Halaman

Wednesday, January 4, 2012

Sistem Kekerabatan Masyarakat Minangkabau

Dampaknya Terhadap Peran Sosial dan Pembagian Harta
Oleh Cecep Lukmanul Hakim
Suku Minangkabau adalah salah satu dari banyaknya suku di Indonesia yang masih bertahan dalam melaksanakan adatnya sampai sekarang meskipun perubahan-perubahan terjadi akibat dari modernisasi. Suku Minangkabau secara administratif berada di provinsi Sumatera Barat dikurangi dengan kepulauan Mentawai. Selain daerah Sumatera barat, daerah pendukung kebudayaan Minangkabau juga tersebar di beberapa tempat di pulau Sumatera dan di Semenanjung Malaya. Kita dapat melihat misalnya adanya daerah yang ditinggali orang Minangkabau di Aceh Barat, yaitu daerah Meulabaoh. Daerah Negeri Sembilan di Malaya dianggap sebagai daerah yang didiami oleh orang-orang yang berasal dari Minangkabau, yang telah berpindah kesana beberapa abad yang lalu, sekitar abad ke 15.
Sebagai sebuah masyarakat trdisional, masyarakat Minangkabau memiliki adat atau kebuadayaan yang menjadi identias dari masyarakat tersebut. Dalam masyarakat Minangkabau yang disebut dengan adat adalah  aturan hidup yang berlaku di Minangkabau yang membedakan dengan tajam antara manusia dengan hewan, tingkah laku dan perbuatan. Adat ini mencakup berbagai aspek dari kehidupan masyarakat Minangkabau dan mengatur kehidupan sosial masyarakat Minangkabau.
Salah satu budaya masyarakat Minangkabau yang sangat terkenal adalah sistem kekerabatannya yang ditarik dari garis ibu atau lebih dikenal dengan matrilineal. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki dan perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klan-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula. Ciri-ciri masyarakat matrilineal:
-    Keturunan dihitung menurut garis ibu
-    Suku terbentuk menurut garis ibu
-    Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
-    Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
-   Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
-    Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
-    Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak berkemanakan sangatlah penting. Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak. Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya hubungan yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klan.

Peranan Laki-laki dan Perempuan di Masyarakat Minangkabau
Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang. Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.
Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya. Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako dan pusako.
-   Sako
Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya. Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga. Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau kaum itu. Jika mereka menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan papun juga. Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris. Jika mereka menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan; hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.
-   Pusako
Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya. Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya. Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya. Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki. Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam konteks yang sama. Hak dan milik. Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya.
Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya. Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam;
o   Pusako tinggi.
Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu. Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja; pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan. Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi dijual.
o   Pusako randah.
Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini disebut juga harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.
Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya barangkali, dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.
Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya. Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan. Para ninik mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.

Daftar Pustaka
Koentjaranigrat. (2004). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Djambatan.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (2008). Teori Sosiologi Modern. Jakarta. Kencana.

Sumber Internet
Abidin, Mas’oed. (2008). Minangkabau dan Sistem Kekerabatan. (Online). Tersedia: http://hmasoed.wordpress.com/2008/04/07/minangkabau-dan-sistem-kekerabatan/
Widido.(2007). Adat Budaya Minangkabau. (Online). Tersedia: http://palantaminang.wordpress.com/sejarah-alam-minangkabau/k-elok-nagari-dek-pangulu/

No comments:

Post a Comment