Halaman

Wednesday, November 23, 2011

Periode Awal Kerajaan Banten


Oleh Cecep Lukmanul Hakim


Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda. Sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda diataranya pelabuhan Chiamo, Xantra, yang juga disebut Caravam, Tangaram, Cheiguide, Pondang dan Bantam (Djajadiningrat, 1983:83). Pada abad ke-7 Banten sudah menjadi pelabuhan internasional. Dan sebagai konsekuensi logisnya, Islam diyakini telah masuk dan berakulturasi dengan budaya setempat sebagaimana diceritakan dalam berita Tome Pires pada tahun 1513.
Pelabuhan Banten menjadi pelabuhan yang sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang baik pedagang lokal maupun internasional, hal ini dikarenakan jatuhnya pusat perdagangan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Para pedagang, terutama pedagang muslim mengalihkan jalur perdagangannya menjadi ke selatan, yaitu pelabuhan Banten. Posisi Banten yang berada di ujung pulau Jawa, menjadi pintu gerbang perdagangan ke India dan Timur Tengah.
Kesultanan Banten dibentuk oleh Sunan Gunung Jati yang melakukan syiar Islam ke daerah Pajajaran yaitu Banten. Kedatangan Sunan Gunung Jati ke Banten disambut baik oleh bupati Banten pada saat itu dan mengawinkan anaknya yaitu Ratu Kawunganten dengan Sunan Gunung Jati (Djajadiningrat, 1983:161). Setelah menetap cukup lama di Banten, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon untuk meneruskan pemerintahan di Cirebon dan menyerahkan kekuasaannya di Banten kepada anaknya yaitu Hasanudin dan menjadi raja pertama Banten.
Menurut historiografi Banten, Hasanuddin dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten (Kartodirdjo 1993: 34). Hal ini dikarenakan Sunan Gunung Jati meninggal di Cirebon dan Hasanudin meninggal di Banten, sehingga tidak aneh jika tradisi menempatkan Hasanuddin sebagai yang nomor satu dalam daftar raja-raja Banten.
Tradisi-tradisi lainnya kita maklumi dengan lebih baik dengan jalan menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan. Demikianlah tradisi memandang Sunan Gunung Jati sebagai pendiri sebuah kerajaan besar yang meliputi seluruh Jawa Barat. Penandaan kesamaan Tagaril dengan Sunan Gunung Jati menyebabkan kita untuk menempatkan menetapnya Sunan Gunung Jati di Carebon, di mana ia dikuburkan setelah tahun 1546 (Djajadiningrat, 1983:172). Jika sekarang kita perbandingkan dengan ini apa yang kiranya dapat kita simpulkan dari berita-berita lokal tentang Demak dan Cirebon dan dalam Sajarah Banten, mengatakan dengan jelas bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang dari Pasai, dalam hubungan apa yang dikatakan Barros tentang asal Faletehan, maka haruslah kita sampai kepada kesimpulan, bahwa Faletehan, Tagaril dan Sunan Gunung Jati adalah nama-nama yang lain bagi seseorang yang itu-itu juga. Dalam sumber sejarah Banten namanya ialah Faletehan atau Tagaril (Kartodirdjo 1993: 32).    
Pada awalnya Kesultanan Banten hanya kerajaan vassal dari Kerajaan Demak sebagai ekspansi yang dilakukan oleh Demak ke seluruh Jawa. Usaha Demak dalam ekspansinya kearah barat berupa pemukiman perintis yang dipimpin oleh Nurullah tersebut diatas. Peristiwa ini terjadi kira-kira pada tahun 1525 dan dapat dianggap sebagai pendirian kerajaan Banten (Kartodirdjo 1993: 33). Sunan Gunung Jati mengambil alih Banten dari penguasa setempat dan mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakerta atau Surakarta. Banten diperintah oleh Gunung Jati sebagai vassal Demak, tapi keturunanya kelak bebas dari kekuasaan Demak (Ricklefs, 2008:72).
Kira-kira pada tahun 1568, di bawah Hasanudin Kerajaan Banten melepaskan ikatan dengan Demak dan menajdi kerajaan yang merdeka. Tahun 1568 adalah tahun dimana Kerajaan Demak mulai bergeser menajdi Kerajaan Pajang. Masa peralihan politik di Demak ini yang dijadikan peluang oleh Hasanudin untuk memerdekakan Banten dari Demak. Akibat kegagalan intervensi Jepara ialah bahwa Cirebon dan Banten dapat menegakan kedudukannya, bebas dari pengaruh kerajaan-kerajaan Jawa Tengah. Pergolakan serta pergeseran kekuasaan di Jawa Tengah sendiri menjadi faktor penyebab, Demak dapat ditundukan oleh Pajang (1581) dan Pajang oleh Mataram (Kartodidjo 1993: 34).
Pada tahun 1568, di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Hasanuddin memerdekakan Banten. Itulah sebabnya oleh tradisi ia dianggap sebagai raja Islam yang pertama di Banten. Banten sejak semula memang merupakan vassal dari Demak. Hasanuddin mangkat kira-kira tahun 1570 dan diganti oleh anaknya, Maulana Yusuf. Setelah sembilan tahun memegang tampuk kekuasaan, tahun 1579, Yusuf menaklukan Pakuwan yang belum Islam yang waktu itu masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Sesudah kerajaan itu runtuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Mereka diperbolehkan tetap menyandang pangkat dan gelarnya.
Banten, daerah yang paling membuat ngiler penguasa Mataram, sulit diserbu. Kekuatan Mataram pelan-pelan melebar sampai kedaerah pegunungan di selatan Jakarta yang membentuk semacam daerah tak bertuan diantara kedua Negara itu (Vlekke, 2008: 146). Sudah sering Mataram mengancam akan menyerang Banten. Karena itu Banten mengadakan persiapan-persiapan besar untuk menangkis serangan itu. Malahan diceritakan pula pada sebuah buku harian perjalanan dari tahun 1598-1599, bahwa Mataram dengan sesuatu kekuatan besar telah menyerang Banten dari laut, tetapi tanpa hasil. Dalam dasawarsa pertama abad ke 17 kita lihat Banten senantiasa berjaga-jaga dengan penuh kecemasan demi kepentingan kemerdekaannya.

Sumber
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta: KITLV
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indoesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta: Gramedia
Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
Vlekke, Bernard H. M. 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG 

Tuesday, November 1, 2011

Taqlid dan Ijtihad (Keberagaman dalam Islam)

Oleh Cecep Lukmanul Hakim


Sebuah catatan untuk tulisan Nurcholis Majid (Rohimahullah) yang berjudul Taqlid dan Ijtihad (Masalah Kontinuitas dan Kreatifitas Dalam Memahami Pesan Agama) yang tersedia dalam alamat: http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Paramadina/Konteks/TaqlidN1.html

Dalam artikel tersebut, apabila kita lihat secara sepintas kita akan berpendapat bahwa artikel tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan masalah sosial. Tetapi apabila kita telaah lebih dalam, arti dan konsep serta kedudukan taqlid dan ijtihad dalam Islam, maka kita akan mengetahui besarnya peranan taqlid dan ijtihad dalam interaksi kita terhadap Islam yang mencakup interaksi kita terhadap sesama manusia dan lingkungan. Karena objek dari taqlid dan ijtihad adalah normativitas Islam atau mengutip istilah Ahmad Wahib universalisme islam dan historisitas islam. Maksud dari dimensi normativitas Islam adalah dimensi yang tidak akan tersentuh oleh akal manusia karena kenisbian akal manusia tersebut. Normativitas bersifat kekal atau abadi tidak dipengaruhi oleh dimensi spasial dan temporal. Normativitas Islam disini berarti semua hal yang berkaitan aqidah dan syariat yang sudah barang tentu memilki dalil qathi. Berbeda dengan historisitas Islam yang bersifat dinamis karena historisitas Islam bergantung pada dimensi spasial, temporal dan kondisi manusia. Jadi dapat saya simpulkan bahwa historisitas Islam itu adalah hasil interpretasi ulama terhadap hukum-hukum Islam yang tidak terdapat atau samar dalam sumber utama Islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadits atau yang sering kita dengar dengan istilah ijtihad.
            Semua hal hasil ijtihad tersebut yang bernama syara yang tidak mempunyai dalil-dalil qathi dan rentan dengan konfik internal dalam Islam. Semua dapat dimaklumi karena ulama yang melakukan ijtihad itu banyak dan saling berbeda dalam hasil ijtihadnya karena disesuaikan dengan spasial, temporal dan kondisi manusia. Tetapi alangkah baiknya kita melihat suatu hasil dari ijtihad dalam Islam bukanlah sebagai hukum Tuhan yang bersifat pembenaran secara mutlak yang dapat menimbulkan sifat yang arogan dan tidak mau menerima perbedaan dari pendapat lain. Imam Syafi’i pun yang derajatnya lebih tinggi dari kita tidak arogan malah bersifat tawadhu dengan berkata: ”barang siapa yang menemukan hadis yang lebih shohih dibanding hadis yang telah saya cantumkan dalam kitab saya, maka ambilah hadits tersebut dan tinggalkanlah hadis yang saya cantumkan”. Terlihat disana betapa besarnya tawadhu Imam Syafi’i meskipun beliau adalah salah satu Imam dari empat Imam dalam Ahlussunah wal jama’ah yang sudah barang tentu banyak mengarang kitab yang menjadi referensi ulama-ulama hingga sekarang.
            Namun dinamika masyarakat dalam keberagamaan sekarang berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya terjadi yang ditimbulkan dari sifat-sifat arogan atas pendapat orang perseorangan yang justru bukanlah sifat seorang muslim. Hubungan intern kaum Muslim di Indonesia seringkali terperosok kepada jurang perbedaan yang dihiperbola, diperbesar, di dramatisisr atau apalah namanya yang berangkat dari rasa arogan setiap orang ataupun golongan, yang sebenarnya masalah tersebut bukanlah masalah yang perlu diperdebatkan dan malahan lebih sedikit manfaatnya malahan besar madharatnya. Rasa arogan dibentuk oleh ketidak fahaman sebagian besar umat Islam terhadap Islam itu sendiri dan didorong oleh perilaku taqlid terhadap seorang guru. Ketika seseorang sudah berlaku taqlid kepada seorang guru dan telah menuju kearah yang fanatik terhadap apa yang dikatakan gurunya maka perpecahan akan timbul dalam umat Islam. Karena ketidak tahuannya terhadap Islam dan fanatiknya terhadap guru, maka dia melihat bahwa Islam itu adalah apa yang dikatakan gurunya dan tidak dapat melihat perbedaan sebagai suatu rahmatan lil alamin sebagaimana rosulullah mengatakan.
            Islam itu luas dan kaya, tidak dapat dipelajari dengan waktu yang singkat, bahkan umur kita pun tidak cukup untuk mengetahui bagaimana Islam secara keseluruhan karena berIslam bukanlah hanya menghapal Al-Quran, bukanlah hanya solat dan lainnya, Islam adalah pedoman bagaimana kita hidup di dunia sehingga mendapat ridha Allah SWT. Kita yang dianugrahi gelar sebagai umat akhir zaman tentu kurang mengetahui bagaimana Islam yang sebenarnya itu karena begitu banyak versi-versi atau sekte dalam Islam. Dengan pengetahuan yang kurang atau bahkan tidak ada kita hanya mengikuti apa yang dikatakan ulama dalam beribadah dan cenderung tidak tahu apakah Islam yang saya anut ini adalah Islam yang sebenarnya ?.
            Tidak hanya itu, kebingungan masyarakat juga timbul dikarenakan pengkotak-kotakan Islam. Hal ini timbul dari sifat arogansi yang ditambah dengan taqlid yang menimbulkan fanatisme berlebihan sekelompok masyarakat. Hal ini sangat berbahaya karena bisa memecah belah ukhuwah Islamiyah dan melemahkan perjuangan umat Islam. Organisasi masyarakat Islam yang tadinya tempat mempelajari Ilmu Islam, tempat memperdalam lautan Islam yang begitu luas sekarang tidak ubahnya seperti partai politik, saling menjatuhkan antar kelompok dan memperlebar jurang perbedaan antar kelompok. Berangkat dari perbedaan yang ada maka timbulah pengklaiman atas kebenaran Islam yang menjadi rebutan antar ormas yang menjadi masalah sensitif umat Islam sekarang. Berbagai ormas mengklaim bahwa mereka adalah penganut aswaja yang sebenarnya, begitu pun dengan ormas lainnya mengklaim bahwa justru mereka yang paling aswaja diantara yang lainnya, dari hal sekecil inilah timbul madharat yang paling besar yaitu hancurnya ukhuwah Islamiyah.          
            Hal seperti ini timbul dari kaum muslimin yang kebanyakan berislam secara taqlid, padahal kita dituntut untuk tolabul ilmi apalagi dalam ilmu agama, supaya mengerti bagaimana seharusnya berislam dan berproses menuju Islam yang sebenarnya. Janganlah hanya dengan perbedaan sunat dalam solat ukhuwah Islamiyah kita korbankan, karena Islam itu bukanlah yang kita ketahui saja masih banyak ilmu Islam yang tidak kita ketahui dan mungkin saja orang lain lebih tahu dari kita.
            Marilah kita mencari apa itu Islam yang sebenarnya dari pada membahas perbedaan-perbadaan kecil diantara kita. Janganlah kita dibatasi oleh kelompok, ormas, partai, ataupun apa saja dalam mendalami ilmu Islam. Islam itu berada diatas semua golongan, buka golongan diatas Islam. Lepaskanlah atribut golongan dan carilah kebenaran Islam dengan penggunaan Al-Quran, Sunnah yang shahih, Qiyas dan Ijtihad sebagai sumber kekayaan intelektual umat Islam.   
            Artikel diatas secara abstrak menjelaskan bahwa konsep dari taqlid terbagi dalam dua bagian. Pertama, taqlid kepada kepercayaan kita terhadap Allah sebagai Tuhan kita baik dalam dzatNya dan sifatNya. Kedua, taqlid kepada semua ilmu pengetahuan yang terus berkembang dari dulu hingga sekarang. Taqlid terhadap ilmu pengetahuan tidak bisa dihindari, karena itu adalah sebuah struktur dimana kita akan membutuhkan kekayaan intelektual dari otoritas pengetahuan dahulu untuk mengembangkan pengetahuan tersebut dengan tentu menimbulkan otoritas baru untuk masa depan. Itu sudah menjadi hal yang sistematis karena bagaimanapun juga kita tidak akan mengetahui suatu ilmu tanpa mempelajari literatur-literatur pada masa sebelum kita.
            Tetapi ada satu hal yang menurut saya urgen yang terlewat dalam artikel ini. Bahwa ada satu bagian dari taqlid tersebut, yaitu taqlid pada syariat agama yang memiliki dalil qathi, seperti solat, puasa dan lain-lain. Harus digaris bawahi bahwa taqlid itu adalah orang yang mengikuti hukum syariat tetapi tidak mengetahui sumber yang menjadi syariat tersebut. Saya kira hal ini sangat penting untuk kita ketahui sebagai umat islam dan kaum intelektual. Banyak dari kita tidak tahu apa dasar dari syariat yang kita lakukan, apabila ada yang bertanya, maka kita hanya bisa menjawab : “ustadz itu juga begitu solatnya”. Sebenarnya kita tidak boleh seperti itu karena selain taqlid itu dirasa kurang pantas bagi kita selaku kaum intelektual juga apabila kita mengetahui dasar dari apa yang kita lakukan maka kita akan meresapi setiap yang dilakukan oleh kita dan memilki pahala yang lebih baik sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran surat Albaqarah ayat 170. Hukum dari taqlid tersebut para ulama masih ikhtilaf, menurut para ulama dalam kitab Jauhar Tauhid tertulis pendapat para ulama yang mengharamkan taqlid kepada manusia kecuali bagi mereka yang tidak mampu untuk mencari dasar-dasar dari syariat yang mereka jalankan, seperti orang tua yang sudah tidak mampu. Pendapat ini harus menjadi titik acuan kita sebagai penyemangat dalam mencari dasar atau paling tidak menanyakan dasar hukum tersebut kepada orang yang lebih tahu dari syariat tersebut seperti yang yang tertera di Al-Quran surat An-Nahl ayat 43.
            Kemudian saya tidak setuju dengan konsep penulis tentang bolehnya taqlid dalam hal tauhid atau aqidah. Karena yang saya ketahui taqlid itu cakupannya hanya kepada syariat bukan terhadap tauhid atau aqidah. Seperti yang disebutkan diatas bahwa dalam islam terdapat normativitas islam yang dimensinya tidak akan terjangkau oleh kenisbian akal manusia. Menurut buku Imu Ushul Fiqih definisi dari taqlid adalah menerima pandapat orang lain padahal kamu tidak mengetahui sumber alasannya. Jadi taqlid tidak mencakup tauhid dan aqidah karena hal itu berkenaan dengan keyakinan kita terhadap Tuhan.
            Menurut saya gambaran dari artikel tersebut adanya legalitas terhadap taqlid untuk mengetahui dan mempelajari ilmu pengetahuan yang telah ada sebagai bentuk otoritas ilmu pengetahuan terhadap kehidupan sosial kita. Penulis di dalam artikel menggambarkan bahwa taqlid dan ijtihad itu adalah satu kesatuan yang utuh, sebab dalam tataran hukum islam ijtihad  itu adalah satu metode untuk menghasilkan hukum yang belum ada dalam nash Al-Quran dan Hadits. Jadi untuk jelasnya ilmu pengetahuan yang kita pelajari dengan cara kita taqlid terhadapnya itu adalah input sedangkan metodenya adalah dengan ijtihad yang menghasilkan sebuah pengetahuan.
            Berbicara masalah ijtihad, dalam islam ijtihad adalah suatu metode untuk menghasilkan suatu hukum yang belum termaktub dalam nash Al-Quran dan Hadis hasil interpretasi para ulama dari Al-Quran dan Hadits yang disesuaikan terhadap keadaan masyarakat atau yang lebih kita kenal dengan kondisionalisasi islam. Ijtihad ini sangant diperlukan karena sekarang kita melihat adanya kejumudan pemahaman masyarakat islam terhadap islam itu sendiri. Kebanyakan dari umat islam sekarang hanya menjadikan hasil ijtihad ulama-ulama dahulu sebagai otoritas yang tidak bisa diganggu gugat. Hal ini sebagai akibat dari taqlid mereka terhadap pendapat suatu ulama yang menimbulkan pembenaran yang absolut terhadap pendapat tersebut, sedangkan pendapat tersebut hanya inetrpretasi dari nash-nash. Hal inilah yang menyebabkan kejumudan pemahaman umat islam terhadap islam itu sendiri yang menyebebkan kemunduran islam sampai sekarang. Tetapi yang harus digaris bawahi disini adalah tidak semua orang bisa menjadi mujtahid atau yang melakukan ijtihad karena ada syarat-syarat penting yang harus dipenuhi yang diantaranya hafal dan faham Al-Quran, menguasai ilmu alat, menguasai ilmu usul fiqih dan paham terhadap ilmu hadits.    
            Kejumudan dalam pemahaman islam inilah yang menjadi titik pangkal dari kemunduran islam dan konflik internal islam. Seharusnya kita bisa lebih menghargai terhadap semua perbedaan dalam islam karena Islam mempunyai dimensi historisitas yang bergantung terhadap spasial dan temporal. Ajaran islam yang tidak mempunyai dasar dalil qathi sebaiknya tidak dijadikan satu otoritas yang nantinya akan mempunyai sifat mutlak sehingga menganggap kelompok merekanlah yang paling benar dan menganggap yang lainya murtad. Na’udzubillahimin dzalik.


Wallahua’lambisshawab