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang melakukan
transaksi perdagangan dengan masyarakat pribumi terhitung setelah jatuhnya kota
pelabuhan Malaka pada tahun 1511 sebagai pusat perdagangan internasional,
terlebih dengan dikirimnya utusan oleh Albuquerque ke Maluku dan Sunda Kelapa
tahun 1512. Menyusul bangsa Belanda yang mendatangi pelabuhan Banten sektiar
tahun 1595 yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Melalui interaksi
perdagangan lah kolonialisme VOC, dilanjutkan Belanda bercokol di Nusantara
sampai tahun 1942.
Pembahasan mengenai sejarah perekonomian telah
banyak dilakukan oleh sejarawan Indonesia maupun sejarawan Belanda. Secara garis
besar, sejarah perekonomian Indonesia dibagi menjadi beberapa periode mulai
dari masa Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC), masa Cultuurstelsel,
dan masa ekonomi Liberal. Pembagian tersebut berdasarkan politik ekonomi atau
kebijakan ekonomi kolonial Belanda terhadap Hindia Belanda. Setiap periode
memiliki ciri khas yang menjadi jiwa zaman dan tentunya memberikan dampak yang
berbeda pula bagi perekonomian dan masyarakat Hindia Belanda. Perbedaan jiwa
zaman menjadi daya tarik dari sejarah perekonomian Hindia Belanda untuk
dibahas. Terlebih mengenai periode ekonomi Liberal, dimana kebijakan ekonomi
Liberal diberlakukan dalam sistem kolonialisme. Karena kita tahu bahwa
kolonialisme memiliki arti penjajahan dimana bangsa Indonesia berada dibawah
kekuasaan Belanda, yang berarti tidak ada kebebasan untuk bangsa Indonesia.
Baca juga : Sistem Tanam Paksa
Tulisan ini hanya akan memfokuskan diri terhadap kebijakan ekonomi
liberal yang diterapkan oleh pemerintah kolonial di Hindia Belanda, yaitu
Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang termasuk kedalam Open Door Policy. Kebijakan ini mulai
diterapkan pada tahun 1870 bersamaan dengan diterapkannya Undang-Undang Gula
(Suiker Wet). Tulisan ini membatasi diri hanya pada latar belakang kebijakan
diberlakukan serta esensi dari kebijakan tersebut.
Berlakunya Kebijakan Ekonomi Liberal di Hindia Belanda
Periode tahun 1860-1870 menjadi masa
kemenangan bagi Kaum Liberal di parlemen Belanda. Salah satu tokohnya berhasil
menjadi Menteri Koloni, yaitu Van de Putte. Dengan direbutnya jabatan tersebut
dari kaum Konservatif, maka komando atas negara jajahan berada dalam genggaman
kaum Liberal, sehingga keinginan untuk liberalisasi Hindia Belanda mudah
dilaksanakan. Langkah yang diambil oleh Van de Putte berkaitan dengan
liberalisasi Hindia Belanda adalah memberlakukan Ontewrp Cultuurwet (hukum kultur). Namun usulan ini mendapatkan
kecaman dari kaum Konservatif dan dari partainya sendiri, karena Putte
memberikan kepada pemodal maupun petani hak penuh dan kebebasan atas tanah
mereka[1]. Pemberian hak
penuh dan kebebasan terhadap tanah akan merusak pranata-pranata rakya Jawa
dengan banyaknya tanah komunal (tanah yang dimiliki bersama atau tanah adat)
beralih menjadi hak milik pribadi karena keinginan rakyat untuk mendapatkan
keuntungan. Keadaan ini menyebabkan Van de Putte mengundurkan diri dan diganti
oleh Meijer dari partai Konservatif[2].
Namun,
kemunduran kaum Liberal dalam parlemen yang ditandai oleh mundurnya Putte bukan
berarti semangat perubahan dan liberalisme berhenti. Meskipun kontrol negara
koloni berada di tangan kaum Konservatif, namun semangat perbaikan dan perubahan
nasib rakyat koloni tetap berjalan. Tujuan-tujuan kaum Liberal terus maju
bahkan dibawah kepemimpinan musuh-musuhnya (Konservatif)[3].
Ditariknya
kebijakan Ontwerp Cultuurwet menyebabkan
rakyat menuduh anggota parlemen dari Kaum Konservatif tidak bersungguh-sungguh
melaksanakan liberalisasi di Hindia Belanda. Untuk meredam gejolak politik tersebut parlemen mengirimkan tim untuk
melakukan survey mengenai sistem kepemilikan tanah di Hindia Belanda yang
diperintahkan dan dicantumkan dalam Pengumuman Raja 1866 kepada Gubernur
Jenderal Hindia Timur Belanda. Pelaksanaan survey tersebut dilakukan pada tahun
1876 dengan keluarnya Dekrit Pemerintah Hindia Timur no. 2 dan 34 tahun 1876. Survey
tersebut dilakukan terhadap 808 desa yang ada di pulau Jawa[4]. Pelaksanaan survey pada tahun 1876
bertujuan untuk mengakomodir sistem pertanahan tradisional sebagai persiapan
kebijakan pengganti Ontwerp Cultuurwet.
Keinginan
untuk liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda tetap menjadi cita-cita rakyat
pada saat itu terutama para pengusaha. Meskipun Cutuursteslel memberikan keuntungan yang sangat besar bagi
perekonomian Belanda, namun kemakmuran bagi rakyat Hindia Belanda tidak
tercapai, hal ini yang menimbulkan kritik terhadap kebijakan tersebut.
Liberalisme menghendaki kegiatan ekonomi swasta tanpa campur tangan dari
pemerintah sehingga kemakmuran rakyat dengan sendirinya dapat tercapai. Orang-orang
liberal berkeyakinan bahwa perkembangan ekonomi yang pesat yang dicetuskan oleh
kegiatan usaha swasta akan membawa kesejahteraan yang lebih besar bagi rakyat
Indonesia tanpa tindakan khusus dari pihak pemerintah Hindia Belanda[5].
Kegiatan ekonomi yang bebas dengan mekanisme sewa
tanah dan sistem upah kerja akan menumbuhkan kesejahteraan bagi rakyat.
Pendapatan dari hasil sewa tanah dan upah kerja akan meningkatkan taraf hidup
bagi rakyat, sehingga terbukalah akses-akses untuk untuk mendapatkan fasilitas
seperti pendidikan dan kesehatan. Jika fasilitas-fasilitas tersebut sudah bisa
dijangkau oleh rakyat, maka kemakmuran bagi rakyat sudah tercapai.
Meskipun liberalisme menghendaki
tidak adanya campur tangan pemerintah terhadap perekonomian, namun pemerintah
diwajibkan menyelenggarakan fasilitas-fasilitas penunjang ekonomi. Fungsi
pemerintah bukan hanya sebagai penjaga malam yang mengawasi kegiatan ekonomi
saja. Beberapa orang dari mereka beranggapan bahwa
kepada negara lebih banjak diserahkan tugas-tugas selain dari pada hanja
memainkan peranan sebagai seorang pendjaga malam[6]. Pemerintah diharuskan membangun
akses-akses bagi lancarnya arus produksi dan distribusi seperti pembangunan
sarana transportasi (jalan raya, kereta api dan pelabuhan). Selain itu
pemerintah juga harus menyediakan akses kesehatan bagi para buruh perkebunan
supaya proses produksi lebih lancar.
Meskipun hasil survey tahun 1876
belum dilaporkan kepada parlemen Belanda, namun dorongan-dorongan kaum Liberal
dan pengusaha swasta semakin kuat. Sehingga tujuan dari liberalisasi ekonomi di
Hindia Belanda pada tahun 1870 dapat tercapai dengan diberlakukannya kebijakan
ekonomi liberal yang dikenal sebagai Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Pelaksanaan kebijakan
ini ditandai oleh disahkannya dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) dan Undang-Undang Gula (Suiker Wet)[7].
Undang-Undang Agraria 1870 merupakan tambahan lima ayat baru pada Regerings
Reglement no. 2 art. 62 tahun 1854 yang berjumlah tiga ayat. Kelima ayat
tersebut disahkan oleh menteri koloni yang berasal dari kaum Konservatif yaitu De
Wall pada tanggal 9 April 1870 dan tercantum pada Staatsblad van Nederlansche Indie no 55. Undang-Undang Agraria 1870
mengatur sistem kepemilikan dan persewaan tanah bercorak barat yang diterapkan
di Hindia Belanda. Berbeda dengan kebijakan Cultuurstelsel,
peraturan ini tidak hanya mengatur cara eksploitasi di Hindia Belanda, namun
juga mengatur objek ekspolitasi dalam hal ini tanah. Pemerintah Belanda rupanya
ingin menanamkan pengaruhnya sampai ke tingkat paling bawah dalam sistem sosial
masyarakat Hindia Belanda yang sebelumnya hanya terbatas pada pimpinan feodal
seperti raja atau bupati. Hubungan-hubungan administratif sebelumnya hanya
sampai pada tingkat bupati atau regent,
sehingga pengaruh kolonial tidak sampai pada tingkat masyarakat paling bawah. Dalam
pemerintahan kolonial, bupati adalah objek kekuasaan gubernur jenderal/residen,
tapi dalam struktur pemerintahan tradisional dan dalam kehidupan masyarakat
pribumi, bupati berkedudukan sebagai kepala daerah/pemimpin tradisional. Dalam
kedudukan itu, pengaruh bupati terhadap rakyat (objek kekuasaan bupati) sangat
kuat[8].
Kemunculan
peraturan ini menimbulkan sifat dualistis pada sistem perekonomian Hindia
Belanda, maksudnya terdapat dua sistem yang berlaku yakni sistem ekonomi
bercorak “barat” dalam hal ini Undang-Undang Agraria 1870 dan sistem ekonomi
tradisional atau sistem adat yang berlaku disetiap daerah. Sifat dualistis
tersebut diakibatkan adanya dua penentu kebijakan dalam satu wilayah, yakni
pemerintah kolonial dan penguasa tradisional. Menurut Boeke maka sistem ekonomi
suatu masyarakat itu dapat homogen atau dualistis. Masyarakat sebaliknya
disebut dualistis atau pluralistis apabila di masyarakat tersebut sekaligus
terdapat secara terpisah dua sistem atau lebih dan dengan demikian dapat
dibedakan dengan jelas yang satu dengan yang lain[9].
Undang Agraria 1870 memiliki dua
esensi yang menjadi tujuan dikeluarkannya peraturan tersebut. Pertama, Undang-Undang tersebut
memberikan perlindungan hukum terhadap hak milik tanah pribumi yang tercantum
dalam art 3, 5, 6, 7 dan 8. Hak eigendom
yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Agraria 1870 art 7 menyangkut hak
kepemilikan tanah pribadi yang berasal dari tanah komunal atau tanah ulayat dan
lebih dikenal dengan istilah agrarische
eigendom. Hak agrarische eigendom
ini berasal dari hak milik adat yang atas permohonan pemiliknya, melalui suatu
prosedur tertentu, diakui keberadaannya oleh pengadilan[10]. Peraturan ini memberikan jalan bagi
rakyat pribumi untuk mendapatkan surat hak kepemilikan tanah yang sebelumnya
hanya bersifat klaim sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
Tanah yang tidak dapat dibuktikan hak kepemilikannya dalam arti bukan
milik pribumi dinyatakan hak milik negara (domein van de Staat).
Pernyataan kepemilikan tersebut dikenal dengan nama Domein Verklaring
(pernyataan kepemilikan) diatur dalam Koninklijk Besluit yang dikenal
dengan nama Agrarische Besluit dan tercantum dalam Staatsblad van
Nederlandsch Indie tahun 1870 yang berbunyi:
”Behaoudens opvolging van de tweede en derde
bepaling der voormelde Wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond,
waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat
is”[11].
Terjemahannya:
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan
dalam pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan bahwa semua
tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya
adalah domein (milik) negara”[12].
Definisi dari tanah negara (domein
van de Staat) mencakup tanah yang dimiliki oleh rakyat pribumi atau tanah
adat, sehingga muncul istilah tanah bebas dan tanah tidak bebas. Tanah bebas
mengandung pengertian bahwa tanah negara yang bebas dari hak-hak rakyat
pribumi, baik kepemilikan secara pribadi maupun secara adat dan tanah ini
disebut woeste gronden. Sedangkan tanah tidak bebas mengandung
pengertian tanah negara yang berada dibawah hak-hak rakyat pribumi, maksudnya
tanah yang dimiliki rakyat secara adat[13].
Kedua, Undang-Undang Agraria 1870 merupakan peraturan bagi
persewaan dan jual beli tanah di Hindia Belanda. Peraturan tersebut adalah
suatu bentuk nyata kesungguhan dari pemerintah Belanda untuk melibatkan
pengusaha swasta dalam perekonomian Hindia Belanda. Persewaan dan jual beli
tanah hanya berlaku bagi tanah woeste
gronden serta memliki hak guna. Untuk tanah domein lebih luas ada kesempatan bagi non-pribumi memiliki hak
guna, ialah:
a.
Sebagai tanah dan hak membangun (recht van opstal, disingkat RVO);
b.
Tanah sebagai erfpacht
(hak sewa serta hak mewariskan) untuk jangka waktu 75 tahun”[14].
Adanya hak erfpacht yang berjangka waktu 75 tahun bagi pengusaha swasta
memberikan kemudahan untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda dengan bentuk
membuka perkebunan-perkebunan. Menurut pasal 720 dan 721 KUHPerdata, hak erfpacht merupakan hak kebendaan yang
memberikan kewenangan paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati
sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain. Pemegang hak erfpacht boleh menggunakan semua kewenangan
yang terkandung dalam hak eigendom
atas tanah. Selain itu, hak erfpacht
dapat dibebani hypotheek, hingga
terbuka kemungkinan bagi pengusaha untuk memperoleh kredit yang diperlukan
dengan menunjuk tanahnya sebagai agunan...(pasal 724 dan 1164 KUHPerdata)[15].
Hak erfpacht
merupakan keistimewaan dari Undang-Undang Agraria 1870, yang memberikan jangka
waktu sewa tanah yang panjang sekaligus memberikan hak penuh bagi penyewa atas
tanahnya seperti layaknya pemilik tanah. Berbeda dengan peraturan yang terdapat
pada Regerings Reglement 1854[16] yang hanya memberikan jangka waktu sewa 20 tahun tanpa adanya hak erfpacht.
Lamanya jangka waktu penyewaan tanah serta keistimewaan yang terdapat dalam hak
erfpacht mendorong pengusaha swasta Belanda menanamkan modalnya di
Hindia Belanda dalam bentuk membuka perkebunan.
Baca juga : Sistem Sewa Tanah
Peraturan mengenai hak erfpacht lebih lanjut diatur dalam Agrarische
Besluit 1870 nomor 118 dan hanya berlaku di daerah Jawa dan Madura.
Untuk daerah selain Jawa dan Madura diatur pada tahun-tahun selanjutnya seperti
untuk daerah Sumatera diatur dalam Staatsbald tahun 1874, untuk
keresidenan Menado diatur dalam Staatsbald tahun 1877 nomor 55 dan untuk
daerah Borneo diatur dalam Staatsblad tahun 1888 nomor 58[17] (Harsono, 2008: 39). Pemberian hak erfpacht dari pemerintah
kolonial hanya terbatas pada golongan tertentu saja, sesuai dengan Agrarische
Besluit nomor 118 art. 11:
Als erfpachters
worden togelaten:
a.
Nederlanders,
b.
Ingezeten van Nederland
c.
Ingezeten van Nederland Indie
d.
Vennootschappen van koophandel,
gevestigd in Nederland of in Nederland Indie[18].
Terjemahannya:
Penyewa
diperbolehkan jika:
a. Warga Belanda
b. Panduduk negeri Belanda
c. Penduduk Hindia Belanda
d. Perusahaan yang terdaftar di negeri Belanda dan Hindia Belanda
Menurut
penulis, ketentuan diatas diberlakukan untuk mencegah masuknya perusahaan dan
pengusaha non Belanda dalam perekonomian di Hindia Belanda. Pemerintah Belanda
tidak mau mengambil resiko terlalu jauh dengan membuka Hindia Belanda bagi
pemodal non Belanda. Pemerintah kolonial khawatir jika pemodal non Belanda
dilibatkan, keuntungan dari perkebunan Hindia Belanda akan jatuh ketangan
negara lain. Keadaan seperti ini menggambarkan tujuan dari Undang-Undang
Agraria 1870, yaitu tetap menempatkan Hindia Belanda sebagai sumber keuntungan
Belanda, yang berbeda adalah ketika Cultuurstelsel Hindia Belanda
dijadikan staatsbedrijf (perusahaan negara), Undang-Undang Agraria 1870
menempatkan Hindia Belanda sebagai bedrijf (perusahaan).
Selain
itu, pemerintah kolonial tidak sembarangan memberikan hak erfpacht
kepada pengusaha swata. Pemberian hak erfpacht diberlakukan khusus pada
tanah-tanah yang diperuntukan perkebunan swasta. Para pengusaha swasta
mengajukan keinginan hak erfpacht atas sebidang tanah kepada pemerintah
kolonial. Sebelum hak erfpacht tersebut diberikan, tanah yang diajukan
harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana tercantum dalam Agrarische
Besluit 1870 nomor 118 art 9, yang berisi:
In de erfpacht worden niet begrepen:
a.
Gronden, waarp anderen regt hebben,
indien zij ongenegen zijn zich van hun regt te ontden;
b.
Gronden, naar de inzettingen der
inlanders als gewijde beschouwd;
c.
Gronden, voor openbare markten
afgezonderd of voor de openbare dienst bestemd;
d.
Gouverments koffijtuinen;
e.
Djati en andere houtbosschen, de
laatste voor zoover zij onder geregeld beheer zijn gebragt;
f.
Gronden, gelegen binnen een door den
Gouverneur Generaal voor elk gewest vast te stellen afstand van gouverments
aanplantingen;
g.
Gronden, gelegen in door Ons aan te wijzen streken,
die beshikhaarmoeten blijven voor de uitbreiding der op hoog gezag ingevoerde
koffijkultuur[19].
Terjemahannya:
Dalam sewa yang tidak dimengerti (tidak diizinkan):
a.
Tanah, yang
dimiliki orang lain dan tidak ingin melepaskannya atau menyewakannya.
b.
Tanah, yang
dianggap oleh rakyat pribumi suci (tanah adat).
c.
Tanah yang
diperuntukan membuka pasar atau membuka pelayanan publik.
d.
Perkebunan
kopi pemerintah.
e.
Kayu jati dan
kayu lainnya, sepanjang tanah tersebut dibawah kuasa pemerintah.
f.
Tanah yang
terletak di setiap wilayah dan diperuntukan perkebunan pemerintah.
g. Tanah yang khusus
diperuntukan bagi perluasan perkebunan kopi pemerintah.
Pengusaha swasta bisa
mendapatkan hak erfpacht dengan luas lahan tidak melebihi 500 bau, namun
satu penyewa bisa mendapatkan lebih dari satu lahan penyewaan. Kemudian,
pemerintah mengenakan pajak atas lahan tersebut, nilai sewa (cannon)
berkisar antara f. 1 sampai f. 6 perbau yang dibayarkan setelah lima tahun penyewaan[20].
Dari uraian diatas, penulis mendapatkan gambaran
bahwa pemerintah kolonial mengakui hak-hak rakyat pribumi, baik hak secara
personal maupun hak secara adat. Pemerintah melakukan perlindungan terhadap hak
pribumi dan hak adat yang tercantum dalam poin pertama dan kedua dengan
melarang pihak swasta menekan dan memaksa rakyat untuk mendapatkan sewa tanah.
Selain itu, pemerintah juga memperhatikan pembangunan disetiap daerah, dengan
melarang pemberian hak erfpacht terhadap tanah yang diperuntukan
kepentingan umum.
Syarat-syarat pemberian hak erfpacht diatas hanya berlaku bagi
tanah-tanah yang dikuasai oleh negara yang tidak dimiliki dan dipergunakan oleh
rakyat (woeste gronden), sehingga pemerintah mengeluarkan perlindungan
bagi tanah milik pribadi pribumi dan milik adat. Ketentuan penyewaan tanah
milik pribadi pribumi dan milik adat ditetapkan dengan Ordinasi Sewa yang
dikeluarkan pemerintah kolonial tahun 1871. Seperti yang dijelaskan oleh
Furnival (2009: 192), bahwa: “...untuk tanah pribumi yang dimiliki berdasarkan
adat istiadat, periode maksimum penyewaan ditetapkan lima tahun, dan untuk
tanah yang dimiliki pribumi sebagai hak milik pribadi, periode maksimum
ditetapkan 20 tahun; dan kontrak harus terdaftar”[21].
Meskipun Undang-Undang Agraria 1870 ditujukan untuk membuka Hindia
Belanda bagi investasi modal swasta, salah satunya dalam bentuk perkebunan,
namun pemerintah kolonial tidak mau menyerahkan Hindia Belanda seluruhnya
kepada swasta. Monopoli tanaman kopi yang sangat menguntungkan pemerintah tetap
dilakukan, bahkan ini terjadi sudah lama sejak masa Preanger Stelsel dan
baru berakhir sekitar tahun 1916. Pemerintah kolonial tidak ingin melepaskan
sumber penghasilan kopi yang selama kurang lebih dua abad menjadi tanaman
ekspor paling penting di Eropa.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang
Agraria 1870, lalulintas modal dari Belanda semakin meningkat. Modal-modal tersebut
diinvestasikan dengan membentuk perusahaan-perusahaan yang bergerak diberbagai
bidang, seperti perkebunan, penyedia sarana transportasi dan penyedia layanan
publik. Namun, modal swasta yang terbesar dialokasikan dalam bidang perkebunan.
Maka sejak 1870 kebutuhan investasi modal mencari penyalurannya ke perusahaan perkebunan[22].
Baca juga artikel lainnya terkait Sejarah
[1] Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, 2008, hal 37.
[2] Vlekke, Nusantara:
Sejarah Indonesia, 2008,
hal 343.
[3] Furnivall, Belanda: Studi
tentang Ekonomi Majemuk, 2009, hal 176.
[4] Kano, Sistem Kepemilikan Tanah
dan Masyarakat Desa di Jawa Abad ke XIX, dalam Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola
Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, 2008, hal 39.
[5] Poesponegoro
dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, 1993, hal 123.
[6] Giersch, Politik Ekonomi, 1961,
hal 160.
[7] Simbolon, Menjadi Indonesia,
2006, hal 124.
[8] Hardjasaputra, Perubahan Sosial
di Bandung 1810-1906, 2002, hal 11.
[9] Boeke dan Burger, Ekonomi
Dualistis: Dialog antara Boeke dan Burger, 1973, hal 41-42.
[10] Muchsin et al, Hukum Agraria
Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, 2010, hal 17.
[11] Lihat Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1870
nomor 118 art 1.
[12] Ibid hal 15.
[13] Furnivall, Hindia Belanda: Studi
tentang Ekonomi Majemuk, 2009, hal 192.
[14] Kartodirdjo
dan Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, 1994, hal 80.
[15] Harsono, Hukum Agraria
Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan
Pelaksanaannya, 2008, hal 38.
[16] Lihat Regerings Reglement 1854
art 62.
[17] Harsono, Hukum Agraria
Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan
Pelaksanaannya, 2008, hal 39.
[18] Lihat Staatsblad van Nederlansch-Indie Over Het
Jaar 1870 No.
118 art 11.
[19] Staatsblad van Nederlansch-Indie Over Het
Jaar 1870 No.
118 art 9
[20] Furnivall, Hindia Belanda: Studi
tentang Ekonomi Majemuk, 2009, hal 192.
[21] Ibid hal 192.
[22] Kartodirdjo
dan Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi, 1994, hal hal 80.
kerenn... maksih informasinya
ReplyDeleteKembali kasih.. Semoga bermanfaat.
ReplyDeletemas bisa dapat kumpulan Staatsblad van Nederlansch-Indie dari mana? ANRI atau ada yang online? terimakasih
ReplyDeletemaaf baru balas mas, soalnya jarang buka. he
ReplyDeletestastblad ada juga versi pdf bisa di download. tapi lupa link nya. di anri juga ada mas.
biasanya staatsblad itu per tahun.